resensi ini dimuat di Sinar Harapan, Sabtu 12 April 08
Judul buku : Summer in Hell
Pengarang : Scott Smith
Penerbit : Dastanbook, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal buku : 534 halaman
TUJUAN utama orang piknik melewatkan musim panas, tak lain supaya dia bisa menikmati kesenangan dan kebahagian hidup. Sering, aktivitas sehari-hari yang monoton dengan setumpuk pekerjaan atau tugas-tugas kuliah, membuat orang dihantam kejenuhan dan tertekan. Salah satu "jalan pelepasan" dari kungkungan itu biasanya orang memilih piknik. Dengan melakukan piknik, ia berharap dapat merengkuh pengalaman berharga dalam hidup, dapat mengenal kehidupan di tempat tujuan, seperti; budaya, ritual, tradisi dan adat istiadat.
Tetapi, bagaimana kalau harapan piknik yang menyenangkan itu ternyata tidak seperti yang dibayangkan? Perjalanan piknik yang semula diharapkan bisa mendapatkan pengalaman dan kenangan manis, justru harus berakhir mengenaskan. Kenyataan pahit itulah yang dialami empat turis Amerika (Eric, Jeff, Amy dan Stacy) ketika mereka berlibur untuk melewatkan musim panas ke Cancun, Mexico sebagaimana dikisahkan Scott Smith dalam novel Summer in Hell ini.
Di Cancun, awalnya keempat turis itu bisa menikmati kebebasan, merasa bahagia dan senang karena menginap di sebuah hotel di tepian pantai, sehingga mereka dapat melihat ombak yang bergulung-gulung. Jadi, keempat turis itu pun merasa hidup di surga. Tetapi, perkenalan mereka dengan Mathias --lelaki asal Jerman-- yang sedang piknik ke Cancun, rupanya telah mengantar keempat turis Amerika itu dan Pablo --kemudian disusul dua temannya; Juan dan Don Quixote-- asal Yunani ke tempat yang mengundang sebuah petaka.
Petaka itu bermula, tatkala Mathias ditinggal pergi adiknya, Henrich yang menyusul gadis yang dicintainya ke daerah pedalaman, di barat Coba untuk menemukan benda-benda purbakala. Tak tega Mathias pergi sendirian, maka Jeff, Amy, Stacy, Amy dan Pablo ikut membantu. Setelah menempuh perjalanan melewati hutan dan jalan setapak, akhirnya mereka sampai di daerah pedalaman di sebuah kaki bukit.
Tetapi betapa terkejutnya mereka semua, karena sesampai di kaki bukit itu justru tak menemukan Henrich, melainkan hanya tenda kosong dan tanah luas yang dipenuhi tanaman merambat. Lebih tidak dipahami, ternyata penduduk Mayan --yang tinggal di sekitar bukit-- justru tiba-tiba mengepung mereka mengancam akan membunuh jika mereka semua berani pergi dari daerah itu. Padahal, mereka tidak bisa memahami bahasa suku Mayan itu. Akibatnya mereka terkepung dan tak bisa bernegosiasi dengan suku Mayan kecuali bertahan dan mencari Henrich.
Setelah mencari ke segala penjuru, mereka akhirnya menemukan Henrich. Tapi, sia-sia. Henrich sudah menjadi mayat, tubuhnya dimakan tanaman merambat bersama sekelompok arkeolog. Sontak, mereka kaget. Apalagi sebelum itu mereka menyaksikan tumbuhan merambat itu bisa menirukan berbagai suara, merambat ke segala arah bahkan menjalari tubuh Pablo. Akhirnya, mereka pun dibuat bingung sebab di pagi hari, kaki Pablo sudah dimakan tumbuhan merambat itu. Padahal, perbekalan mereka itu tak banyak. Tak pelak, jika mereka berusaha keras untuk tetap bertahan hidup dengan makanan dan minuman sekadarnya dan berharap teman Pablo, orang Yunani itu datang untuk menolong.
Tapi, harapan mereka menunggu kedatangan dua teman Pablo, Don Quixote dan Juan ternyata tak membuahkan hasil. Tanaman merambat itu keburu menyerang mereka semua. Akhirnya, satu persatu mereka mati mengenaskan sebab digerogoti tumbuhan keparat itu. Dua taman Pablo datang tiga hari kemudian yang ternyata sia-sia, karena tak bisa menyelamatkan mereka semua lantaran datang terlambat setelah semuanya mati mengenaskan.
Tak pelak, kalau novel yang aslinya berjudul The Ruins ini mengundang ketegangan sejak halaman awal. Dengan durasi cerita yang hanya tiga hari tiga malam, novel ini sudah mengundang debar jantung pembaca berdetak kencang, dan bergemuruh lantaran berkisah petualangan menegangkan. Perjalanan piknik empat turis Amerika itu, Mathias, dan Pablo harus berakhir tragis. Semua itu, tidak terbayangkan dan tak terduga!
Mungkin yang jadi pertanyaan, alasan apa penerbit menerjemahkan judul novel ini menjadi Summer in Hell. Kalau, memang lantaran kepergian mereka itu piknik untuk melewatkan musim panas tetapi kenapa di "musim panas" itu justru selama dua hari yang menegangkan sesampai mereka di daerah pedalaman di barat Coba yang konon menyimpan benda purbakala itu, justru turun hujan deras?
Dengan kejadian turun hujan deras itu, memang jalinan cerita menjadi punya napas. Karena mereka yang kehabisan air, kemudian dapat bertahan hidup. Tetapi, peristiwa itu kemudian seakan menepis musim panas tidak lagi menjadi musim panas, meski tidak menutup kemungkinan hujan bisa datang juga di musim panas.
Mungkin yang patut diacungi jembol untuk pengarang yang dulu menempuh pendidikan di Dartmouth College dan Columbia University ini, adalah "besutan" rasa penarasan dan leletan ketegangan yang bisa membuat pembaca tertegun, dan kagum. Dengan menaburkan kegelisahan, keresahan dan keputusasaan, pembaca pun nyaris dibuat bersitegang dengan akhir cerita yang hendak dipilih Scott Smith di akhir novel ini. Anehnya, ujung cerita benar-benar mencengangkan. Apalagi, musuh mereka ternyata bukan orang-orang Mayan yang telah mengacungkan tombak dan anak panah yang mengancam mereka, melainkan sekumpulan tumbuhan merambat yang bisa membunuh orang dengan cara kejam dan keji. Karena tumbuhan itu bisa bergerak, menirukan suara dan bahkan berpikir seperti manusia.
Tak pelak, novel ini coba berkisah tentang keunikan tumbuhan merambat yang bisa membunuh itu. Oleh karena itu, Anda tidak rugi membeli buku ini!***
*) n. mursidi, cerpenis tinggal di ciputat, tangerang.
Tetapi, bagaimana kalau harapan piknik yang menyenangkan itu ternyata tidak seperti yang dibayangkan? Perjalanan piknik yang semula diharapkan bisa mendapatkan pengalaman dan kenangan manis, justru harus berakhir mengenaskan. Kenyataan pahit itulah yang dialami empat turis Amerika (Eric, Jeff, Amy dan Stacy) ketika mereka berlibur untuk melewatkan musim panas ke Cancun, Mexico sebagaimana dikisahkan Scott Smith dalam novel Summer in Hell ini.
Di Cancun, awalnya keempat turis itu bisa menikmati kebebasan, merasa bahagia dan senang karena menginap di sebuah hotel di tepian pantai, sehingga mereka dapat melihat ombak yang bergulung-gulung. Jadi, keempat turis itu pun merasa hidup di surga. Tetapi, perkenalan mereka dengan Mathias --lelaki asal Jerman-- yang sedang piknik ke Cancun, rupanya telah mengantar keempat turis Amerika itu dan Pablo --kemudian disusul dua temannya; Juan dan Don Quixote-- asal Yunani ke tempat yang mengundang sebuah petaka.
Petaka itu bermula, tatkala Mathias ditinggal pergi adiknya, Henrich yang menyusul gadis yang dicintainya ke daerah pedalaman, di barat Coba untuk menemukan benda-benda purbakala. Tak tega Mathias pergi sendirian, maka Jeff, Amy, Stacy, Amy dan Pablo ikut membantu. Setelah menempuh perjalanan melewati hutan dan jalan setapak, akhirnya mereka sampai di daerah pedalaman di sebuah kaki bukit.
Tetapi betapa terkejutnya mereka semua, karena sesampai di kaki bukit itu justru tak menemukan Henrich, melainkan hanya tenda kosong dan tanah luas yang dipenuhi tanaman merambat. Lebih tidak dipahami, ternyata penduduk Mayan --yang tinggal di sekitar bukit-- justru tiba-tiba mengepung mereka mengancam akan membunuh jika mereka semua berani pergi dari daerah itu. Padahal, mereka tidak bisa memahami bahasa suku Mayan itu. Akibatnya mereka terkepung dan tak bisa bernegosiasi dengan suku Mayan kecuali bertahan dan mencari Henrich.
Setelah mencari ke segala penjuru, mereka akhirnya menemukan Henrich. Tapi, sia-sia. Henrich sudah menjadi mayat, tubuhnya dimakan tanaman merambat bersama sekelompok arkeolog. Sontak, mereka kaget. Apalagi sebelum itu mereka menyaksikan tumbuhan merambat itu bisa menirukan berbagai suara, merambat ke segala arah bahkan menjalari tubuh Pablo. Akhirnya, mereka pun dibuat bingung sebab di pagi hari, kaki Pablo sudah dimakan tumbuhan merambat itu. Padahal, perbekalan mereka itu tak banyak. Tak pelak, jika mereka berusaha keras untuk tetap bertahan hidup dengan makanan dan minuman sekadarnya dan berharap teman Pablo, orang Yunani itu datang untuk menolong.
Tapi, harapan mereka menunggu kedatangan dua teman Pablo, Don Quixote dan Juan ternyata tak membuahkan hasil. Tanaman merambat itu keburu menyerang mereka semua. Akhirnya, satu persatu mereka mati mengenaskan sebab digerogoti tumbuhan keparat itu. Dua taman Pablo datang tiga hari kemudian yang ternyata sia-sia, karena tak bisa menyelamatkan mereka semua lantaran datang terlambat setelah semuanya mati mengenaskan.
Tak pelak, kalau novel yang aslinya berjudul The Ruins ini mengundang ketegangan sejak halaman awal. Dengan durasi cerita yang hanya tiga hari tiga malam, novel ini sudah mengundang debar jantung pembaca berdetak kencang, dan bergemuruh lantaran berkisah petualangan menegangkan. Perjalanan piknik empat turis Amerika itu, Mathias, dan Pablo harus berakhir tragis. Semua itu, tidak terbayangkan dan tak terduga!
Mungkin yang jadi pertanyaan, alasan apa penerbit menerjemahkan judul novel ini menjadi Summer in Hell. Kalau, memang lantaran kepergian mereka itu piknik untuk melewatkan musim panas tetapi kenapa di "musim panas" itu justru selama dua hari yang menegangkan sesampai mereka di daerah pedalaman di barat Coba yang konon menyimpan benda purbakala itu, justru turun hujan deras?
Dengan kejadian turun hujan deras itu, memang jalinan cerita menjadi punya napas. Karena mereka yang kehabisan air, kemudian dapat bertahan hidup. Tetapi, peristiwa itu kemudian seakan menepis musim panas tidak lagi menjadi musim panas, meski tidak menutup kemungkinan hujan bisa datang juga di musim panas.
Mungkin yang patut diacungi jembol untuk pengarang yang dulu menempuh pendidikan di Dartmouth College dan Columbia University ini, adalah "besutan" rasa penarasan dan leletan ketegangan yang bisa membuat pembaca tertegun, dan kagum. Dengan menaburkan kegelisahan, keresahan dan keputusasaan, pembaca pun nyaris dibuat bersitegang dengan akhir cerita yang hendak dipilih Scott Smith di akhir novel ini. Anehnya, ujung cerita benar-benar mencengangkan. Apalagi, musuh mereka ternyata bukan orang-orang Mayan yang telah mengacungkan tombak dan anak panah yang mengancam mereka, melainkan sekumpulan tumbuhan merambat yang bisa membunuh orang dengan cara kejam dan keji. Karena tumbuhan itu bisa bergerak, menirukan suara dan bahkan berpikir seperti manusia.
Tak pelak, novel ini coba berkisah tentang keunikan tumbuhan merambat yang bisa membunuh itu. Oleh karena itu, Anda tidak rugi membeli buku ini!***
*) n. mursidi, cerpenis tinggal di ciputat, tangerang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar