....

Senin, 27 Agustus 2007

penulis, mana sumbanganmu pada peradaban?

(esai ini dimuat di Suara Pembaruan, Minggu 18, Juli 2004)


Orang boleh kecewa dengan lahirnya reformasi yang tidak membawa angin perubahan di bidang politik. Sebab, tumbangnya Orde Baru ternyata tak serta-merta membuat tatanan pemerintahan lebih baik, bersih, dan negara bisa maju sebagaimana agenda reformasi yang dihembuskan sejak enam tahun lalu. Bisa dikatakan, korupsi malah merajalela dan tampil dengan vulgar. Ya, reformasi di bidang politik mengalami stagnan. Juga reformasi hukum masih menunjukkan anomali keadilan. Lebih parah lagi, ekonomi tak semakin membaik, malah kian menggelisahkan perut rakyat.

Tetapi siapa yang kecewa dengan angin reformasi yang telah membuka kran kebebasan di bidang pers dan penerbitan buku? Hampir tak ada yang dapat menyangkal jika kebebasan pers menunjukkan "buah manis" yang menggembirakan.

Pasalnya, kebebasan pers yang dahulu dipasung dengan adanya SIUPP penguara, kini "dialihkan" ke pengadilan sehingga ada wajah baru demokrasi pers.

Tak jauh beda dengan nasib pers dunia perbukuan juga menghirup udara bebas. Buku-buku yang dulu dilarang terbit, kini bisa dengan mudah didapat. Fenomena itu yang bisa diamati dari terbitnya buku-buku Pramodya Ananta Toer yang di era Orde Baru dilarang terbit, karena dianggap penguasa mengajarkan marxisme-leninisme. Kini buku-buku karya sastrawan kelahiran Blora itu mulai diterbitkan ulang di samping buku-buku "kiri" lainnya.

Hanya, yang patut dicatat dari fenomena "kebebasan" penerbitan buku itu jika dihubungkan dengan angin reformasi setidaknya bisa dikemukakan dua periode yang kemudian bisa menandai konfigurasi baru dunia penerbitan di Indonesia.

Pertama, periode lima tahun pertama pascareformasi (1998-2004), yang dapat disebut periode euforia. Periode kedua, periode lima tahun kedua, 2004-2009, yang bisa disebut periode tantangan.

Buku Seks Jadi Idola
Pada periode pertama pasca-reformasi, 1998-2004 dunia buku di negeri ini ditandai dengan euforia dengan maraknya buku yang diterbitkan.

Sebagian memang hasil terjemahan, tetapi karya penulis lokal juga tak bisa dinafikan. Untuk karya penulis lokal, jika dibandingkan dengan dunia penerbitan di masa Orde Baru, di masa pertama pasca-reformasi, dunia buku Indonesia bisa dikata menuai pertumbuhan.

Ada euforia yang telah melahirkan para penulis muda yang tak segan untuk menulis. Di antara para penulis muda itu adalah Muhidin M Dahlan, Nur Khalik Ridwan, Eka Kurniawan dan penulis-penulis muda lain yang hadir dengan buku yang semula skripsi.

Kecenderungan lain, ada warna baru tentang kebenaran yang dituliskan oleh para penulis seolah euforia ini merupakan kesempatan emas untuk membuat sejarah baru. Sangat beralasan jika buku-buku sejarah dan politik membanjiri pasaran.

Ada suara sumbang yang coba didengungkan untuk mengungkap "sejarah" yang dulu dibenamkan penguasa Orba, kini "ditulis" kembali untuk diluruskan. Di antara buku-buku seperti ini semisal sejarah pelurusan pemberontakan PKI.

Kecenderungan lain lagi, adalah gereget nuansa baru yang seolah-olah tanpa tedeng aling-aling untuk berani merekam dan menyuarakan fenomena seks yang dulu dianggap tabu, kini diumbar habis-habisan dan bahkan cukup detail.

Itu tak hanya merebak di ranah buku-buku sastra seiring dengan lahirnya para penulis perempuan, malahan telah menjadi seperti tren pada masa euforia ini kalau "tema seks" adalah tema yang digandrungi dan jadi kecenderungan pasar yang tak terbantahkan.

Di antara buku-buku sastra karya penulis perempuan itu antara lain Saman dan Larung (Ayu Utami), Tujuh Tahun Semusim (Clara NG), Djenar Maesa Ayu (Jangan Main-Main dengan Kelaminmu), Herlinatiens (Garis Tepi seorang Lesbian).

Memang menghadirkan adegan syur atau mengumbar seks bukanlah jadi ukuran kalau karya itu kemudian bisa diklaim murah. Buktinya, terlepas dari pesan moral yang ingin disampaikan, karya-karya di atas dapatlah digolongkan karya sastra bermutu.

Saman, karya Ayu Utami malah menjuarai sayembara. Juga untuk cerpen Waktu Naela karya dari Djenar Maesa Ayu terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas tahun 2003.

Tak kalah dengan buku sastra yang mengumbar seks, buku-buku populer bertema seks juga jadi idola pembaca. Misalnya, Jakarta Under Cover (Muammar Emka), Seks in the kost, Pemerkosaan atas Nama Cinta, Campus "Fresh Chicken" (Iip Wijayanto), Pelacur Yogya (Wahyudin) dan masih banyak lagi.

Anehnya, buku "bertema seks" seperti Jakarta Under Cover malah laris manis di pasaran dengan terjual 50 ribu eksemplar dalam waktu lima bulan sejak diterbitkan. Juga, buku Seks in The Kost laku sekitar 10 ribu eksemplar. Sebuah fenomena yang cukup mengiris-iris akal. Yang jadi pertanyaan besar; ada apa di balik realitas seks di negeri ini sehingga buku bertema seks jadi idola pembaca?

Memang, mengumbar dan mengeksploitasi seks memang tak salah dan itu adalah hak penulis ketika harus diungkap dalam sebuah buku. Di Prancis saja, ada penulis Marquis de Sade, dengan Les 120 journees de Sodome, yang menulis orgy seks sampai pada tindakan yang tak mungkin terbayangkan.

Dalam Justine ia menulis Juliette yang digauli 128 kali dengan cara yang sama, 128 kali dengan cara berbeda, dan seorang korban kaum biarawan Sainte-Marie-de-Bois, wanita muda yang hamil 3 bulan, yang mereka perkosa berkasurkan duri dan dedaunan mawar, yang setiap darah yang mencul dari tunas luka mereka cecapi dengan gairah yang luar biasa. Tragis!

Meski demikian, seks tak selamanya dilihat sebagai seks belaka. Ada pemikir kenamaan, Michael Fouchaul yang melihat seks dalam kaitannya dengan sejarah yang ia tuangkan dalam The History of Sexuality.

Anthony Gidden yang dikenal sebagai sosiolog juga meneropong seks dan erotisme dalam masyarakat modern dilihat dari kaca maca sosiologi yang bisa dibaca dalam karyanya The Transformation of Intimacy.

Tapi di Indonesia, "seks" ternyata hanya sebagai realitas yang direkam untuk diutarakan, kecuali mungkin hanya buku karya Otto Sukatno, Seks Para Priyayi yang bisa dikata sebagai sebuah buku ilmiah.

Warisan
Pada periode lima tahun kedua, 2004-2009 mungkin akan terasa berbeda sekali dengan masa lima tahun sebelumnya. Kenapa? karena, pada masa 5 tahun ini, adalah masa tantangan di mana sejarah akan membuat siapa (penulis) yang akan tetap berkarya dan buku-buku "apa" yang akan dibutuhkan di pasaran demi masa depan bangsa ini.

Memang soal buku-buku terjemahan sudah lama mulai nampak kecenderungan masih kurang dikerjakan serius pada masa 5 tahun pascareformasi (1998-2004). Hal itu bisa diamati dari terbitnya buku terjemahan (terutama yang diterbitkan penerbit Yogyakarta) yang mulai gencar digugat.

Tapi kini sudah ada koreksi dan selektivitas yang menggembirakan. Sebab, pada masa tantangan ini mulai jelas bahwa buku terjemahan yang jelek pasti tidak akan laku di pasaran.

Pada masa lima tahun ini kecenderungan menurunnya euforia tidak bisa dinafikan sudah kentara. Artinya, baik penulis maupun penerbit sudah mulai tumbuh sikap kritis dan selektif dalam membaca pasar.

Itu karena dalam masa lima tahun pertama pasca-reformasi, telah dijadikan "cermin" untuk berbenah dalam melakukan koreksi. Tak pelak, kini sudah lahir sebuah kesadaran bahwa menerbitkan buku tak semata untuk urusan bisnis (mencari keuntungan), tetapi satu keharusan di mana buku adalah warisan berharga bagi generasi mendatang.

Dengan begitu, mutu dan kualitas buku menjadi sebuah kebutuhan yang tak bisa dibantah. Sebab, maju tidaknya sebuah bangsa dapat "diukur" dengan buku yang dihasilkan dan seberapa besar minat baca dalam mengapresiasi buku untuk bekal di masa depan.

Hanya saja, yang menjadi pertanyaan; apa itu akan jadi sebuah kesadaran yang benar-benar bisa tumbuh di Indonesia. Hanya niat dan kesungguhan yang bisa membuat sejarah baru penerbitan buku di Indonesia.
Dengan kata lain, buku akan tetap jadi warisan berharga selama buku ditulis dengan limpahan pikiran, nurani dan akal yang memihak pada kebenaran dan tuntutan zaman.

Selebihnya, masa depan buku akan jadi dunia yang penuh keintiman di mana dialog antara penulis dan pembaca dapat membangun bangsa ini dengan aneka pengetahuan dan ilmu.

Meski hadirnya buku-buku karya penulis penjaja seks tidak sepenuhnya mati, buku-buku berbobot akanlah lahir pada masa ini karena buku tak bisa dimungkiri akan dilihat sebagai "warisan berharga" demi masa depan anak cucu kita demi perkembangan peradaban.

Sehingga kita tak akan lagi mendengar sebuah pertanyaan, seperti yang pernah penulis dengar dari seorang pembicara dalam pertemuan penulis Mizan: "penulis, mana sumbanganmu pada peradaban?"

*) n_mursidi, peresensi buku dan cerpenis, tinggal di Yogyakarta.

baca lebih lanjut...?

Menjadi Wanita Bercitra Diri Tinggi

(Resensi ini dimuat di Sinar Harapan, Sabtu 11 Okt 2003)


Judul buku : Self-Esteem for Women; Panduan Praktis bagi Wanita untuk Mencapai Kesuksesan dalam Cinta, Karier dan Keluarga
Penulis : Lynda Field
Penerbit : Kaifa, Bandung
Cetakan : Juni, 2003
Tebal buku : xxvii + 188 halaman
Harga: --

TERLAHIR sebagai seorang wanita bukanlah satu kesalahan. Sebab, antara laki-laki dan wanita—sebenarnya—tak ada perbedaan krusial yang perlu diperdebatkan. Bahkan dengan kehadiran wanita, dunia seharusnya patut berbangga karena planet ini akan tetap eksis melangsungkan proses hidup umat manusia. Wanita akan jadi patner laki-laki, sebagai istri dan setelah melahirkan anak—adalah satu keniscayaan—wanita jadi ibu yang berperan besar dalam mengasuh dan membesarkan anak untuk mengisi pola budaya generasi baru dalam mewarnai peradaban dunia.

Tapi dalam sejarah umat manusia ada kesalahan dalam kehidupan di dunia ini. Selama berabad-abad, dunia ini dikuasai kaum laki-laki dan wanita dianggap makhluk lain.

Peran wanita selalu dimarginalkan dalam kultur yang hanya mengutamakan energi maskulin (mental dan fisik) serta mengerdilkan energi feminin (emosional dan spiritual). Akibatnya, ruang gerak wanita sangat terbatas dan kerapkali menerima perlakuan tak adil dari laki-laki, yang itu tak hanya dalam rumah tangga, melainkan pula dalam dunia kerja.

Buku Self-Esteem for Women; Panduan Praktis bagi Wanita untuk Mencapai Kesuksesan dalam Cinta, Karier dan Keluarga ini adalah sebuah buku yang bagus dalam melihat kesalahan kultur di atas. Menariknya, penulis lewat buku ini tak sekedar mengecam kesalahan kultur itu semata, melainkan pula berupaya membangkitkan kesadaran kaum wanita dalam melihat kultur yang salah itu dan kemudian memberikan kiat-kiat yang perlu dilakukan untuk merubah dengan cara mengembangkan energi keseimbangan agar nantinya kaum wanita memiliki citra diri tinggi dan bisa sukses merenggut kebahagiaan dalam cinta, dunia kerja dan keluarga.

Kesalahan kultur itu muncul sebagai akibat dari adanya pandangan negatif dalam melihat sosok wanita. Wanita yang semestinya berdiri sejajar dengan laki-laki telah diposisikan sebagai sub-ordonat. Itu terjadi tak hanya di wilayah keluarga, yang mana sejak lahir anak wanita dicitrakan lembut, lunak, lemah dan semacamnya.

Dalam skala lebih luas lagi (dalam masyarakat), wanita bahkan tak diberi ruang lebar karena dianggap perannya hanya sebagai pelengkap kaum lelaki belaka. Tak ayal, wanita kemudian mendapat perlakuan tak adil.

Wajar Anehnya, kaum wanita kerapkali menerima semua itu sebagai hal wajar dan bukan malah timbul adanya kesadaran, melainkan sering mencari kambing hitam. Tak salah, jika penulis lewat buku ini membeberkan kesalahan kultur itu untuk kemudian mengajak kaum wanita agar sadar diri.

Dengan menyentak kepongahan kaum wanita untuk punya kesadaran kreatif, meliputi upaya mengenalkan karekter, kodrat dan hal terdalam dalam jiwa wanita, penulis berharap agar kaum wanita tak hanya bisa mengenali diri dan keadaan saja, melainkan juga mawas diri (self-awareness) dan kemudian bisa mengubah pola pikir dan perasaan dalam mengambil suatu tindakan.

Memang, pola pikir seseorang amat menentukan kehidupannya. Tak salah jika dalam agenda yang dicanangkan penulis, upaya pengembangan diri bagi kaum wanita tidaklah lepas dari peneguhan pikiran (afirmatif), visualisasi kreatif (berpikiran kuat), memaafkan, mengembangkan energi diri (meliputi mental, spiritualiatas, emosi dan fisik), yang kemudian diikuti dengan apresiasi diri.

Kalau hal itu sudah dilakukan wanita, tak berlebihan jika nantinya akan lahir wanita baru yang bisa menjalin cinta dengan lelaki yang bersifat memupuk, memelihara dan bahkan dengan saling menyingkap tabir diri, wanita itu bisa mendapat keintiman cinta dan mendukung citra dirinya yang tinggi.

Lebih dari itu, karena setiap wanita akan jadi ibu, tak berlebihan, pola budaya patriartis itu tak diwariskan kepada anaknya. Karena wanita yang bercitra diri akan mengasuh anaknya dengan baik, mengembangkan unsur energi keseimbangan. Dalam kasus lain, toh jika wanita itu kemudian memasuki dunia kerja, tentu tak canggung jika bersaing dengan kaum lelaki. Dengan mengembangkan energi batin maskulin (yang tak hanya dimiliki lelaki), wanita bisa juga meraih kesuksesan yang dibanggakan.

Karena kini, wilayah publik tak hanya milik kaum lelaki, wanita dalam kancah dunia kerja juga sudah menunjukkan citra dirinya yang tinggi untuk bisa eksis dan tak tenggelam dalam emosi dan spritualitas belaka.

Tak berlebihan, jika kita menyebut buku ini sebagai buku bagus yang perlu dimiliki kaum wanita. Dilengkapi visualisasi dan latihan-latihan yang akan membuat kaum wanita lebih memahami dirinya, buku ini hanya punya niat melejitkan kaum wanita untuk memiliki citra diri yang tinggi. Karena wanita yang bercitra diri-lah yang akan bisa meningkatkan kemampuan diri dan sukses dalam setiap sisi kehidupannya, baik dalam meniti karier, hubungan cinta maupun dalam keluarga.

*) n_mursidi adalah pustakawan dan cerpenis.

baca lebih lanjut...?

Kisah Si Cantik yang Buruk Rupa

(Resensi ini dimuat di Jawa Pos, Minggu 1 Juni 2003 dan dipajang di situs eka kurniawan)


Judul buku : Cantik itu Luka
Pengarang : Eka Kurniawan
Penerbit : Jendela, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Desember 2002
Tebal buku : ---

EKA Kurniawan, tampaknya sungguh-sungguh ingin menjadi seorang sastrawan. Setelah menerbitkan kumpulan cerpen dalam antologi Corat-coret di Toilet (1999), alumnus Fakultas Filsafat UGM ini tampaknya tak mau kepalang tanggung dengan merilis sebuah novel. Meski namanya belum begitu "terdengar" dalam belantara sastra, namun novel Cantik Itu Luka ini, begitu diluncurkan ke pasaran, tak berlebihan kalau membuat kalangan sastra sempat tercengang, kagum, dan bahkan hampir tak percaya.

Bagaimana tidak? Novel Cantik Itu Luka dengan tebal 517 halaman bisa dikatakan telah mencatat rekor baru dalam sejarah perjalanan novel Indonesia sebagai novel paling tebal yang dihasilkan sebagai karya perdana. Selain itu, lewat novel ini pengarang juga telah melakukan inovasi baru berkaitan dengan model estetika serta gaya penceritaan sebagai satu bentuk pemberontakan atas mainstream umum. Meski tak dipungkiri masih tampak kuatnya pengaruh dari realisme sosialis yang dikembangkan Pramoedya --sosok yang dikagumi dan sempat diangkat pengarang untuk sebuah skripsinya; Realisme Sosialis Pramoedya Ananta Toer, Suatu Tinjauan Filsafat Seni.

Seperti cerita yang dikembangkan dalam Corat-coret di Toilet, novel ini tak kehilangan gaya khas Eka Kurniawan yang lugas, lancar dan terkadang dengan sense of humor yang tinggi. Bahkan, dengan cukup realis, pembaca dibawa memasuki sejarah bangsa dengan berbagai peristiwa penting yang pernah terjadi, sebuah potret buram sejarah Indonesia dari masa kolonialisme Jepang hingga pemberontakan PKI.

Lewat novel ini, Eka dengan cukup cerdas dan cerdik mengisahkan nasib anak manusia dalam gelombang sejarah bangsa. Ia telah menjadi korban kekuasaan dan kutukan karma. Lebih dari itu, lewat tokoh-tokohnya, ia juga mencecapkan renungan filosofis yang disematkan pada absurditas kecantikan yang bertengger di wajah perempuan. Tetapi dengan nada ironis, pengarang memaknai kecantikan tak lebih sebagai keindahan sekaligus keburukan (luka). Novel ini mengisahkan seorang perempuan cantik keturunan Belanda bernama Dewi Ayu. Akibat kekejaman kolonialis Jepang, ia ditawan dan dijadikan pelacur.

Tak ayal, kemenangan Jepang atas Belanda telah mengubah nasibnya menjadi amat tragis. Begitu usianya menginjak delapan belas tahun dan kemolekan tubuhnya telah merangsang libido tentara-tentara Jepang, jadilah ia "menu daging segar yang renyah untuk ditiduri". Di kamp tentara Jepang itu, setidaknya ia telah jadi saksi adanya tindakan biadab tentara Jepang terhadap kaum perempuan. Ia baru bebas ketika Indonesia merdeka.

Meski sudah merdeka, kehidupan buram yang dilakoninya sebagai pelacur ternyata tak juga urung diakhiri. Ia masih melanjutkan kariernya sebagai penjaja tubuh di kota kelahirannya, Halimunda. Bahkan, berkat kecantikannya yang tak tertandingi, ia jadi pelacur idola yang diburu setiap lelaki hidung belang. Selama bertahun-tahun, karier itu dijalaninya hingga ia punya tiga anak gadis. Semua berwajah cantik. Akan tetapi, kecantikan ketiga anak itu tak ubahnya sebuah pisau bermata ganda. Pada satu sisi merupakan anugerah, pada sisi yang lain kehadiran tiga gadis cantik itu sebuah petaka. Sehingga, akibat kutukan dan dosa yang ditanggung Dewi Ayu, ketiga anaknya jadi janda semua. Suami-suami mereka mati mengenaskan.

Untuk itu, tatkala ia mengandung anaknya yang keempat, ia berharap anak itu akan lahir buruk rupa. Tapi, anehnya, ia malah menamai anak keempatnya itu dengan si Cantik. Dia juga bersyukur karena banyak orang mencemooh kondisi anaknya yang wajahnya mirip monster itu. Karena dengan cemoohan itu diharapkan bisa menghilangkan kutukan yang diterimanya selama ini.

Meski buruk muka, si Cantik justru dicintai Krisan, yang tak lain keponakannya sendiri. Bagi Krisan --yang pernah patah hati--, cantik itu ternyata tak lebih sebuah luka. Sehingga tak ada bedanya mencintai si buruk atau si cantik.

Membaca novel ini, kita dibawa ke mana-mana. Hampir semua peristiwa yang dikisahkan ibarat sebuah kaca prisma, yang membiaskan semuanya bisa saling bertabrakan. Itu tak lain karena pengarang kurang cermat dan seolah-olah mau bercerita dengan kemauannya sendiri tanpa mempertimbangkan logika dan fakta sejarah. Tak heran, absurditas yang tak masuk akal seperti dijungkirbalikkan dalam kerangka estetika yang asal comot. Sehingga membuat pembaca bertanya-tanya. Misalnya tentang kebangkitan Dewi Ayu yang telah mati selama dua puluh satu tahun.

Kendati demikian, novel yang coba mengangkat setting sejarah kota Halimunda ini dengan rentetan peristiwa penting bangsa, tetap layak untuk mendapatkan apresiasi. Meski di dalamnya Eka juga mengumbar kata-kata jorok, setidaknya karya pertamanya yang cukup tebal dan membuat pembaca bisa lelah memelototi huruf-huruf yang kecil --dicetak dengan ukuran 10 karakter--, tampaknya masih memiliki kekuatan pada percikan pemikiran filosofis yang hendak dicecapkan pada pembaca, yakni absurditas sebuah kecantikan.

*) N. Mursidi, cerpenis asal Lasem, Rembang, Jawa Tengah

baca lebih lanjut...?

meluruskan sejarah lewat sastra

resensi ini dimuat di majalah TEMPO, edisi 52/XXXI 24 Februari 2003

Judul buku : Tapol
Pengarang : Ngarto Februana
Penerbit : Media Pressindo, Yogyakarta,
Cetakan : Pertama, September 2002
Tebal buku : Viii + 175 halaman..

TRAGEDI berdarah G30S adalah satu sejarah kelam bagi bangsa Indonesia yang sampai saat ini masih menjadi trauma, menyimpan beribu kontroversi. Pemerintahan Soeharto telah banyak memanipulasi penulisan tentang peristiwa tragis itu untuk tujuan melegitimasi kekuasaannya.

Sekalipun berupa novel (sastra), penulis Ngarto Februana—alumni Fakultas Sastra UGM—seperti berkeras untuk meluruskan sejarah kelam itu. Bahkan dengan mengangkat kisah tentang sebuah keluarga Angkatan Udara yang pada 1965 kena operasi kalong.

Kardjono, sang ayah, ditahan selama 10 tahun tanpa proses peradilan. Lastri, istri Kardjono, yang sedang hamil tua ketika Kardjono ditangkap, hanya bisa mendengar kabar bahwa suaminya meninggal dan mayatnya dibuang ke laut. Harapan Lastri untuk hidup seakan musnah. Hanya demi kedua anaknya, Mirah dan Hernowo, ia akhirnya pulang kampung.

Lastri berjuang hidup di Yogya, membesarkan kedua anaknya sekaligus menghindari cap PKI. Ia menghapus jejak suaminya sehingga kedua anaknya kemudian bisa kuliah. Mirah, anak perempuannya, di kemudian hari justru menjadi seorang demonstran, dan setelah lulus menjadi aktivis LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang mengurusi anak jalanan dan pemulung.

Jika ending novel ini tampak klise, justru ada kekuatan dari novel ini yang tak bisa dipandang dengan sebelah mata. Sebagai novel sejarah, novel ini seperti punya pretensi kuat untuk meluruskan sejarah G30S yang selama ini telah dimanipulasi oleh rezim Orde Baru. Untuk kepentingan itu pun, Ngarto, sang pengarang, menggunakan berbagai data dan referensi yang pernah terbit.

Akhirnya, jangan heran jika apa yang ditulis Ngarto lewat novel ini jelas saja berseberangan dengan sejarah G30S yang selama ini beredar dan telah dipahami banyak orang. Sebab, Ngarto memang ingin meluruskan kebenaran sejarah G30S itu, yang telah dimanipulasi, dan ia melakukannya lewat media sastra.

*) Nur Mursidi, peresensi dari IAIN Yogyakarta

baca lebih lanjut...?

Menepis Mitos, Mengajak Berpikir Realistis

(Resensi ini dimuat di Sinar Harapan, Jumat 7 Februari 2003)


INDONESIA dalam tahun-tahun belakangan ini adalah sebuah negeri yang gelisah. Kegelisahan itu tak lain sebagai akibat dari semrawutnya tatanan kehidupan (pemerintahan) di negeri ini yang memang tak kunjung dapat terselesaikan. Krisis ekonomi masih belum pulih bahkan menjalar menjadi krisis multidimensi yang semakin akut. Sementara di sisi lain, disintegrasi telah mengancam kesatuan bangsa. Belum cukup dua masalah itu teratasi, justru diperparah lagi soal anarki hukum. Hukum yang seharusnya dijunjung tinggi telah dicabik-cabik. Supremasi hukum bukan lagi memperjuangkan kebenaran, melainkan lebih memihak pada kekuasaan (penguasa).

Sejarah Indonesia memang sudah seharusnya berubah. Tak salah jika reformasi kemudian lahir di tengah kepongahan negeri dan Soeharto harus tumbang. Namun, lahirnya reformasi yang dalam sketsa awalnya menginginkan perubahan dalam segala hal ternyata tak mampu menjadi obat mujarab dalam mengobati luka dan penyakit yang diderita bangsa ini. Reformasi pun kemudian menjadi semacam perjalanan sejarah yang tanpa arah. Karena ia tak berhasil mengubah semuanya, ia justru melahirkan orde-orde berikutnya yang tak jauh berbeda dengan cara dan gaya Orde Baru.

Buku Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas ini adalah sebuah refleksi kritis dan analisis yang cukup tajam dari Kuntowijoyo—seorang dosen, sastrawan, budayawan, kolumnis dan aktivis gerakan—atas kegelisahan negeri ini akibat kebopengan dan kepongahan tersebut. Dengan berpijak pada sejarah, pengalaman dan kesadaran (baca: akal dan nurani), Kunto membongkar berbagai kebobrokan di berbagai segi kehidupan negeri ini atas perkembangan mutahir yang bukan saja bersangkutan dalam masalah politik, melainkan pula dalam ranah yang lebih luas, yakni budaya bangsa.

Dalam Kubangan Mitos
Dari kecermatan analisisnya, Kunto menyadari bahwa sebagai bangsa, ternyata Indonesia masih berada dalam kubangan mitos. Tak hanya soal cara berpikir, di mana adanya kepercayaan pada mitos masih menggelayut di benak sebagian rakyat, seperti ketika ketiban "sial" harus perlu dihadapi dengan acara semisal ruwatan. Soal konkret pun, seperti perilaku politik misalnya, ternyata tak terbantahkan adanya mitos tentang tokoh agung. Makanya, ketika krisis melanda negeri ini, yang dibutuhkan adalah tokoh sakti sebagai pemimpin bangsa. Karena diharapkan—nantinya—bisa terhindar dari malapetaka yang menimpa bangsa ini.

Padahal, dengan mengangkat tokoh-tokoh karisma itu, ternyata tak membuktikan Indonesia lebih baik, melainkan mitos sang mesias itu dalam sejarah berikutnya dijungkalkan dengan lahirnya mitos Fir`aun. Tatkala Soekarno berkuasa, rakyat pun mengagungkannya sebagai sang Ratu Adil (digelari Pemimpin Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat dan Seniman Agung) yang bisa mengatasi krisis dari keterjajahan menuju kemerdekaan. Begitu pun dengan Soeharto (Bapak Pembangunan), dianggap mampu membawa negeri ini hengkang dari keterbelakangan menuju pembangunan. Tetapi ketika "pulung" itu telah pudar, yang terjadi adalah kecaman yang tak ubahnya seperti pada Fir`aun.

Tak cuma dua tokoh itu, naiknya Abdurrahman Wahid pun oleh Kunto juga dinilai tak lepas dari mitos. Dia yang dimitoskan sebagai wali oleh para pengikutnya, setelah ditengarai dari dua celah kerentanan Habibie dan Megawati, akhirnya menjadi sang mitos nomor satu di negeri ini. Tak sampai masa baktinya usai, ia pun dijatuhkan. Begitu pun soal kemenangan PDIP, tak bisa dilepas dari mitos pula. Tak bisa dingkari oleh para pemilihnya bahwa PDIP diyakini membawa pulung kerajaan murca (menghilang sementara) yang dimiliki oleh keluarga Soekarno. Selain itu juga karena mitos tumbal (korban 27 Juli). Tak beda dengan PDIP yang dihinggapi mitos, partai-partai lain juga lahir sebagai reinkarnasi dari partai-partai terdahulu.

Upaya Demitologisasi
Pendeknya, Kunto dengan serentetan bukti membeberkan sejumlah mitos yang tak cuma ditepisnya, tetapi ingin ditiadakan (demitologisasi). Karena baginya, masalah yang menimpa negeri ini harus dihadapi dengan realistis dan tidak dengan cara berpikir berdasarkan mitos. Dan untuk melakukan demitologisasi itu, Kunto lewat buku ini mengajukan empat upaya sebagai kekuatan pendukungnya.

Pertama, dengan memperkenalkan ilmu pengetahuan (Barat). Karena dengan cara itu, orang tidak lagi berpikir berdasarkan mitos, seperti terjadinya gerhana bulan tidak akan mungkin dijelaskan dengan mitos raksasa yang coba memakan matahari.

Kedua, lahirnya gerakan puritanisme dalam agama. Sebab, gerakan puritanisme jelas-jelas menolak mitos. Lahirnya Muhammadiyah, misalnya, sejak mula telah melakukan agenda utama pemberantasan taklid, bid`ah dan khurafat, di mana semua itu dianggapnya sebagai mitos.
Selain itu, yang ketiga adalah dengan analisis sejarah. Dengan cara itu, manusia akan berpikir kritis kepada mitos dan gejala mitologisasi. Analisis sejarah yang rasional dan faktual terhadap mitos akan menjadikan sejarawan tak lagi menjadi partisipan, tetapi mampu melihat dari suatu jarak. Keempat adalah melalui seni. Jika dalam mitologisasi telah terjadi abstraksi dari yang konkret, maka menurut Kunto, seni adalah sebaliknya, konkretisasi dari yang abstrak. Karena lewat seni, semua nilai-nilai dikonkretisasikan (hal. 96-97).

Dengan keempat upaya demitologisasi itu, manusia akan menjadi sadar akan realitas dan kekonkretan masalah sesungguhnya. Jika orang masih berpikir berdasarakan mitos, menurut Kunto, tidaklah akan bisa menghadapi kenyataan. Seperti halnya keruwetan yang dihadapi bangsa ini, haruslah dihadapi dengan cara berpikir realistis tidak dengan cara berpikir berdasarakan mitos. Sebab yang dihadapi bangsa ini adalah konkret (keterpurukan ekonomi, disintegrasi bangsa dan anarki hukum) dan hal itu—tak bisa tidak—harus dihadapi dengan cara berpikir secara realistis.

*) n. mursidi adalah pecinta buku, tinggal di Yogyakarta.

baca lebih lanjut...?

Dimensi Rasionalitas Tasawuf Al-Ghazali

Resensi ini dimuat di KOMPAS Sabtu 23 Nov 02

Judul Buku: Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali
Penulis: Prof Dr Amin Syukur, MA dan Drs Masyharuddin, MA
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2002
Tebal buku: xi + 249 halaman

KEBIMBANGAN tampaknya bisa menjadi salah satu faktor bagi seseorang untuk kemudian tenggelam ke dalam relung tasawuf demi memetik sebuah kedamaian hati. Setidaknya, itulah yang dialami oleh Al-Ghazali, salah satu tokoh besar Islam yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan "Hujjatul Islam". Sebab, setelah pengembaraannya dalam belantara ilmu kalam, fiqih, dan filsafat tak mendapatkan banyak hal bahkan justru mengalami kebimbangan dan sakit fisik yang berat, Al-Ghazali --setelah sembuh-- kemudian menempuh jalan hidup menjadi seorang sufi.

Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf.

Jika pada awal pembentukan tasawuf-berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan-dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazaid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana', dan wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.

Kendatipun sumbangan Al-Ghazali dalam tasawuf bisa dikatakan cukup besar dan telah memberikan warna baru, dan berusaha merilis satu jalan ruhani menuju Tuhan dengan mendasarkan Al Quran dan hadits, selain secara epistemologi berusaha menemukan kebenaran dengan jalan intuisi (dzauqiyah), toh oleh banyak kalangan (Barat) tasawuf tetap dianggap antirasionalitas. Bahkan yang lebih parah lagi adalah adanya satu tuduhan di mana karena tasawuflah, umat Islam mengalami kemunduran.

Adanya tuduhan itu, memang tak lepas dari gencarnya serangan yang dilakukan Al-Ghazali kepada filsuf-filsuf Muslim, di mana akhirnya secara sepihak dimenangkan oleh Al-Ghazali. Dengan demikian, Al-Ghazali pun kemudian kena satu klaim sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas kemunduran (umat) Islam tersebut.

***

BUKU Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali ini memang tidak berpretensi untuk menjawab tuduhan di atas dan melakukan pembelaan terhadap Al-Ghazali. Akan tetapi, buku yang ditulis oleh Amin Syukur dan Masyharuddin-dua orang ilmuwan Muslim yang memiliki perhatian besar terhadap masalah-masalah tasawuf-ini jelas ingin menunjukkan dan membuktikan dengan disertai argumen yang meyakinkan bahwa rumusan tasawuf yang dikembangkan Al-Ghazali bukanlah suatu rumusan tasawuf yang sepi dari adanya penalaran (rasionalitas).

Adanya segi-segi penalaran mengenai konsepsi tasawuf Al-Ghazali, dalam buku ini ditunjukkan dari hasil lacakan melalui dasar-dasar ontologis tasawuf Al-Ghazali yang mengakui otoritas jiwa/akal sebagai substansi yang berdiri sendiri dan merupakan tempat bersemayamnya pengetahuan-pengetahuan intelektual. Selain itu, Al-Ghazali juga mengakui metafisika cahaya (nur), yang mana Allah sebagai asal-usul segala cahaya serta hubungannya dengan dunia ciptaan yang menerima cahaya dari-Nya.

Begitu juga tentang moral, dapatlah dikatakan bahwa tasawufnya bersifat religius dan sufistik, mesti tidak berarti Al-Ghazali menolak prinsip etika yang berasal dari sumber lain, yakni rasio/filsafat. Dari situ, sebenarnya sudah tampak sikap Al-Ghazali yang tidak menafikan peranan akal dalam konsepsi tasawufnya.

Meski demikian, hal itu masih kurang memadai. Lebih lanjut, Masyharuddin dalam bagian kedua buku ini kemudian melakukan analisis atas rasionalitas dari sisi epistemologi. Ditinjau dari dimensi rasionalitas, dia melihat konsepsi tasawuf Al-Ghazali berdasarkan epistemologi yang dikembangkan tampak tercermin pada; 1) penggunaan logika yang tetap dalam memahami tasawuf maupun perumusannya, sehingga bangunan konsepsi tasawufnya memiliki segi pemikiran logis dan rasional, 2) penggunaan analog-analog secara tepat dalam mengomunikasikan pemikiran tasawufnya, dan 3) sikap apresiatifnya terhadap akal, sehingga pemikiran tasawufnya tidak menolak akal sama sekali. (hlm. 227)

***

AKHIR kata, apa yang telah diupayakan Al-Ghazali dengan rumusan tasawufnya telah menandai satu titik puncaknya dengan keberhasilan gemilang yang telah diraihnya-selain Al-Qusyairi dan Al-Hawari-karena telah mengembalikan tasawuf pada landasan Al Quran dan hadits. Selain itu, Al-Ghazali juga telah menawarkan teori tasawuf baru (ma`rifat) sebagai pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya yang mana itu telah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya, sehingga Al-Ghazali dikatakan seorang sufi yang bisa meredam perseteruan yang tidak harmonis antara ilmu kalam, fiqih, dan filsafat.

Namun di sisi lain, tak bisa dipungkiri, ternyata apa yang telah diupayakan oleh Al-Ghazali tersebut telah melahirkan implikasi dan ekses yang tak bisa dibendung. Pemikiran tasawufnya mengalami kemandulan dalam periode sesudahnya.

Adanya kemandulan pemikiran tasawuf pasca-Al-Ghazali itu, tak lain karena tasawuf telah didistorsi dalam bentuk tarekat-tarekat yang lebih menyerupai agama dalam agama. Akibatnya, tasawuf yang sebenarnya sarat dengan muatan intelektual-sebagaimana yang dirumuskan Al-Ghazali-mengalami pereduksian dimensi kognitif dan berubah menjadi rutinitas ritual di bawah para syeikh/mursyid tarekat dengan segala implikasinya, seperti pemujaan wali, pencarian berkah, dan sebagainya. Dengan demikian, apakah Al-Ghazali salah dan harus bertanggung jawab terhadap kemunduran umat Islam? Semua itu tentunya dibutuhkan kecermatan yang tidak serampangan!

*) n. mursidi, mahasiswa filsafat IAIN aunan kalijaga, Yogya

baca lebih lanjut...?

itikad memahami pesan Tuhan

resensi ini dimuat di majalah Tempo, edisi 31/XXXI 30 Sep02 (arsip baru ditemukan)

Judul buku : Hermeneutika Qur'ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi
Penulis : Fakhruddin Faiz
Penerbit : Qalam, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, April 2002
Tebal : ix + 147 halaman

Diturunkan 15 abad yang lalu, Al-Quran diyakini umat Islam sebagai sumber utama, tempat semua masalah hidup disandarkan. Zaman terus berlalu. Islam berkembang ke wilayah-wilayah yang memiliki perbedaan dengan kondisi sosial-historis di saat Al-Quran diturunkan. Akselerasi zaman ini melahirkan pula berbagai masalah kontemporer yang membutuhkan jawaban. Untuk itu, diperlukan interpretasi atau penafsiran Al-Quran secara kontekstual.

Fakhruddin Faiz, staf pengajar Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, mencoba menelaah karya Rasyid Ridha dan Abduh (dalam tafsir Al-Manar) serta Hamka (dalam tafsir Al-Azhar) untuk menyusuri seberapa jauh metode interpretasi dari kedua tafsir itu memuat unsur-unsur hermeneutika.

Pelacakan Faiz menemukan bahwa kedua tafsir tersebut cukup kuat dalam melakukan penafsiran dengan cara hermeneutika. Dengan mengolah teks, misalnya, baik Ridha, Abduh, maupun Hamka telah berupaya menggali makna Al-Quran secara operatif fungsional. Mereka berupaya agar Al-Quran itu dapat dijadikan petunjuk nyata bagi kehidupan umat Islam.

Ada sikap rasional dalam mengolah teks dari ketiga penulis di atas—walau bukan tanpa kelemahan. Menurut Faiz, mereka lebih menekankan aspek langue (bahasa) daripada aspek parole (kata-kata). Dalam tafsir Al-Manar, misalnya, Abduh berusaha mengubah pandangan orang karena ia menolak poligami (An-Nisa': 3), yang dia nilai tidak adil terhadap perempuan. Sementara itu, Hamka, dalam menafsirkan surat Muhammad: 4, tampak teguh berpendapat bahwa Nabi pernah pula memberikan hukuman kepada tawanannya, meski ia memiliki sifat welas asih.

Penelusuran penulis buku ini sampai pada kesimpulan bahwa kedua tafsir tersebut bercorak hermeneutik. Faiz melihat aspek teks, konteks, dan kontekstualisasi dari kedua tafsir tersebut amatlah kental. Namun, tak dapat diingkari bahwa ketiga aspek itu masih jarang bisa berjalan secara bersama-sama. Kendati demikian, upaya Ridha, Abduh, dan Hamka dalam menggali makna teks untuk memahami pesan Tuhan itu setidaknya merupakan satu itikad yang patut dihargai.

Nur Mursidi, Peneliti Lembaga Pantheon, Yogyakarta

baca lebih lanjut...?