....

Jumat, 09 Mei 2008

Menggugat Terorisme Lewat Novel

Resensi buku ini dimuat di Koran Jakarta, Jum`at 9 Mei 08

Judul buku : The Attack
Pengarang : Yasmina Khadra
Penerbit : Pustaka Alvabet, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal buku : 312 halaman

SATU lagi, novel yang mengangkat tema terorisme diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia. Setelah menerbitkan novel Terrorist (karya John Updike), penerbit Pustaka Alvabet, Jakarta kini menerbitkan lagi novel bertema sama karya dari Yasmina Khadra yang berjudul The Attack.

Tapi, berbeda dengan novel Terrorist yang bercerita tentang terorisme di Amerika yang dilatarbelakangi "ulah kaum militan" setelah melihat kehidupan yang "memuakkan" di negara Paman Sam itu, novel The Attack mengangkat persoalan pendudukan Israel di Pelestina yang melahirkan pejuang-pejuang militan, seperti Intifada.

Ditulis seorang pengarang ternama yang bernama asli Mohamed Maulessehoul, The Attack ini merupakan sebuah karya fiksi yang ingin memotret "perbedaan pendapat" antara seorang dokter bedah keturunan Arab yang memilih bernaturalisasi menjadi warga Israel dan "pandangan penduduk Palestina" yang hidup penuh derita dalam memaknai serangan bom bunuh diri untuk mencapai suatu kemerdekaan. Tak pelak, jika perseteruan (konflik) itu pun lantas menyeret "dilema" yang menukik, bahkan menohok; antara kematian --bom bunuh diri-- yang dipilih oleh kaum fundamentalis dalam mencapai kemerdekaan dan tugas suci agama menuju surga (kemuliaan) dengan kelapangan dalam memaknai hidup sebagai hal yang cukup penting.

Dikisahkan, dr. Amin Jaafari (tokoh utama dalam novel ini), adalah seorang dokter bedah yang bekerja di rumah sakit Ichilov, Tel Aviv. Prestasi itu, ternyata tak diperolehnya dengan mudah. Apalagi, Amin adalah seorang keturunan Arab yang menempuh hidup naturalisasi sebagai warga Israel. Tak pelak kalau rasa curiga dari sejumlah orang (terutama para koleganya), sempat meragukan pengabdian Amin. Tetapi kerja keras dan dedikasi yang telah disumbangkan, tak disansikan kemudian mengikis keraguan penduduk Israel dan Amin pun lambat laun dihormati dan diakui sebagai dokter ahli bedah yang memiliki reputasi tak tertandingi.

Tetapi, ketika prestasi dan pengakuan itu sudah ada di "genggaman tangan", justru peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di restoran cepat saji membuat pengabdiannya "runtuh" seketika. Di ujung malam, setelah ia disibukkan dengan operasi, Navid Rennon --kapten polisi-- menelpon dan memintanya untuk segera datang ke rumah sakit. Dengan rasa kantuk, ia pun datang. Tapi di luar dugaan, di antara tubuh korban tewas yang tergeletak di rumah sakit, justru Amin dihadapkan pada tubuh Sihem, istrinya, yang sudah hancur lebur. Lebih tragis, tubuh istrinya itu (menurut pemeriksaan kepolisian) diduga kuat sebagai tipikal kondisi tubuh pelaku bom bunuh diri.

Tak sempat berdalih, Amin pun diinterogasi lalu disekam 3 hari. Setelah terbukti tak terlibat, polisi kemudian membebaskannya tentu dengan jaminan membayar denda. Tapi, Amin masih tidak bisa menerima tuduhan itu. Apalagi tatkala kejadian peledakan restoran itu, Sihem sedang berada di rumah neneknya, Karf Kanna. Juga, Sihem -di matanya- adalah seorang wanita yang bahagia dan tidak kurang dari satu apa pun. Maka, ia pun tidak percaya jika wanita yang selama ini dicintainya itu memilih jalan menemui ajal dengan melakukan bom bunuh diri.

Setelah dia menerima surat dari Suhem, yang ternyata dikirim (cap pos) dari Bethlehem bukan dari Karf Kanna, hatinya langsung remuk redam, karena Sihem tidak dapat diingkari telah memilih jalan yang tidak ia ketahui. Tanpa berpikir panjang, Amin --ditemani oleh Kim Yehuda-- langsung bertolak ke Bethlehem untuk membuktikan akan keterlibatan Sihem. Sayang pertemuannya dengan Yaseer --saudara sepupunya-- dan imam Masjid Agung di Bethlehem tidak bisa membuka misteri Sihem. Ia pun pulang ke Tel Aviv lagi. Tetapi rasa penasaran, membuat Amin meluncur ke Karf Kanna. Lagi-lagi, di sana dia tak mendapatkan sebuah jawaban. Justru dari cerita Abbas (paman Sihem), ia dibakar api cemburu karena Sihem diceritakan Abas kerap runtang-runtung dengan Adel --keponakannya sendiri-- sewaktu datang ke Karf Kanna.

Tak ada pilihan lain, Amin langsung mencari Adel di Jenin. Setelah ketemu dengan Adel, Amin seketika tersedak dan sadar karena Sihem --menurut cerita Adel-- "tidak bahagia" hidup bersama Amin. Sihem tak mau menerima kebahagiaan yang dia tawarkan dan memilih menebus dosa dengan bergabung dalam perjuangan dengan cara melakukan bom bunuh diri untuk cita-cita kemerdekaan Palestina. Dan di Jenin itu pula, Amin (akhirnya) meninggal dalam sebuah peristiwa peledakaan ketika dia mencari Faten, keponakan perempuannya, yang mau meminta restu pada Syeikh Marwan di sebuah masjid. Ia menemui kematian justru dalam suatu peledakan, sebuah bentuk terorisme yang dia tentang mati-matian.

Jika dibandingkan dengan novel Terrorist karya John Updike, The Attack mungkin lebih jernih dalam hal "pencapaian estetik". Tetapi, dalam hal muatan ide, tidak diragukan lagi, kalau kedua novel tersebut sama-sama berhasil memikat pembaca. Dengan menonjolkan perdebatan teror yang dipandang dari sisi kemanusiaan, kedua novel ini telah membuat pembaca -nyaris- dihadapkan pada "pilihan" yang bijaksana dalam memandang hidup di tengah lanskap tragedi yang harus ditanggung semua pihak.

Dalam nuansa perdebatan novel ini, memang bagi Sihem (kaum fundamentalis), "mati" adalah suatu tujuan yang dicita-citakan. Tetapi tidak bisa diingkari, bagi Amin yang berprofesi sebagai dokter, hidup adalah hal terpenting, karena dia memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan korban. Dilema dalam memaknai hidup dan pilihan akan "kematian" sebagai tujuan kemerdekaan dan untuk merengkuh surga itulah yang menjadikan novel ini diliputi dengan ketegangan. Apalagi, kegelisahan dan kecemasan yang dialami dr Amin sejak kematian Sihem, telah berhasil dielaborasi Khadra dengan baik di sepanjang cerita novel ini.

Akhir kata, dengan novel The Attack, rupanya pengarang yang kini menetap di Prancis ini telah berhasil mengetengahkan "silang sengkarut" realitas terorisme, yang sampai kini jadi musuh peradaban. Karena itu, tidak rugi Anda membaca novel ini karena prespektif Anda dalam memaknai kehidupan nanti pasti akan lebih memiliki banyak warna. (n. mursidi, cerpenis tinggal di Ciputat, Tangerang).***

Tidak ada komentar: