Judul buku : Rahasia Sukses Ngutang di Bank; Kiat Jitu Memanfaatkan bank untuk Mengembangkan Usaha
Penulis : Fajar S. Pramono
Penerbit : Act! On, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal buku : 120 halaman
TIGA hari yang lalu, aku dikagetkan dengan ulah adikku. Tak ada angin, tak ada hujan, dia tiba-tiba mengajukan pinjaman sebesar 25 juta ke bank dengan jaminan rumah warisan kami. Aku yang mendapat kabar tersebut dari kakakku hanya mengelus dada. Pasalnya, "alasan" yang dijadikan adikku untuk meminjam uang bank itu, semata-mata karena dia sudah jenuh aktif di LSM dan sekarang mau banting setir membuka usaha. Aku sebenarnya tak keberatan dan bahkan senang jika adikku ingin berbisnis. Tetapi, ada tiga hal yang membuatku marah.
Pertama, bertahun-tahun adikku hanya menjalani hidup dengan rutinitas yang bisa dikatakan jauh dari bisnis. Selama kuliah, ia hanya menengadahkan tangan dan setiap awal bulan selalu tidak pernah tahu "jerih payah" ibuku yang harus membanting tulang, dan karena tak cukup untuk memenuhi tuntutan gaya hidupnya yang sedikit mewah, terpaksa ibuku harus menutupi "uang" kirimannya dengan uang pinjaman --entah dari mana saja.
Padahal semasa aku kuliah dulu, aku sudah berusaha mandiri, tidak lagi menggantungkan hidup dari ibuku apalagi setelah ayah kami meninggal --aku hidup dengan berjualan koran, permen, buku, bekerja di rental pengetikan sebelum kemudian menggantungkan hidup dari menulis di media massa. Jadi adikku sama sekali tak memiliki background usaha meski keluarga kami adalah keluarga pedagang. Maka aku heran, kenapa kini dia baru sadar ingin memulai "bisnis", tidak sejak dulu sewaktu ia masih kuliah agar ibu bisa lebih ringan?
Kedua, karena adikku buta akan jerih payah ibuku dan tuli dengan pinjaman yang ditanggung ibuku, maka setelah kami (aku dan adikku) lulus, terpaksa aku yang melunasi utang-utang tersebut. Sementara adikku, tidak pernah mau tahu. Akibatnya, selama hampir tiga setengah tahun, aku harus mencicil semua utang-utang itu. Anehnya, kenapa kini ketika utang-utang ibuku itu sudah lunas aku cicil dengan memeras keringat (lantaran aku harus menyisihkan separuh uang gajiku setiap bulannya sebagai wartawan yang sebenarnya tak seberapa) kami harus dibebani kembali dengan utang yang akan diajukan oleh adikku itu?
Jelas, ibuku keberatan. Apalagi, selama bertahun-tahun ibuku menanggung utang demi adikku supaya dapat lulus sarjana (Adminitrasi Negara Universitas Brawijaya), tetapi adikku tidak pernah memiliki empati untuk bertanggung jawab. Tak salah, kalau ibuku sempat melarangnya meski kemudian mengalah (menyetujui) setelah adikku memaksa ibu. Aku bisa memahami ibu melarangnya, karena ibuku ragu jika adikku kelak tidak mampu melunasi cicilan (bank).
Ketiga, adikku mengajukan kredit bank itu tanpa pernah meminta ijin kepadaku. Padahal aku memiliki hak atas rumah warisan yang dijadikan untuk agunan itu. Alhasil, aku berang lalu meminta adikku untuk membatalkan pengajuan kredit tersebut. Aku merasa telah dibohongi, karena sebelumnya ia tak pernah jujur jika niatnya untuk membalik nama sertifikat itu hanya semata-mata demi tujuan pribadinya bukan lantaran harus dibuat sertifikat baru setelah ayah meninggal dunia -lima tahun lalu. Dari situ, aku melihat adikku tidak memiliki keberanian untuk jujur, dan bertanggung jawab. Bagaimana nanti jika ia harus menanggung utang 25 juta dan tak bisa melunasi cicilan? Apa jadinya jika rumah warisan kami itu harus dieksekusi bank?
Kalau saja, adikku tidak sanggup melunasi utang bank itu, apakah aku harus mencicil lagi sebagaimana yang terjadi di masa lalu? Jelas, aku tidak mau jatuh kedua kali di lubang yang sama. Maka, ulah adikku itu membuatku harus merenung untuk mencari jalan keluar yang tepat.
Manfaat Meminjam Uang Bank
Hari Sabtu, 17 Mei 2008, aku menghadiri acara "pertemuan persekutuan" kutu buku gila di Mata Hari Domus Bataviasche Nouvelles Cafe. Dalam acara itu, aku bertemu dengan Fajar S. Purnomo dan diberi hadiah sebuah buku --karyanya-- yang berjudul Rahasia Sukses Ngutang di Bank; Kiat Jitu Memanfaatkan bank untuk Mengembangkan Usaha.
Dalam perjalanan pulang, di atas angkot 20 (jurusan Senin-Lebak Bulus) aku membuka sampul plastik buku tersebut. Kubaca dengan penuh khitmad, di tengah suasana bus kota yang panas. Ketika bus berwarna hijau tua itu sampai di Lebak Bulus, aku tidak sadar ternyata sudah melahap setengah buku itu. Setengahnya lagi, kemudian aku tuntaskan di kost.
Terus terang, seusai membaca buku Rahasia Sukses Ngutang di Bank; Kiat Jitu Memanfaatkan bank untuk Mengembangkan Usaha karya dari seorang manager pemasaran BRI yang dulu pernah menimba ilmu di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta ini, aku seperti disadarkan dengan kasus adikku di atas. Buku ini tidak saja telah membuka mataku untuk mengenal lebih jauh tentang rahasia sukses ngutang di bank melainkan juga membuka mataku tentang arti sebuah keberanian untuk jadi kaya, dan jadi pengusaha. Karena dalam buku ini penulis menjelaskan 10 manfaat meminjam uang di bank.
Tapi yang sempat membuatku sedikit aneh --dari 10 alasan itu--, penulis mengatakan bahwa ngutang di bank (alasan kesembilan) itu bisa meningkatkan kebanggaan, dan kepercayaan diri. Juga (alasan kesepuluh) ternyata bank dapat dimanfaatkan menjadi "tim sukses" usaha Anda. Alasan yang dikemukakan penulis memang tidak salah, karena setelah bank memberi kucuran dana, berarti stampel positif baru dilekatkan pada Anda. Sementara dalam rangka memanfaatkan tim sukses bank setidaknya 1) bank bisa dijadikan sebagai konsultan usaha, 2) bank dan jaringan bank bisa dijadikan sebagai mediator Anda dengan pengusaha lain, 3) memanfaatkan bank sebagai perekomendasi, 4) bank memiliki produk yang bisa dijadikan pendukung transaksi yang efektif, 5) sebagai sarana pendidikan, dan 6) menjadikan bank sebagai institusi yang akan mempromosikan produk, jasa dan barang dagangan Anda.
Karena itu, penulis mengajak pembaca untuk memilih bank terbaik, bagaimana mempersiapkan syarat administrasi, "pola kredit" apa yang sebaiknya diambil, memilih kredit sebagai modal kerja atau investasi, bahkan sampai soal pilihan jaminan rumah orang tua sebagai jaminan. Juga, tentang analisa kredit yang dipakai bank, kategori penilaian oleh bank atas penjualan agunan dan apa yang harus dilakukan jika nasabah tidak bisa mencicil utang.
Sayang, buku yang ditulis dengan maksud membuka mata dan menanamkan keberanian orang guna ngutang di bank ini tidak diberi contoh-contoh kasus yang terjadi di lapangan sebagai sampel, dan juga contoh-contoh kasus rumit yang membuka mata pembaca bisa mencari jalan keluar, bahkan cerita dari pengusaha besar yang sukses dari pinjaman bank. Jika, penulis mengelaborasi kisah-kisah yang bisa mengilhami orang berani ngutang di bank, tentunya buku ini akan memiliki warna lain. Kendati demikian, buku ini telah membuka mataku, dan menyadarkan akan manfaat meminjam uang di bank untuk membangun dan mengembangkan sebuah usaha.
Pinjaman Tepat Sasaran
Terus terang, setelah membaca buku karya Fajar S. Pramono ini, aku memiliki batu pijakan untuk mencari jalan keluar atas ulah adikku. Pertama, aku bukan tidak merelakan sertifikat rumah warisan kami itu dijadikan sebagai agunan untuk dijadikan sebagai modal dalam memulai usaha, tapi ada satu hal yang lebih penting dari sekadar itu --aku meminta adikku untuk lebih dahulu merintis usaha kecil-kecilan, dan setelah terbukti adikku bisa menjalankan usaha, maka sertifikat itu bisa diajukan untuk ngutang di bank sebagai modal tambahan atau pengembangan usaha.
Tak ada alasan lain, kecuali pinjaman bank itu agar tepat sasaran setelah "teruji" adikku bisa menjalankan usaha. Karena, jika dia tak bisa menjalankan usaha, modal seberapa pun dari bank yang akan diperoleh, sudah pasti akan menguar tidak tentu ujungnya dan rumah warisan yang menjadi harta paling berharga bagi kami itu pun bisa-bisa menjadi kenangan di masa lalu.
Kenapa? Karena, menurut Fajar, masa lalu dan pengalaman usaha memberikan bukti bahwa Anda menguntungkan. Itulah alasan mengapa bank hanya mau membiayai bisnis yang sudah berjalan minimal 2 atau 3 tahun, telah terbukti mampu menghasilkan laba. Artinya, profitabilitas usaha itu telah teruji dan kemampuan diri pengusaha pun layak diapresiasi (hal 24). Dari sudut pandang ini, jelas adikku sudah salah mempersepsikan pinjaman bank.
Kedua, pengajuan kredit ke bank, jelas butuh kejujuran, tanggung jawab, dan kedisiplinan. Karena saya tak melihat tiga karakter tersebut dimiliki oleh adikku, maka saya ingin menguji dia tentang tiga karakter itu terlebih dulu. Tak ada pilihan lain, menjalankan usaha tanpa kejujuran dan tanggung jawab, jelas tidak akan ada untungnya. Memang secara materi bisa meraih laba tinggi, tapi secara batiniah jelas tidak akan membawa keberkahan. Karena menjalankan bisnis, tak sekedar demi meraih keuntungan semata, meliankan lebih dari itu; dibutuhkan kejujuran. (n. mursidi)
Pertama, bertahun-tahun adikku hanya menjalani hidup dengan rutinitas yang bisa dikatakan jauh dari bisnis. Selama kuliah, ia hanya menengadahkan tangan dan setiap awal bulan selalu tidak pernah tahu "jerih payah" ibuku yang harus membanting tulang, dan karena tak cukup untuk memenuhi tuntutan gaya hidupnya yang sedikit mewah, terpaksa ibuku harus menutupi "uang" kirimannya dengan uang pinjaman --entah dari mana saja.
Padahal semasa aku kuliah dulu, aku sudah berusaha mandiri, tidak lagi menggantungkan hidup dari ibuku apalagi setelah ayah kami meninggal --aku hidup dengan berjualan koran, permen, buku, bekerja di rental pengetikan sebelum kemudian menggantungkan hidup dari menulis di media massa. Jadi adikku sama sekali tak memiliki background usaha meski keluarga kami adalah keluarga pedagang. Maka aku heran, kenapa kini dia baru sadar ingin memulai "bisnis", tidak sejak dulu sewaktu ia masih kuliah agar ibu bisa lebih ringan?
Kedua, karena adikku buta akan jerih payah ibuku dan tuli dengan pinjaman yang ditanggung ibuku, maka setelah kami (aku dan adikku) lulus, terpaksa aku yang melunasi utang-utang tersebut. Sementara adikku, tidak pernah mau tahu. Akibatnya, selama hampir tiga setengah tahun, aku harus mencicil semua utang-utang itu. Anehnya, kenapa kini ketika utang-utang ibuku itu sudah lunas aku cicil dengan memeras keringat (lantaran aku harus menyisihkan separuh uang gajiku setiap bulannya sebagai wartawan yang sebenarnya tak seberapa) kami harus dibebani kembali dengan utang yang akan diajukan oleh adikku itu?
Jelas, ibuku keberatan. Apalagi, selama bertahun-tahun ibuku menanggung utang demi adikku supaya dapat lulus sarjana (Adminitrasi Negara Universitas Brawijaya), tetapi adikku tidak pernah memiliki empati untuk bertanggung jawab. Tak salah, kalau ibuku sempat melarangnya meski kemudian mengalah (menyetujui) setelah adikku memaksa ibu. Aku bisa memahami ibu melarangnya, karena ibuku ragu jika adikku kelak tidak mampu melunasi cicilan (bank).
Ketiga, adikku mengajukan kredit bank itu tanpa pernah meminta ijin kepadaku. Padahal aku memiliki hak atas rumah warisan yang dijadikan untuk agunan itu. Alhasil, aku berang lalu meminta adikku untuk membatalkan pengajuan kredit tersebut. Aku merasa telah dibohongi, karena sebelumnya ia tak pernah jujur jika niatnya untuk membalik nama sertifikat itu hanya semata-mata demi tujuan pribadinya bukan lantaran harus dibuat sertifikat baru setelah ayah meninggal dunia -lima tahun lalu. Dari situ, aku melihat adikku tidak memiliki keberanian untuk jujur, dan bertanggung jawab. Bagaimana nanti jika ia harus menanggung utang 25 juta dan tak bisa melunasi cicilan? Apa jadinya jika rumah warisan kami itu harus dieksekusi bank?
Kalau saja, adikku tidak sanggup melunasi utang bank itu, apakah aku harus mencicil lagi sebagaimana yang terjadi di masa lalu? Jelas, aku tidak mau jatuh kedua kali di lubang yang sama. Maka, ulah adikku itu membuatku harus merenung untuk mencari jalan keluar yang tepat.
Manfaat Meminjam Uang Bank
Hari Sabtu, 17 Mei 2008, aku menghadiri acara "pertemuan persekutuan" kutu buku gila di Mata Hari Domus Bataviasche Nouvelles Cafe. Dalam acara itu, aku bertemu dengan Fajar S. Purnomo dan diberi hadiah sebuah buku --karyanya-- yang berjudul Rahasia Sukses Ngutang di Bank; Kiat Jitu Memanfaatkan bank untuk Mengembangkan Usaha.
Dalam perjalanan pulang, di atas angkot 20 (jurusan Senin-Lebak Bulus) aku membuka sampul plastik buku tersebut. Kubaca dengan penuh khitmad, di tengah suasana bus kota yang panas. Ketika bus berwarna hijau tua itu sampai di Lebak Bulus, aku tidak sadar ternyata sudah melahap setengah buku itu. Setengahnya lagi, kemudian aku tuntaskan di kost.
Terus terang, seusai membaca buku Rahasia Sukses Ngutang di Bank; Kiat Jitu Memanfaatkan bank untuk Mengembangkan Usaha karya dari seorang manager pemasaran BRI yang dulu pernah menimba ilmu di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta ini, aku seperti disadarkan dengan kasus adikku di atas. Buku ini tidak saja telah membuka mataku untuk mengenal lebih jauh tentang rahasia sukses ngutang di bank melainkan juga membuka mataku tentang arti sebuah keberanian untuk jadi kaya, dan jadi pengusaha. Karena dalam buku ini penulis menjelaskan 10 manfaat meminjam uang di bank.
Tapi yang sempat membuatku sedikit aneh --dari 10 alasan itu--, penulis mengatakan bahwa ngutang di bank (alasan kesembilan) itu bisa meningkatkan kebanggaan, dan kepercayaan diri. Juga (alasan kesepuluh) ternyata bank dapat dimanfaatkan menjadi "tim sukses" usaha Anda. Alasan yang dikemukakan penulis memang tidak salah, karena setelah bank memberi kucuran dana, berarti stampel positif baru dilekatkan pada Anda. Sementara dalam rangka memanfaatkan tim sukses bank setidaknya 1) bank bisa dijadikan sebagai konsultan usaha, 2) bank dan jaringan bank bisa dijadikan sebagai mediator Anda dengan pengusaha lain, 3) memanfaatkan bank sebagai perekomendasi, 4) bank memiliki produk yang bisa dijadikan pendukung transaksi yang efektif, 5) sebagai sarana pendidikan, dan 6) menjadikan bank sebagai institusi yang akan mempromosikan produk, jasa dan barang dagangan Anda.
Karena itu, penulis mengajak pembaca untuk memilih bank terbaik, bagaimana mempersiapkan syarat administrasi, "pola kredit" apa yang sebaiknya diambil, memilih kredit sebagai modal kerja atau investasi, bahkan sampai soal pilihan jaminan rumah orang tua sebagai jaminan. Juga, tentang analisa kredit yang dipakai bank, kategori penilaian oleh bank atas penjualan agunan dan apa yang harus dilakukan jika nasabah tidak bisa mencicil utang.
Sayang, buku yang ditulis dengan maksud membuka mata dan menanamkan keberanian orang guna ngutang di bank ini tidak diberi contoh-contoh kasus yang terjadi di lapangan sebagai sampel, dan juga contoh-contoh kasus rumit yang membuka mata pembaca bisa mencari jalan keluar, bahkan cerita dari pengusaha besar yang sukses dari pinjaman bank. Jika, penulis mengelaborasi kisah-kisah yang bisa mengilhami orang berani ngutang di bank, tentunya buku ini akan memiliki warna lain. Kendati demikian, buku ini telah membuka mataku, dan menyadarkan akan manfaat meminjam uang di bank untuk membangun dan mengembangkan sebuah usaha.
Pinjaman Tepat Sasaran
Terus terang, setelah membaca buku karya Fajar S. Pramono ini, aku memiliki batu pijakan untuk mencari jalan keluar atas ulah adikku. Pertama, aku bukan tidak merelakan sertifikat rumah warisan kami itu dijadikan sebagai agunan untuk dijadikan sebagai modal dalam memulai usaha, tapi ada satu hal yang lebih penting dari sekadar itu --aku meminta adikku untuk lebih dahulu merintis usaha kecil-kecilan, dan setelah terbukti adikku bisa menjalankan usaha, maka sertifikat itu bisa diajukan untuk ngutang di bank sebagai modal tambahan atau pengembangan usaha.
Tak ada alasan lain, kecuali pinjaman bank itu agar tepat sasaran setelah "teruji" adikku bisa menjalankan usaha. Karena, jika dia tak bisa menjalankan usaha, modal seberapa pun dari bank yang akan diperoleh, sudah pasti akan menguar tidak tentu ujungnya dan rumah warisan yang menjadi harta paling berharga bagi kami itu pun bisa-bisa menjadi kenangan di masa lalu.
Kenapa? Karena, menurut Fajar, masa lalu dan pengalaman usaha memberikan bukti bahwa Anda menguntungkan. Itulah alasan mengapa bank hanya mau membiayai bisnis yang sudah berjalan minimal 2 atau 3 tahun, telah terbukti mampu menghasilkan laba. Artinya, profitabilitas usaha itu telah teruji dan kemampuan diri pengusaha pun layak diapresiasi (hal 24). Dari sudut pandang ini, jelas adikku sudah salah mempersepsikan pinjaman bank.
Kedua, pengajuan kredit ke bank, jelas butuh kejujuran, tanggung jawab, dan kedisiplinan. Karena saya tak melihat tiga karakter tersebut dimiliki oleh adikku, maka saya ingin menguji dia tentang tiga karakter itu terlebih dulu. Tak ada pilihan lain, menjalankan usaha tanpa kejujuran dan tanggung jawab, jelas tidak akan ada untungnya. Memang secara materi bisa meraih laba tinggi, tapi secara batiniah jelas tidak akan membawa keberkahan. Karena menjalankan bisnis, tak sekedar demi meraih keuntungan semata, meliankan lebih dari itu; dibutuhkan kejujuran. (n. mursidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar