(resensi ini dimuat di Sinar Harapan, Sabtu 24 Feb 07)
Judul: Kebebasan, Negara, Pembangunan
Penulis : Arief Budiman
Penerbit : Kerjasama Pustaka Alvabet dan Freedom Institute
Cetakan : Pertama, Agustus 2006
Tebal buku: xiii + 446 halaman
Penulis : Arief Budiman
Penerbit : Kerjasama Pustaka Alvabet dan Freedom Institute
Cetakan : Pertama, Agustus 2006
Tebal buku: xiii + 446 halaman
Intelektual sejati, kerap diibaratkan seperti begawan yang hidup di atas menara gading. Ia tak terikat, netral dan tak memiliki kepentingan dalam berpihak. Tapi jika kemudian ia harus berpihak, dia akan punya tanggung jawab moral memihak kebenaran dan keadilan. Dengan tanggung jawab itu, tidak pantas seorang intelektual harus "dicekam" rasa takut untuk bersuara lantang. Dengan kata lain, seorang intelektual harus berani dan bersikap kritis.
Sebagai intelektual bahkan juga aktivis, Arief Budiman tahu tentang tanggung jawab itu. Ia tak berpaling, tak mau dikungkung oleh kekuasaan, berkiblat keadilan serta teguh memegang "prinsip kebenaran". Dilahirkan dari sebuah keluarga minoritas Cina yang mengalami diskriminasi, juga sempat mengalami hidup pahit pada zaman otoritarianisme Soekarno (1959-1965) dan Soeharto (1965-1998), ternyata kungkungan itu membawa Arief menyadari akan pentingnya arti kebebasan manusia—dalam hubungannya dengan negara-- sebagai persoalan krusial. Tak berlebihan, setelah ia menjadi ilmuwan, ia pun menicita-citakan adanya kebebasan di negeri ini
Bertolak dari teori struktural, kakak kandung Soe Hok Gie ini mencita-citakan "kebebasan" manusia dalam bangunan masyarakat madani (civil society) tatkala berhadapan dengan negara.
Dalam konsep ini, Ketua Program Indonesia pada Melbourne University ini melihat masyarakat madani akan menjadi balance karena hal itu berperan sebagai mitra yang kritis. Dengan teori struktural itu pula, ia lantas mengkritisi pola pembangunan negara ketiga (sebagaimana Indonesia) dalam kaitannya dengan proyek pengentasan kemiskinan.
Ia tidak setuju dengan pendekatan universal yang didengungkan oleh pendukung teori modernisasi yang melihat akar masalah kemiskinan negara ketiga, disebabkan karena ketertinggalan negara itu sendiri (faktor inherent) sehingga jawaban yang tepat adalah memodernisasi negara yang bersangkutan.
Menurut Arief, akar masalah kemiskinan adalah ketergantungan pada negara maju, campur tangan dari luar (negara-negara kapitalis) sehingga kemudian "menghalangi" kemajuan negara berkembang. Dengan perspektif itu, Arief lantas mengajukan pendekatan lain karena setiap negara itu—menurutnya—memiliki keunikan sendiri dan ciri khas yang tidak bisa digebyah-uyah atau disamakan.
Tak pelak lagi, karena teori Arief dianggap beraroma kiri (Marxis), pandangan Arief itu mendapat serangan dari sejumlah intelektual, seperti Ignas Kleden, Amin Rais, M. Dawam Rahadjo, Mochtar Pabottingi, Adi Sasono, Hidayat Nataatmaja, Sritua Arief, dan Soedjatmoko. Dapat dimaklumi jika mereka menuduh Arief cenderung kiri atau sosialis.
Pasalnya, teori ketergantungan yang disempal dari varian teori struktural itu adalah hasil adopsi dari pandangan liberal dan sosialis (Raul Prebisch dan Paul Baran).
Kendati demikian, karakter "pemikiran kritis" Arief tidak dapat dikata lemah. Arief justru memiliki konsistensi yang kokoh dalam mengemukakan argumentasi dan bahkan teguh dalam memegang prinsip.
Sebagai ilmuwan sosial, ia berperan besar mengenalkan teori struktural ini setelah dia pulang studi dari Harvard. Sebelum itu ia lebih konsens menggulirkan isu seputar seni-budaya, sosial-politik dan psikologi. Pertengahan tahun 1980-an, ia bahkan sempat menggulirkan isu tentang polemik sastra kontekstual.
Konsep yang digelindingkan ini sebagai bentuk penolakan terhadap universalisme sastra yang menilai setiap orang memiliki "citra rasa" yang sama dalam mengapresiasi sastra. Padahal setiap orang, daerah dan zaman, menurutnya, punya nilai-nilai sendiri yang tidak bisa disamakan. Karena itu, sastra universal, baginya, kehilangan arti dan tidak lagi menjadi patokan umum.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan Arief Budiman (dari makalah, tulisan pengantar untuk buku dan artikel yang bersebaran di sejumlah media massa) dalam rentang waktu tahun 1965 sampai 2005. Tidak salah, jika buku ini memiliki tema yang luas, bahkan kadang tidak saling terkait. Buku ini ditulis dalam konteks waktu tertentu dan dalam kasus yang kebetulan mencuat saat tulisan itu ditulis.
Di antara tema yang diangkat, antara lain adalah masalah politik, filsafat, sosial, budaya, seni dan psikologi. Bisa dimaklumi kalau kemudian tulisan dalam buku ini tidak membangun konfigurasi pemikiran Arief secara utuh sebagaimana dalam buku Arief yang lain; Negara dan Pembangunan (1991) Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi (1997) dan Teori Pembangunan Negara Ketiga (1995).
Kendati mengangkat tema beragam, buku ini masih bisa dibaca sebagai sebuah kaledioskop pemikiran kritis Arief Budiman. Karena garis besar buku ini masih tak jauh dari tiga tema besar yang selama ini jadi perhatiannya; kebebasan, negara, dan pembangunan.
Mungkin kalau pun ada kelemahan, dapat dikata buku ini tidak lagi memiliki kontekstualisasi untuk sekarang ini. Walau begitu, kerangka "teori struktural" yang dijadikan pijakan Arief tetap menjadi semacam kunci yang bisa dijadikan alat dalam mengamati negeri ini sampai detik ini. n
*) Penulis adalah alumnus Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar