....

Rabu, 28 Mei 2008

pertanyaan dua penulis tentang menulis

Sabtu 17 Mei 2008 lalu, aku menghadiri acara pertemuan persekutuan kutu buku gila di Mata Hari Domus Bataviasche Nouvelles Cafe. Ada beberapa alasan yang membuatku datang meski hari itu aku sebenarnya sedang ditikam deadline dua tulisan yang harus aku selesaikan.

Tetapi aku terpaksa menangguhkan sementara waktu, hitung-hitung jalan-jalan dan melepaskan penat. Apalagi tidak jarang dalam acara pertemuan dengan para penulis semacam itu, aku kerap mendapatkan suntikan baru dan ide segar untuk menulis sebuah tulisan. Maka, aku pun meluangkan waktu untuk hadir.

Sayang, di acara itu aku datang terlambat. Meski demikian, aku tidak dapat dikatakan sial karena masih sempat mengikuti -sebelum acara ditutup. Bahkan dalam kesempatan itu aku sempat pula mengajukan pertanyaan. Tapi aku tak tahu dan tak lagi mendengar dengan jelas, apa yang dijelaskan narasumber di panggung untuk menjawab pertanyaanku karena setelah aku kembali ke tempatku semula, aku dikagetkan dengan kehadiran An Ismanto yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapanku. Kami berdua kemudian bercengkrama hingga acara usai.

Seperti acara pertemuan penulis pada umumnya, seusai acara, aku pun "melepas kangen". Aku ketemu dengan Muhidin M Dahlan, Zen Rahmat Sugito, dan sejumlah penulis muda dari Yogyakarta yang terlibat dalam penulisan kronik. Selain itu, aku juga bertemu dengan H. Tanzil, Endah Sulwesi dan Fajar S. Pramono yang hanya sekali itu bertatap muka. Tetapi, aku tidak menyangka kalau pertemuanku dengan Tanzil dan Fajar S. Pramono dalam acara itu meninggalkan pekerjaan rumah (PR) bagiku.

Usai makan siang, ceritanya, aku berbincang-bincang dengan Gus Muh (Muhidin), Endah Sulwesi dan H Tanzil. Tetapi, di tengah perbincangan itu, tiba-tiba aku dikejutkan pertanyaan H. Tanzil, "Tulisanmu hampir dimuat di media setiap minggu. Bagaimana cara kamu menulis? Apa kamu mengirim tulisan tiap minggu?"

Aku hanya tersenyum seraya berkata, "Soal itu tanyakan pada Muhidin. Ia lebih patut untuk menjawabnya!"

Memenej Tulisan di Media
Tak hanya sekali itu, aku mendapat pertanyaan dari penulis yang menanyakan soal manejemen dan proses kreatifku dalam menulis di media massa. Di balik pertanyaan mereka itu, aku menemukan rasa heran saat mereka menjumpai tulisanku kerap muncul hampir tiap minggu di media massa. Tetapi aku sering kali hanya menjawab dengan jawaban klise, "Menulislah yang tekun dan rajin, maka suatu saat nanti akan dimuat."

Tetapi, dalam kesempatan ini --setelah aku pulang dari pertemuan kutu buku gila itu-- aku seperti mendapatkan pekerjaan rumah yang harus aku jawab. Pertama, aku harus menjawab pertanyaan dari H. Tanzil yang mungkin masih menjadi semacam gerundelan. Apalagi sekarang aku sudah dihadang dengan pekerjaan besar lain, yang mau tidak mau, harus aku kerjakan dalam waktu dekat, dan karena itu aku harus meninggalkan aktivitasku menulis di media massa (setidaknya untuk sementara waktu). Kedua, aku harus menjawab PR dari Fajar S Pramono sewaktu aku mengalami kecelakaan pemuatan ganda dari satu tulisanku di dua media. Karena aku pikir, rahasia di balik menejement yang aku terapkan bertahun-tahun menulis di media ini bisa jadi satu pelajaran berharga bagi penulis lain, maka aku tak keberatan berbagi pengalaman dalam "hal memenej" tulisan di media massa.

Terus terang, dalam menulis di media massa aku sering menerapkan teknik yang bisa disebut teknik menabung. Aku biasanya menulis tulisan yang banyak, berupa resensi buku, cerpen, opini dan esai. Bahkan aku menargetkan harus memiliki 10 tulisan lebih. Maka, jika kemudian ada yang dimuat satu atau dua, maka hal itu adalah satu kewajaran dan karena berkurang satu atau dua, maka jumlah tabunganku di media pun berkurang, dan praktis aku menulis lagi untuk "menggantikan tulisan" yang sudah dimuat itu. Bahkan, tatkala tulisanku separuh dimuat, dan kira-kira tinggal tersisa sekitar 5-7 tulisan, aku biasanya menganggap; sudah tidak lagi memiliki tulisan. Aku akan menulis kembali sampai memenuhi target 10-15 tulisan.

Dengan teknik menabung itu, tak mengherankan kalau dari 10-15 tulisanku itu, kemudian ada kemungkinan yang dimuat setiap minggunya. Setidaknya, ada satu atau dua. Jadi, sebenarnya aku ini bukanlah penulis tangguh yang kerap kali menjebol media massa lantaran aku hanya menerapkan teori kemungkinan --yang aku sarikan dari teori probabilitas pelemparan dadu--, sehingga dari banyaknya tulisan yang aku kirim (tabung) di media massa itu, wajar jika kemudian ada tulisan yang memiliki "kemungkinan" untuk dimuat. Dalam hal ini, tidaklah salah jika sebagian besar penulis menganggap menulis di media massa itu tak ubahnya seperti berjudi.

Tentu (di samping itu) aku tak melupakan kualitas. Dengan kata lain, setelah aku memenuhi tuntutan kuantitas tulisan untuk dikirim ke media massa aku kemudian berusaha membuat tulisan itu bagus dan bisa memenuhi kriteria sebuah koran atau majalah. Dalam memenuhi tuntutan kualitas ini, aku memperhatikan judul tulisan yang harus memikat, paragraf awal tulisan yang menjerat redaktur, isi tulisan yang bagus dengan ditunjang argument atau kausalitas kalimat yang kuat. Makanya, jika sebuah tulisan sudah memenuhi "standart kualitas" yang diterapkan redaktur, praktis akan mendapat tempat dan tinggal menunggu waktu untuk dimuat.

Selain kualitas dan kuantitas, tentunya seorang penulis harus "memperhatikan" hal penting lain. Pertama, mengenal visi/misi sebuah media. Kedua, memilih tema yang tepat dengan mendasarkan akan nilai aktual. Adapun, soal resensi buku hal yang patut diperhatikan tak lain adalah "pilihan buku". Ketiga, mengenal karakter atau spesialisai keilmuan redaktur. Jadi, kalau redaktur resensi sebuah media yang bersangkutan itu memiliki kecenderungan di bidang sastra, maka buku-buku sastra biasanya akan cepat mendapat sambutan atau perhatian.

Beberapa hal itulah yang selalu aku perhatikan dan aku praktekkan dalam mengelola tulisan yang aku hasilkan; lebih tepatnya tulisan itu cocok dikirim ke media mana? Maka wajar jika setiap minggu ada tulisanku yang dimuat, mengingat aku memiliki banyak tulisan dan juga karena ditunjang jerat kualitas tulisan dan kejelian mengenal media dan karakter redaktur. Dulu, sewaktu aku masih kuliah dan kenceng menulis, pernah satu hari (di hari minggu) empat tulisanku yang berbeda dimuat di empat media.

Kecelakaan Sebuah Tulisan
Tetapi untuk mengelola atau memenej tulisan yang telah dikirim ke media, tentu dibutuhkan kecermatan dan ketelian. Dengan kata lain, tulisan yang dikirim itu harus di-data dengan baik dan jangan sampai terjadi sebuah ketedoran (semisal satu tulisan) dikirim ke dua media massa. Sayang, ketelitian dan kecermatan yang Anda jaga itu, kerapkali bisa dilukai keberadaan media yang "tidak teratur atau disiplin" dalam mengembalikan naskah tulisan yang tidak dimuat. Bahkan KOMPAS yang dulu teratur mengembalikan tulisan yang tidak dimuat, kini tak lagi mengembalikan.

Maka, penulis kerap kali dihadang ketidakpastian akan nasib tulisannya. Mungkin hanya ada beberapa media yang konsisten, mencantumkan semacam maklumat; "PENULIS BERHAK MENGIRIMKAN TULISAN KE MEDIA LAIN JIKA DUA MINGGU TIDAK DIMUAT" (di Koran Jakarta). Sementara Tabloit Nova memberikan tenggat waktu sampai 1 bulan. Media lain ada yang memberi tenggat waktu tiga minggu. Pendek kata, ternyata tidak semua media konsisten menerapkan aturan seperti itu.

Kalau semua media massa menerapkan maklumat itu, penulis pasti tidak akan dihadang sejuta ketidakpastian ketika sebuah tulisan tidak dimuat. Tetapi, sayangnya tidak semua media menerapkan maklumat itu. Akibatnya, penulis hanya menghitung-hitung siklus pemuatan dan kabar tak dimuat-nya naskah dengan perkiraan semata. Ironisnya, tidak semua redaktur juga "mau menjawab" status sebuah tulisan, meski sudah ditanyakan melalui email atau sms. Praktis, ketika ada 1 tulisan yang dimuat di dua media (doble), penulis kerapkali menjadi kambing hitam.

Kecelakaan itulah yang aku alami satu setengah tahun lalu ketika tulisan resensiku dimuat bersamaan di Jawa pos (Sastra Profan dan Kearifan Agamawan, Minggu, 25 Feb 2007), dan di Seputar Indonesia (Centang Perentang Sastra Religius, Minggu 25 Feb 07). Praktis, aku dihujat dan digugat habis-habisan. Padahal, resensiku yang di Seputar Indonesia sudah aku tarik. Aku menariknya lewat sms yang kukirim ke redakturnya, dan karena redakturnya tak memberi balasan dan jawaban sms, maka aku pun menganggap resensiku itu tidak akan dimuat dan praktis sudah aku tarik. Tetapi, ironisnya resensiku pada hari minggunya tetap dimuat -di Seputar Indonesia dan bareng dimuat di Jawa Pos.

Tak kurang sms yang aku terima, semuanya nyaris menuduhku telah berbuat curang dan bahkan menilaiku tak memegang kode etik. Bahkan, di sebuah milis, ada seorang yang menggugatku dan tanpa menanyakan kepadaku terlebih dahulu perihal kronologis yang terjadi dengan gampang membuat asumsi yang seakan-akan menyalahkanku. Tapi yang membuatku lebih terkejut, justru redaktur resensi Sinar Harapan pun sempat menulis email kepadaku untuk menanyakan perihal pemuatan dua tulisan itu meski tidak terjadi di media yang dia gawangi.

Selain itu, aku juga tahu jika tak sedikit penulis pemula yang sebel bahkan kecewa dengan ulahku. Pasalnya, saat aku dulu masih jadi penulis pemula, aku juga geram ketika menjumpai kasus seperti itu. Tetapi, kini aku tidak lagi geram dan kecewa, karena setelah aku lama menekuni dunia tulis-menulis, kelakuan itu justru merugikan diri sendiri, melukai nama sang penulis sendiri, dan menutup pintu rezekinya di kemudian hari. Jadi penulis itu telah membunuh dirinya sendiri. Jujur, sampai sekarang, redaktur resensi Seputar Indonesia dan Jawa Pos masih acuh dan tidak lagi peduli dengan tulisan yang aku kirim ke dua media tersebut. Praktis, rezekiku jadi tertutup. Selain nama sudah tercemar, apa untungnya jika rezekiku harus tertutup di kemudian hari?

Memang, dalam menunggu sebuah tulisan, aku kadang kurang sabar. Tetapi, tak kurang justru kujumpai redaktur yang kurang disiplin dan teledor. Tak jarang aku mengalami nasib tragis, karena sering kali menerima email dari redaktur yang mengabarkan tulisan yang aku kirim akan dimuat pada minggu depan, ironisnya janji itu 20 persen seringkali tidak ditepati. Bahkan setelah aku menulis email, menanyakan perihal janji yang pernah disampaikan, aku justru diumpat-umpat, atau tanpa ada rasa bersalah dan minta maaf, sang redaktur tak jarang hanya membalas email "kami tak jadi memuat karena ini-itu atau alasan lain..."

Maka, kini aku tidak menganggap tulisanku dimuat, kalau memang belum terbukti dimuat (di media) persis di depan mataku. Apalagi, tak sedikit redaktur lupa dengan tulisan yang pernah Anda kirim dan saat Anda bertanya "nasib tulisan Anda" di antara tumpukan tulisan penulis lain, justru sang redaktur menanyakan balik "Kapan Anda mengirim tulisan? Apa judul tulisan Anda?"

Nah, kalau sudah begitu; apa tindakan Anda? Logika yang masuk akal, redaktur adalah orang yang berkuasa dan penulis mana pun butuh tangan redaktur untuk bisa memuat tulisan Anda. Jadi tak ada salahnya, Anda mengalah, menuruti permintaan redaktur dan bersikap legowo!

Jadi, penulis itu memang dituntut untuk bersabar. Dalam hal ini, sabar saat harus menjadi kambing hitam, sabar pula tatkala tulisan yang sudah Anda kirim itu dijanjikan akan dimuat minggu depan, tapi --nyatanya-- hanya sekedar janji manis semata. Juga, sabar ketika redaktur mengatakan belum menerima tulisan Anda (karena itu, Anda harus "mengirim lagi"), padahal Anda sudah mengirim tulisan itu sebulan lalu. Pendek kata, sebagai penulis Anda harus bersabar, tidak menyerah, tidak putus asa. Karena di balik kesabaran Anda itu, kelak Anda akan menemui buah lebih manis dan lebih berharga dari sekadar uang. Apalagi nama baik, kredibilitas dan kejujuran dari penulis kerapkali harus menjadi taruhan!

Selamat menulis! Tak ada kata menyerah jika Anda sudah bertekat untuk menjadi penulis.***

Ciputat, 28 Mei 2008, (Sumber foto: http://sijore.multiply.com/photos/album/60/KuBuGil_Takshow)


7 komentar:

Yosandy Lip San mengatakan...

wah saya bisa belajar banyak dari tulisan Anda

Yos

Ni'amul Ausath mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Ni'amul Ausath mengatakan...

Met malam pak Nur Mur, apa kabar ? lama nggak jumpa. Kok bisa sih jumpa blog-ku. tapi sory ya belum ada isinya, nggak kayak punya ente yang dah sarat isi dan penuh makna..he he..

htanzil mengatakan...

wah, gak nyangka ternyata pertanyaan spontan saya jadi PR buat mas mursidi.

Salut untuk tulisannnya yang sangat bermanfaat bagi saya pribadi.

penulis mengatakan...

sama mas yosandy, kita sama saling belajar. thanks

penulis mengatakan...

selamat pagi mas ni`am. blog-mu harus diisi lho....

penulis mengatakan...

bung tanzil, saya jg gak nyangka jika anda akan bertanya spt itu. namanya jg PR, mk harus di-jwb. semoga bermanfaat bagi anda dan jg yang lain. aku tunggu tulisannya di koran jakarta