resensi ini dimuat di Media Indonesia, Sabtu, 8 Maret 2008
-------------------------------
Judul buku : Karnak Cafe
Penulis : Najib Mahfudz
Penerbit : Alvabet Jakarta
Cetakan : Pertama, Feb 08
Tebal buku : 180 halaman
-------------------------------
KEBERADAAN cafe di setiap negara belahan bumi ini, tak bisa disangkal ternyata tidak sekadar sebuah tempat untuk menghilangkan rasa lapar, dan haus belaka. Lebih dari itu, kafe tak jarang menjadi persinggahan orang-orang yang ingin melepas lelah atau rehat sejenak sehabis bekerja, tempat kumpulnya para aktivis diskusi, bahkan bisa menjadi rumah kedua bagi sastrawan untuk mencari inspirasi dan ide sebuah cerita.
Tak salah, kalau Najib Mahfudz -seorang sastrawan tersohor Mesir yang pernah mendapatkan hadiah nobel sastra pada 1988- rela meluangkan waktu cukup lama untuk singgah di kafe. Selain duduk dan menikmati minuman kopi, ternyata obrolan Najib dengan para pengunjung lain -di sela-sela minum secangkir kopi- atau melepas kangen dengan teman-temannya ternyata bisa menjadi sebuah cerita yang layak untuk diangkat menjadi sebuah novel. Lantaran dari obrolan di kafe itu, Najib mengaku mendapat banyak pengetahuan, dan wawasan soal politik juga sastra.
Hiruk pikuk kehidupan para pengunjung kafe rupanya menjadi daya pikat yang membuat Najib tak kehilangan akal. Najib --yang mulai menulis sejak umur 17 tahun itu-- menjadikan kehidupan kafe sebagai latar belakang kisah, sedang "sejarah politik" dan kondisi sosial Mesir menjadi muatan cerita. Wajar, jika novel ini kemudian diberi judul Karnak Cafe. Karena sejarah politik Mesir itu diceritakan Najib dari balik kafe.
Sepintas lalu, memang novel ini menuturkan detail tipikal sebuah cafe tetapi tak dimungkiri lebih memotret kehidupan di balik cafe seputar situasi politik Mesir sebelum dan sesudah kekalahan Mesir pada 1967 dan pilihan hidup warga Mesir yang dirundung duka kekacauan akibat kalah perang melawan Israel. Jadi, tidak disangsikan, novel ini merupakan semacam kemarahan pengarang atas situasi dan kekacauan politik tersebut.
*) n. mursidi, cerpenis asal Lasem, Jawa Tengah
Tak salah, kalau Najib Mahfudz -seorang sastrawan tersohor Mesir yang pernah mendapatkan hadiah nobel sastra pada 1988- rela meluangkan waktu cukup lama untuk singgah di kafe. Selain duduk dan menikmati minuman kopi, ternyata obrolan Najib dengan para pengunjung lain -di sela-sela minum secangkir kopi- atau melepas kangen dengan teman-temannya ternyata bisa menjadi sebuah cerita yang layak untuk diangkat menjadi sebuah novel. Lantaran dari obrolan di kafe itu, Najib mengaku mendapat banyak pengetahuan, dan wawasan soal politik juga sastra.
Hiruk pikuk kehidupan para pengunjung kafe rupanya menjadi daya pikat yang membuat Najib tak kehilangan akal. Najib --yang mulai menulis sejak umur 17 tahun itu-- menjadikan kehidupan kafe sebagai latar belakang kisah, sedang "sejarah politik" dan kondisi sosial Mesir menjadi muatan cerita. Wajar, jika novel ini kemudian diberi judul Karnak Cafe. Karena sejarah politik Mesir itu diceritakan Najib dari balik kafe.
Sepintas lalu, memang novel ini menuturkan detail tipikal sebuah cafe tetapi tak dimungkiri lebih memotret kehidupan di balik cafe seputar situasi politik Mesir sebelum dan sesudah kekalahan Mesir pada 1967 dan pilihan hidup warga Mesir yang dirundung duka kekacauan akibat kalah perang melawan Israel. Jadi, tidak disangsikan, novel ini merupakan semacam kemarahan pengarang atas situasi dan kekacauan politik tersebut.
*) n. mursidi, cerpenis asal Lasem, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar