....

Minggu, 02 Maret 2008

cinta sejati "orang yang malang"

resensi ini dimuat Jurnal Nasional, Minggu 2 Maret 08

---------------------
Judul buku: Devdas; Kisah Cinta Dua Dunia
Pengarang: Saratchandra Chattopadhyay
Penerbit : Kayla Pustaka, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2007
Tebal buku : 257 halaman
---------------------

SAMPAI kapan pun, novel yang bercerita tentang kisah cinta akan selalu menarik dan memikat untuk dibaca sepanjang masa. Karena novel bertema cinta seakan tak lekang dimakan waktu, juga tidak dibatasi oleh ruang. Apalagi, kalau "kisah cinta" itu sampai berujung jadi tragedi, dan tidak menjadikan dua anak manusia yang saling cinta itu dapat bersatu dalam ikatan pernikahan, tetapi justru dipisahkan oleh kematian. Tidak salah, kisah tragis itupun serasa mengundang derai air mata, mengiris-iris lapisan hati dan ujungnya akan selalu diingat sebagai sebuah kenangan yang tak mudah untuk dilupakan.

Novel karya Saratchandra Chattopadhyay yang berjudul Devdas ini, adalah salah satu bukti dari kebenaran itu. Meskipun novel Devdas ini sudah delapan kali diangkat ke layar lebar tetap saja memikat dan seperti ditulis Saratchandra kemarin sore. Padahal, novel Devdas ini pertama kali diterbitkan tahun 1917 tetapi serasa tak lekang oleh waktu.

Syahdan, Devdas dan Parvati --dua tokoh novel ini-- diceritakan Saratchandra sudah berteman sejak kecil. Keduanya bahkan telah mengukir kenangan indah yang sulit untuk dilupakan. Tak salah, jika saat mereka tumbuh dewasa, bibit cinta pun bersemi. Tetapi "bibit cinta" itu harus terpenggal, lantaran Devdas harus meneruskan sekolah ke Kalkuta. Waktu terus merangkak namun cinta kedua anak manusia itu tetap tak bisa dipisahkan, terlebih saat keduanya mendekati usia pernikahan.

Sayangnya, cinta tak selamanya harus memiliki. Parvati pun harus bersedih, lantaran orangtua Devdas tak mau menerima kehadiran Parvati di tengah keluarga mereka. Ayah Devdas menolak Parvati, semata-mata karena Parvati tak sepadan, berstatus sosial rendah. Ayah Parvati sadar, lalu menikahkan Parvati dengan Bhuvan Chowdhury, seorang duda yang kebetulan kaya raya.

Pernikahan Parvati itu, membuat Devdas jadi linglung. Devdas sering mabuk, dan keluyuran ke tempat pelacuran hingga ia berkenalan dengan Chandramukhi, pelacur cantik yang jatuh cinta "setengah mati" kepadanya. Tetapi Devdas tak pernah membalas cinta Chandramukhi karena di hati Devdas hanya ada Parvati. Devdas pun membalas "cinta" pelacur itu dengan memberi uang berlimpah lalu mengembara ke penjuru kota lantaran merana. Akibat kebiasaan buruk sering minum itu, Devdas terserang penyakit sirosis liver.

Tidak ingin mati jauh dari Parvati, Devdas akhirnya menempuh perjalanan jauh untuk bertemu dengan Parvati sebelum ajal tiba. Tetapi sayang, setelah menempuh perjalanan dua hari dua malam dan dia sudah berada di depan rumah Parvati (di kota Hatipota), justru dia tak kuasa mengetuk pintu rumah Parvati. Ia meninggal tragis kedinginan hanya dibalut pakaian kumal seperti seorang gelandangan. Lebih tragis, tak seorang warga pun yang berani menyentuhnya. Ia mati merana dan dimakamkan bak seorang kasta rendahan. Usai dibakar, mayatnya dilemparkan dan serigala mencabik-cabik tubuh gosongnya. Dia pun disebut-sebut oleh warga Hatipota sebagai "orang yang malang".

Harus diakui, meski novel cinta sejati Devdas-Parvati ini bukan tema baru dalam dunia sastra, tetapi novel Devdas Kisah Cinta Dua Dunia ini patut diperhitungkan dalam peta khazanah sastra. Dengan mengangkat kisah cinta sejati dua anak manusia dari dua kasta yang berbeda, pengarang yang lahir di Hugli (1876) dari keluarga miskin ini, seakan telak membelejeti dominasi kasta di India yang tidak adil. Karena itu, Devdas di ujung kisah dibuat pengarang mati bak seorang gelandangan. Sementara, Parvati yang lahir dari keluarga miskin hidup terhormat karena ia bisa menjaga kehormatan.

Novel yang kental dengan nuansa adat yang dipegang kuat oleh warga India ini tergolong karya klasik yang menumental. Dengan latar belakang Saratchandra yang tumbuh dari keluarga miskin, seakan novel ini seperti hantaman telak terhadap kasta yang kerap membenggu cinta dua anak manusia bahkan tirani elite di tengah masyarakat yang kerap menciptakan kemiskinan sistemik serta ketidakadilan bagi orang-orang kecil.

Sayang Saratchandra kurang beringas dalam menghantam tirani kasta sehingga ia masih tetap memihak kaum tua. Dengan kata lain, ia masih memenangkan keputusan orangtua Devdas. Tidak pelak, jika novel Devdas ini seperti juga novel Siti Nurbaya yang harus berujung tragis lantaran cinta dua anak manusia yang menjadi tokoh utama tidak kesampaian karena cengkraman kasta kuat membelenggu.

Bisa jadi justru "ketidakberingasan" pengarang itu merupakan satu kekuatan novel ini. Karena Saratchandra seakan tahu bahwa dominasi kasta tak bisa sekejap diruntuhkan, setidaknya butuh waktu bertahun-tahun untuk dapat dikikis. Maka dengan cerdik, pengarang yang meninggal di Kalkuta 1938 ini lebih memilih ending yang tragis dengan kematian Devdas yang keturunan Brahmana tetapi mati dengan menyedihkan seperti orang malang.***

*) N. Mursidi, cerpenis asal Lasem, Jawa Tengah.

1 komentar:

jangkrix mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.