resensi ini dimuat di Jurnal Nasional, Minggu 20 april 2008
Judul buku : Black Mission
Pengarang : James Rollins
Penerbit : Dastanbook, Jakarta
Cetakan : Pertama, Nov 2007
Tebal buku : 668 halaman
KEKALAHAN Jerman pada Perang Dunia II, ternyata tak menjadikan sekutu menyia-nyiakan warisan berharga Nazi seperti tanah, sumber daya, riset bahkan telnologi Jerman untuk dijarah. Tak salah, jika Inggris, Amerika, Prancis dan Rusia bersaing memperebutkan "warisan" tersebut. Meski sejumlah paten seperti tabung vakum, bahan kimia, juga bahan plastik, pasteurisasi susu dengan sinar ultraviolet dan operation paper clip telah dijarah, ternyata jerman tidak mau menyerahkan penemuan berharga lain dengan sukarela.
Tak ingin proyek berharga terakhir jatuh ke tangan Rusia yang mencium keberadaan warisan berharga Hitler itu, maka proyek Schwarze Sonne --matahari hitam-- yang semula dikembangkan di Breslau Polandia itu kemudian dipindahkan Jacob Sporrenberg --atas perintah Himmler-- ke pedalaman Nepal. Tatkala Rusia membakar Breslau, warisan Hitler itu pun dianggap musnah. Padahal, proyek the Bell itu masih dilanjutkan di kastil Granitschloa, di pegunungan Himalaya.
Bertahun-tahun proyek rahasia dari warisan Hitler itu masih tersimpan rapat. Tapi James Rollins, dengan riset yang memadai berhasil menemukan black order dari Himmler itu. Rollins tidak menulisnya dalam buku ilmiah, melainkan dalam sekeping novel. Dengan penelusuran the Bell sejak di-evakuasi Jacob, di Breslau, James Rollins menyeret ke perebutan penguasaan the Bell seusai Jacob meninggal saat proyek itu dilanjutkan cucu Jacob, Anna Sporrenberg. Uniknya, perebutan itu menimbulkan petaka. Efek sabotase menimbulkan penyakit musykil yang merusak tubuh manusia pada level kuantum.
Meski tak ada kematian, tapi mengakibatkan penduduk di sekitar kastil Granitschloa terpaksa menderita insomnia, vertigo, kejang otot. Maka, Painter Crowe, direktur Sigma yang diundang biksu Ang Gelu ke biara untuk "melakukan" penelitian pun terkena penyakit. Saat dokter Lisa Cumming tiba di biara untuk mencari tahu sumber penyakit itu, hanya terbengong dan terperanjak kaget.
Kemunculan penyakit aneh itu, menjadikan jalinan kisah novel ini kian berbelit. Di sisi lain, Rollins berkisah melompat-lompat, latar di Copenhegen dengan misi Gray untuk menemukan Injil Darwin, raibnya Dr Marcia Fairfield di Afrika yang hilang dibawa ukufa, dan Logan Gregory di Amerika yang memerintah Monk menyusul Gray. Karena saat melacak Injil Warwin, Gray dihadang sabotase. Grette Neal (pemilik Injil Darwis) ditembak mati sehingga akhirnya Gray, Monk dan Fiola (cucu pungut Grette) pun terbang ke Jerman menemui Johann Hirszfeld (ahli waris Hugo Hirszfeld) guna melacak rahasia huruf kuno yang ditulis Hugo di balik sampul belakang Injil Darwin.
Ketika Lisa belum tahu sumber penyakit itu, Anna dan Gunther membakar biara, membunuh Ang Gelu dan para biksu, lantas menyandera Painter juga Lisa. Dari keterangan Anna, Lisa tahu penyakit itu berasal dari efek the Bell yang disabotase. The Bell yang semula dikembangkan untuk mencipta "manusia unggul" rekayasa genetik dari eksperimen teori kuantum (Max Plack) untuk menciptakan kelahiran anak sonnekonige -semacam Anna dan Gunther- harus berantakan.
Dari kerjasama Painter (serta Lisa) dengan Anna, akhirnya mereka tahu Xerum 525 yang menjadi "bahan bakar" the Bell ternyata dikembangkan di Afrika oleh Baldric Waalenberg. Tatkala kakek Anna mengevakuasi the Bell dan membawa ke utara, rahasia Xerum 525 rupanya diangkut ke Afrika. Baldric mengembangkan lebih jauh dan telah menemukan terobosan baru hingga bisa mencipta ukufa atau hyena raksasa. Waalenberg pun tinggal tahap akhir memecahkan 5 huruf kuno di buku Hugo. Misi itulah, yang membuat Waalenberg mengirim kedua cucunya, Isaak dan Ischke mendapatkan 5 buku Hugo, yang salah satunya adalah Injil Darwin.
Karena Gray dan Fiola berhasil membawa kabur Injil Darwin, maka Isaak dan Ischke menjebak Gray, Monk, Fiona (Ryan, cucu Hugo) di kastil Wewelsburg, kemudian dibawa ke Afrika. Meski 5 buku Hugo di genggaman tangan Waalenberg, tapi 5 huruf kuno Hugo tak kunjung terpecahkan. Padahal, lima huruf itu jadi "pengangkal" penyakit efek the Bell. Belum berhasil menecahkan rahasia huruf kuno di 5 buku Hugo (yang sebenarnya memuat 6 huruf), Gray, Monk, Fiona juga Ryan membuat ulah untuk melawan.
Di saat yang sama, Painter dan Lisa --dibantu oleh Anna, Gunther, Dr Paula Kane, Khamizi dan suku Zola-- menerobos rumah Waalenberg. Upaya Baldric pun bisa digagalkan. Lebih mencengangkan, Gray dapat memecahkan 6 huruf kuno tulisan Hugo dan Painter dapat dinetralisir. Tak cuma itu, Gray pun kemudian menemukan anak sempurna yang dicipta Hugo, yakni Pastor Piort yang tinggal di Polandia. Dari penelitian Gray, anak itu memang mendekati sempurna; memiliki kesehatan yang bagus.
Meski novel ini adalah fiksi, menurut pengarang yang menyandang gelar doktor di bidang pengobatan hewan dan berpraktek di Sacramento California ini mengklaim digali dari fakta sejarah. Dengan berani, ia mengklaim the Bell itu benar-benar ada. Juga, dia mengklaim menulis novel ini dengan riset. Sebagian isi novel ini memang dirajut imajinasi. Tapi ia mengembangkan imajinasi ukufa (hyena raksana) itu didasarkan "pengembangan" Stanford University, yang telah menghasilkan tikus chicera dengan otak yang mengandung sel saraf manusia.
Adapun episode sejarah Nazi mengevakuasi the Bell, dan Xerum 525 yang menjalarkan penyakit aneh didasarkan the Hunt for Zero (Nick Cook). Sedangkan ketertarikan Himmler pada huruf kuno dan klenik, didasarkan Himmler`s Crusade (Cristopher Hale) dan Unholy Allieance (Peter Lavenda). Soal mekanika kuantum disadarkan Quantum Evolution. Maka, pembaca yang ingin tahu detail penjelasan novel ini seputar the Bell, ketertarikan Himmler pada huruf kuno dan mekanika kuantum bisa merujuk buku-buku tersebut.
Selain ditunjang riset, pencapaian estetis Rollins juga membanggakan. Teknik yang berbelit, meloncat-loncat (latar Nepal, Afrika, Denmark, Amerika dan Jerman) menjadikan cerita novel ini sulit diikuti jika tak dibaca dengan seksama. Jalinan cerita yang bercabang itu, kalau tak dipahami dengan cermat, tentu membingungkan pembaca awam. Untung di akhir, Rollins bisa menggabungkan jalinan cerita dengan cemerlang.***
*) n. mursidi, cerpenis tinggal di Ciputat, Tangerang.
Tak ingin proyek berharga terakhir jatuh ke tangan Rusia yang mencium keberadaan warisan berharga Hitler itu, maka proyek Schwarze Sonne --matahari hitam-- yang semula dikembangkan di Breslau Polandia itu kemudian dipindahkan Jacob Sporrenberg --atas perintah Himmler-- ke pedalaman Nepal. Tatkala Rusia membakar Breslau, warisan Hitler itu pun dianggap musnah. Padahal, proyek the Bell itu masih dilanjutkan di kastil Granitschloa, di pegunungan Himalaya.
Bertahun-tahun proyek rahasia dari warisan Hitler itu masih tersimpan rapat. Tapi James Rollins, dengan riset yang memadai berhasil menemukan black order dari Himmler itu. Rollins tidak menulisnya dalam buku ilmiah, melainkan dalam sekeping novel. Dengan penelusuran the Bell sejak di-evakuasi Jacob, di Breslau, James Rollins menyeret ke perebutan penguasaan the Bell seusai Jacob meninggal saat proyek itu dilanjutkan cucu Jacob, Anna Sporrenberg. Uniknya, perebutan itu menimbulkan petaka. Efek sabotase menimbulkan penyakit musykil yang merusak tubuh manusia pada level kuantum.
Meski tak ada kematian, tapi mengakibatkan penduduk di sekitar kastil Granitschloa terpaksa menderita insomnia, vertigo, kejang otot. Maka, Painter Crowe, direktur Sigma yang diundang biksu Ang Gelu ke biara untuk "melakukan" penelitian pun terkena penyakit. Saat dokter Lisa Cumming tiba di biara untuk mencari tahu sumber penyakit itu, hanya terbengong dan terperanjak kaget.
Kemunculan penyakit aneh itu, menjadikan jalinan kisah novel ini kian berbelit. Di sisi lain, Rollins berkisah melompat-lompat, latar di Copenhegen dengan misi Gray untuk menemukan Injil Darwin, raibnya Dr Marcia Fairfield di Afrika yang hilang dibawa ukufa, dan Logan Gregory di Amerika yang memerintah Monk menyusul Gray. Karena saat melacak Injil Warwin, Gray dihadang sabotase. Grette Neal (pemilik Injil Darwis) ditembak mati sehingga akhirnya Gray, Monk dan Fiola (cucu pungut Grette) pun terbang ke Jerman menemui Johann Hirszfeld (ahli waris Hugo Hirszfeld) guna melacak rahasia huruf kuno yang ditulis Hugo di balik sampul belakang Injil Darwin.
Ketika Lisa belum tahu sumber penyakit itu, Anna dan Gunther membakar biara, membunuh Ang Gelu dan para biksu, lantas menyandera Painter juga Lisa. Dari keterangan Anna, Lisa tahu penyakit itu berasal dari efek the Bell yang disabotase. The Bell yang semula dikembangkan untuk mencipta "manusia unggul" rekayasa genetik dari eksperimen teori kuantum (Max Plack) untuk menciptakan kelahiran anak sonnekonige -semacam Anna dan Gunther- harus berantakan.
Dari kerjasama Painter (serta Lisa) dengan Anna, akhirnya mereka tahu Xerum 525 yang menjadi "bahan bakar" the Bell ternyata dikembangkan di Afrika oleh Baldric Waalenberg. Tatkala kakek Anna mengevakuasi the Bell dan membawa ke utara, rahasia Xerum 525 rupanya diangkut ke Afrika. Baldric mengembangkan lebih jauh dan telah menemukan terobosan baru hingga bisa mencipta ukufa atau hyena raksasa. Waalenberg pun tinggal tahap akhir memecahkan 5 huruf kuno di buku Hugo. Misi itulah, yang membuat Waalenberg mengirim kedua cucunya, Isaak dan Ischke mendapatkan 5 buku Hugo, yang salah satunya adalah Injil Darwin.
Karena Gray dan Fiola berhasil membawa kabur Injil Darwin, maka Isaak dan Ischke menjebak Gray, Monk, Fiona (Ryan, cucu Hugo) di kastil Wewelsburg, kemudian dibawa ke Afrika. Meski 5 buku Hugo di genggaman tangan Waalenberg, tapi 5 huruf kuno Hugo tak kunjung terpecahkan. Padahal, lima huruf itu jadi "pengangkal" penyakit efek the Bell. Belum berhasil menecahkan rahasia huruf kuno di 5 buku Hugo (yang sebenarnya memuat 6 huruf), Gray, Monk, Fiona juga Ryan membuat ulah untuk melawan.
Di saat yang sama, Painter dan Lisa --dibantu oleh Anna, Gunther, Dr Paula Kane, Khamizi dan suku Zola-- menerobos rumah Waalenberg. Upaya Baldric pun bisa digagalkan. Lebih mencengangkan, Gray dapat memecahkan 6 huruf kuno tulisan Hugo dan Painter dapat dinetralisir. Tak cuma itu, Gray pun kemudian menemukan anak sempurna yang dicipta Hugo, yakni Pastor Piort yang tinggal di Polandia. Dari penelitian Gray, anak itu memang mendekati sempurna; memiliki kesehatan yang bagus.
Meski novel ini adalah fiksi, menurut pengarang yang menyandang gelar doktor di bidang pengobatan hewan dan berpraktek di Sacramento California ini mengklaim digali dari fakta sejarah. Dengan berani, ia mengklaim the Bell itu benar-benar ada. Juga, dia mengklaim menulis novel ini dengan riset. Sebagian isi novel ini memang dirajut imajinasi. Tapi ia mengembangkan imajinasi ukufa (hyena raksana) itu didasarkan "pengembangan" Stanford University, yang telah menghasilkan tikus chicera dengan otak yang mengandung sel saraf manusia.
Adapun episode sejarah Nazi mengevakuasi the Bell, dan Xerum 525 yang menjalarkan penyakit aneh didasarkan the Hunt for Zero (Nick Cook). Sedangkan ketertarikan Himmler pada huruf kuno dan klenik, didasarkan Himmler`s Crusade (Cristopher Hale) dan Unholy Allieance (Peter Lavenda). Soal mekanika kuantum disadarkan Quantum Evolution. Maka, pembaca yang ingin tahu detail penjelasan novel ini seputar the Bell, ketertarikan Himmler pada huruf kuno dan mekanika kuantum bisa merujuk buku-buku tersebut.
Selain ditunjang riset, pencapaian estetis Rollins juga membanggakan. Teknik yang berbelit, meloncat-loncat (latar Nepal, Afrika, Denmark, Amerika dan Jerman) menjadikan cerita novel ini sulit diikuti jika tak dibaca dengan seksama. Jalinan cerita yang bercabang itu, kalau tak dipahami dengan cermat, tentu membingungkan pembaca awam. Untung di akhir, Rollins bisa menggabungkan jalinan cerita dengan cemerlang.***
*) n. mursidi, cerpenis tinggal di Ciputat, Tangerang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar