....

Senin, 23 April 2007

belajar filsafat sembari nonton film

resensi ini dimuat di kedaulatan rakyat (tanggal lupa masih dicari arsip aslinya)

Judul buku : Menikmati Filsafat Melalui Film Science-Fiction
Penulis: Mark Rowlands
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, 2004
Tebal buku : xxxix + 251 halaman

DALAM perdebatan filsafat, ada satu hal "krusial" yang selalu aktual dan jadi perdebatan tak kunjung usai; pertentangan dari dalam dan dari luar tentang cara manusia melihat dunia. Dari dalam, siapa pun akan melihat dia (manusia) adalah pusat dan sebagai tujuan. Tetapi, dilihat dari luar, semua itu ternyata tak seperti apa yang dipikirkan, tidak mungkin dan tak pasti.

Tema sentral itulah yang dijadikan kerangka oleh Mark Rowlands dalam membincangkan semua film yang dikupas dalam buku ini. Rowlands, penulis yang sudah berpengalaman mengajar mata kuliah filsafat di berbagai negara selama 15 tahun, ternyata jeli menangkap tema film dan mengaitkan dengan persoalan filsafat dengan menampilkan percikan pemikiran Rene Descartes, Aristoteles, Heraclitus, Nietzsche dan filsuf-filsuf kenamaan lain. Itulah yang kemudian menjadikan buku ini memiliki beberapa kelebihan, karena melalui media film, penulis mengajak pembaca mengarungi lautan "pemikiran filsafat" dengan bertitiktolak dari pertentangan di atas.

Dalam film Frankenstein, episteme pertentangan itu adalah absurditas hidup De Nero yang dilahirkan sebagai "moster". De Nero bisa disebut sebagai moster yang tak punya pilihan saat ia telah dilahirkan dari rangkaian tubuh orang-orang yang disambungkan, tetapi setelah menjalani hidup serta dipaksa menjalani tugas sebagai moster, ia pun merasa tak beda dengan tokoh Sisipus. Seperti yang dikatakan oleh Albert Camus (1913-1960) bahwa hidup ini memang absurd. Apa yang dibayangkan De Nero dari dalam dirinya tentang hidup indah ternyata itu tak bermakna ketika dilihat dari luar. Siapa yang kemudian tak kecewa?

Seperti Neo dalam The Matrix yang merasa hidup yang dijalaninya itu nyata, ternyata kemudian diberitahu Morpheus bahwa dunia yang dihuni bukan sebagai dunia nyata. Ya, ia hanya bisa mengelus dada. "Sial!" Tak salah jika dalam film itu, penulis mengaitkannya dengan satu pertanyaan epistemologis. "Apakah ada sesuatu hal yang benar-benar merasa pasti tentangnya?"

Hal ini, terkait dengan pengetahuan. Menjawab pertanyaan semacam itu, Rene Descartes (1596-1650) berujar, "Aku berpikir, maka aku ada (Cogito Ergo Sum)". Jelas, bagi Descartes, keraguan tentang dirinya tidak mungkin jika ia tak ada untuk meragukan sesuatu. Berbeda dengan David Hume (1711-1776) yang lebih melihat peran penting "status mental" dan Nietzsche (1844-1900) yang lebih berpihak pada pikiran tentang prinsip pengetahuan.

Namun, pikiran itu sendiri masih menyisakan tanda tanya lagi. Dalam Terminator, Arnie (Arnold Schwarzenegger) sungguh membuat siapa pun mungkin tak pernah berpikir tentang kesadaran sesosok robot! "Apa ia punya pikiran?" Jika tidak, kenapa Arnie dalam film itu tahu situasi dan merasa malu untuk menutupi tubuh agar tak telanjang? Perdebatan pikiran-tubuh, rupanya telah melahirkan aliran dualisme dan materialisme yang ujungnya tetap tidak mampu menguak apa itu kesadaran! Setidaknya, dari dua aliran itu, masih menyisakan beberapa kelemahan dalam berpikir yang timpang...

Belum cukup tema itu menguras otak siapa pun untuk berpikir jenial, hal lain yang dikemukakan Arnold-Verhoeven dalam Total Recall ternyata tak kalah rumit. Film ini mengekplorasi jati diri Quaid yang kehilangan memori. Jelas, dengan hilangnya memori, Quaid tak hanya menjadi orang lain, tapi ia kehilangan jati dirinya. Sebab bagi mereka yang berpegang pada teori memori, jadi diri diakui sebagai perbedaan krusial manusia di hari ini dan hari esok serta yang membedakannya dengan makhluk lain.

Wah... bisa-bisa buku ini jadi berjilid-jilid jika saja Rowlands mau mengungkap film yang pernah ditonton dan mengaitkannya dengan tema filsafat. Sebab Monority Report, film yang dibintangi oleh Tom Cruise dan seolah tidak mengandung unsur filosofis ternyata di otak Rowlands dapat ditangkap masalah kehendak bebas. Juga Hollow Man memuat pentingnya manusia bermoral seperti pernah dibincangkan Plato (427-347 SM), Immanuel Kant (1724-1804) Thomas Hobbes (1588-1679) dan David Hume (1711-1776). Juga, film Indapendence day & Aliens dan Star Wars yang berbicara cakupan moral, kebaikan dan kejahatan. Kecuali film Blade Runner, menyodokkan tema kematian dan makna hidup.

Buku ini, jelas tak saja sebuah buku bagus. Lebih dari itu, termasuk buku pertama dalam genre sci-phi. Sebuah buku yang berbicara tentang isu dan perdebatan di bidang filsafat yang memanfaatkan media film science-fiction. Berbeda dengan Jostein Gaarder, yang menulis "sejarah filsafat" lewat media novel dengan menghasilkan Dunia Sophi dan bisa memikat pembaca sehingga tak bosan untuk belajar filsafat, Rowlands mengail di dunia film untuk kemudian berbincang tema filsafat yang juga tak kalah menarik. Dengan itu, siapapun pasti tak akan jemu dan menyerngitkan dahi saat nonton film, sementara dari alur cerita itu sembari belajar materi dan konsep sentral filsafat.

Sayang, Rowlands terlalu bertele-tele dalam memberikan penjelasan. Bahkan, analogi yang kerap dicomot dalam rangka untuk memperkuat pelbagai argumentasi yang disemburkan juga cukup berlimpah sehingga pembaca dibuat seperti berputar-putar dulu, tak langsung point pembahasan. Mungkin Rowlands kurang padat kata, malah disertakan pula sedikit humor.

Tapi, apa boleh buat! Itulah filsafat. Segalanya kadang dibutuhkan jawaban dengan argumentasi bertele, muter-muter, didukung alasan yang kuat dan terperinci. Apalagi, Rowlands bisa mengolah semua itu dengan bahan lain yang kaya tentang fisika, biologi dan bidang lain lagi. Wow..., sebuah buku filsafat yang sungguh memikat! Karena, filsafat --yang selama ini-- dianggap angker diperkenalkan Rowlands lewat media film.***

*) n. mursidi, alumnus Filsafat UIN, Yogyakarta

Tidak ada komentar: