resensi ini dimuat di Surabaya Post, Minggu 27 Juli 08
Judul buku : Istana Kedua
Pengarang : Asma Nadia
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal buku : 248 halaman
DI antara deretan perempuan penulis Indonesia, Asma Nadia memang pantas dicatat sebagai salah satu pengarang yang cukup produktif. Tak kurang dari 33 karya telah lahir dari buah pikiran kreatif pengarang satu ini. Dengan mengangkat beragam tema dan persoalan hidup kaum wanita, mulai dari cinta remaja, kekerasan terhadap perempuan, luka hati seorang istri (akibat pologami) sampai penderitaan umat Islam di Palestina, Asma Nadia mampu meneguhkan jadi penutur kehidupan.
Tapi Asma Nadia memilih jalur lembut. Ia tidak mengumbar tubuh dan seksualitas, melainkan lebih memilih jalan menyuarakan luka perempuan dengan balutan sastra Islami. Meski tak dimungkiri tidak sedikit percikan pemikiran yang diselipkan mengandung gugatan, tapi sebongkah pemberontakan itu semata-mata diusung sebagai bentuk solidaritas terhadap kaum perempuan. Apalagi dia tergolong pengarang yang memiliki kepiawaian bertutur.
Pantas, jika tiga penghargaan Adikarya Ikapi pernah ia raih. Selain itu, pernah terpilih sebagai peserta terbaik Majelis Sastra Asia Tenggara bahkan dalam Islamic Book Fair 2008 kemarin, novel Asma Nadia Istana Kedua mendapat penghargaan sebagai fiksi islami terbaik. Penghargaan itu memang cukup beralasan. Novel ini, digarap dengan kesabaran dan ketelitian selama 6 tahun. Tidak salah, jika Istana Kedua mampu menyuguhkan kedetailan kisah serta kerumitan alur. Kendati begitu, novel ini bukanlah kitab suci yang nyaris tanpa bopeng.
Novel ini menghadirkan kisah cinta segi tiga (dua perempuan dan satu lelaki) dalam rumah tangga yang terangkai dalam kepingan-kepingan kisah yang berpilin. Bertahun-tahun kehidupan rumah tangga Arini dan Andika Prasetya tak pernah ditimpa masalah dan bisa dikata bahagia. Apalagi dari perkawinan itu, lahir 3 anak (Nadia, Adam dan Putri) yang mampu membuat Pras dan Arini bahagia.
Pras yang berkerja sebagai dosen, dan tipe seorang suami dan ayah yang baik, adalah sosok lelaki yang tidak neko-neko. Lebih-lebih, ia sangat mencintai Arini. Jadi, dalam hati, Pras tidak terbesit niat untuk membangun rumah kedua dalam perkawinan. Tetapi suatu hari, Pras tidak sengaja mengalami kecelakaan --akibat kecerobohan Bulan (bernama asli Mei Rose), seorang wanita keturunan China yang tak lagi punya keinginan untuk hidup -lantaran ia memiliki masa lalu yang kelam.
Bulan yang tumbuh sebagai anak yatim piatu dan diasuh tantenya yang kejam, ternyata harus menderita lantaran ditampar kepedihan --akibat hamil di luar nikah. Ray (rekan kerja Bulan) telah merenggut keperawanannya dan tak mau bertanggung jawab. Lepas dari Ray, Bulan kemudian berkenalan dengan David. Karena David kerap menyiksanya, ia kecewa. Nyaris putus asa, Bulan "menyebar" email mengharap kehadiran seorang lelaki yang mau menjadikannya istri kedua. Email itu menggiurkan Luki Hidayat untuk berbuat busuk. Bulan terperangkap jebakan Luki hidayat --yang berniat menikahinya.
Tetapi, tepat di hari pernikahan itu, Luki Hidayat tak datang. Padahal, lelaki itu telah menguras tabungan Bulan. Praktis, Bulan sakit hati. Dengan kesal, ia pulang membawa mobil dengan kecepatan tinggi --berharap mati daripada hidup dirundung duka tiada akhir. Tetapi, dalam sebuah kecelaan, dia diselamatkan Pras. Lebih dari itu, Pras juga membayar biaya pengobatan, dan proses persalinan Bulan. Rupanya, kebaikan Pras itu, membuat Bulan terpikat. Tidak salah jika Bulan yang semula ingin bunuh diri seperti menemukan seorang malaikat. Maka, dia meminta Pras menikahinya -meski jadi istri kedua. Pras tidak keberatan, apalagi Bulan mau masuk Islam.
Jelas, kehadiran Bulan --yang bernama asli Mei Rose-- di hati Pras (sebagai istri kedua), itu membuat Arini harus berbagi tempat. Ketika suatu hari ia mencium gelagat Pras telah poligami, ia pun bagai disambar petir. Anehnya, meski mencium gelagat itu, Arini tidak memiliki keberanian untuk melabrak Pras. Arini yang berasal dari Solo diam meskipun hatinya pedih. Hingga suatu hari, ia melihat Pras dan Bulan jalan bermesraan.
Tak ada kata kompromi, Arini pulang dan mengemasi pakaian. Ia terbang ke Solo. Hati Arini hancur berkeping-keping. Tapi apa yang terjadi kemudian? Arini sadar bahwa dia bukanlah Cinderela yang dipinang sang pangeran baik hati setelah sang pangeran itu menemukan salah satu sepatunya di depan masjid kampus. Ia tahu, hidupnya tak seperti kisah dalam dongeng, apalagi Bulan yang semula hanya butuh jadi istri kedua yang sah ternyata menuntut Arini lebih dari itu; keikhlasan berbagi.
DITULIS dalam rentang waktu 6 tahun, tak mustahil kalau novel ini cukup mengagumkan. Asma Nadia cukup piawai merangkai cerita biasa jadi rumit, bahkan berbelit dan berliku.
Tetapi harus diakui novel ini tak lepas dari kebopengan. Pertama, Asma Nadia menghadirkan konflik di awal cerita. Maka, ritme cerita menjadi tegang, dan memuncak sedari awal yang kemudian memaksa pengarang mengulur-ulur jalan cerita agar tak cepat tergelincir pada ending cerita. Jadi, alur cerita terlihat dipanjang-panjangkan. Padahal, kalau sejak awal Arini "berani mengorek" hati Pras, novel ini praktis sudah tamat.
Kedua, karakter Pras nyaris dikesampingkan. Padahal, karakter Arini dan Bulan dielaborasi dengan detail, nyaris mendapat tempat penceritaan bergantian. Maka, Pras seakan layak disalahkan. Selain itu, Pras yang tak memiliki cacat, tipe suami dan ayah yang baik pun digambarkan lemah --seakan tidak memiliki pendirian. Padahal, jika pengarang menampilkan "tokoh" Pras sebagai "tokoh ketiga" yang mendapat tempat (dari sudut pencerita Pras), tak mustahil novel ini akan memikat.
Ketiga, alur kisah yang berjalan berliku ternyata dilukai faktor kebetulan Pras mengalami kecelaan lalu menolong Bulan. Unsur kebetulan itu, nyaris tidak beda jauh dengan logika sinetron. Padahal, jika Bulan dan Pras tidak dipertemukan dalam kecelakaan kebetulan, novel ini pasti lebih menukik.
Keempat, novel ini nyaris tak didukung riset (data sejarah) memadai, kecuali hanya riset ringan pengalaman hidup semata. Padahal, saat pengarang mengisahkan latar belakang Mei Rose yang memiliki orangtua hidup di zaman "kerusuhan 1965" dielaborasi lebih jauh, pasti akan menghadirkan kisah yang lebih berwarna.
TAPI kebopengan itu tidaklah cukup berarti karena pengarang yang lahir pada 26 Maret 1972 ini mampu menutupinya dengan kelebihan yang mengagumkan.
Pertama, laku bertutur berpilin-pilin, tidak lempeng, melompat-lompat dengan ending susah ditebak. Memang, pengarang seperti tidak setia memegang teguh kronologis. Tetapi, pengarang mampu mengembangkan keliaran bertutur dengan tetap meninggalkan jejak yang terlewat, kemudian melangkah maju dan mundur lagi. Jalan cerita pun jadi tak membosankan. Apalagi, secara bergantian pengarang berkisah tokoh Arini dan Bulan. Jadi, novel ini tak berpusat pada satu tokoh, melainkan dua tokoh utama. Dari dua tokoh yang tak ada titik temu di awal kisah, kemudian dijalin dalam satu bangunan di akhir cerita yang mampu mengiris hati pembaca.
Kedua, dengan laku bertutur di atas, pengarang tak mengungkap tabir dengan gamblang, tapi dibuka setahap demi setahap sehingga mengundang penasaran. Tak salah, jika pembaca seperti dibawa arus penasaran dan kunci dari penasaran itu dibuka pengarang di ending cerita.
Ketiga, capaian estetik pengarang buku Trilogi Catatan Hati dalam menggelindingkan novel ini dibangun dengan cita rasa bahasa yang kadang puitis, tak sederhana bahkan penuh metafor. Tak salah, jika novel Istana Kedua ini meraih penghargaan sebagai fiksi terbaik islami dalam Islamic Book Fair 2008.***
*) n. mursidi, cerpenis dan blogger terbaik dalam lomba blog buku PESTA BUKU JAKARTA 2008
Tapi Asma Nadia memilih jalur lembut. Ia tidak mengumbar tubuh dan seksualitas, melainkan lebih memilih jalan menyuarakan luka perempuan dengan balutan sastra Islami. Meski tak dimungkiri tidak sedikit percikan pemikiran yang diselipkan mengandung gugatan, tapi sebongkah pemberontakan itu semata-mata diusung sebagai bentuk solidaritas terhadap kaum perempuan. Apalagi dia tergolong pengarang yang memiliki kepiawaian bertutur.
Pantas, jika tiga penghargaan Adikarya Ikapi pernah ia raih. Selain itu, pernah terpilih sebagai peserta terbaik Majelis Sastra Asia Tenggara bahkan dalam Islamic Book Fair 2008 kemarin, novel Asma Nadia Istana Kedua mendapat penghargaan sebagai fiksi islami terbaik. Penghargaan itu memang cukup beralasan. Novel ini, digarap dengan kesabaran dan ketelitian selama 6 tahun. Tidak salah, jika Istana Kedua mampu menyuguhkan kedetailan kisah serta kerumitan alur. Kendati begitu, novel ini bukanlah kitab suci yang nyaris tanpa bopeng.
***
Novel ini menghadirkan kisah cinta segi tiga (dua perempuan dan satu lelaki) dalam rumah tangga yang terangkai dalam kepingan-kepingan kisah yang berpilin. Bertahun-tahun kehidupan rumah tangga Arini dan Andika Prasetya tak pernah ditimpa masalah dan bisa dikata bahagia. Apalagi dari perkawinan itu, lahir 3 anak (Nadia, Adam dan Putri) yang mampu membuat Pras dan Arini bahagia.
Pras yang berkerja sebagai dosen, dan tipe seorang suami dan ayah yang baik, adalah sosok lelaki yang tidak neko-neko. Lebih-lebih, ia sangat mencintai Arini. Jadi, dalam hati, Pras tidak terbesit niat untuk membangun rumah kedua dalam perkawinan. Tetapi suatu hari, Pras tidak sengaja mengalami kecelakaan --akibat kecerobohan Bulan (bernama asli Mei Rose), seorang wanita keturunan China yang tak lagi punya keinginan untuk hidup -lantaran ia memiliki masa lalu yang kelam.
Bulan yang tumbuh sebagai anak yatim piatu dan diasuh tantenya yang kejam, ternyata harus menderita lantaran ditampar kepedihan --akibat hamil di luar nikah. Ray (rekan kerja Bulan) telah merenggut keperawanannya dan tak mau bertanggung jawab. Lepas dari Ray, Bulan kemudian berkenalan dengan David. Karena David kerap menyiksanya, ia kecewa. Nyaris putus asa, Bulan "menyebar" email mengharap kehadiran seorang lelaki yang mau menjadikannya istri kedua. Email itu menggiurkan Luki Hidayat untuk berbuat busuk. Bulan terperangkap jebakan Luki hidayat --yang berniat menikahinya.
Tetapi, tepat di hari pernikahan itu, Luki Hidayat tak datang. Padahal, lelaki itu telah menguras tabungan Bulan. Praktis, Bulan sakit hati. Dengan kesal, ia pulang membawa mobil dengan kecepatan tinggi --berharap mati daripada hidup dirundung duka tiada akhir. Tetapi, dalam sebuah kecelaan, dia diselamatkan Pras. Lebih dari itu, Pras juga membayar biaya pengobatan, dan proses persalinan Bulan. Rupanya, kebaikan Pras itu, membuat Bulan terpikat. Tidak salah jika Bulan yang semula ingin bunuh diri seperti menemukan seorang malaikat. Maka, dia meminta Pras menikahinya -meski jadi istri kedua. Pras tidak keberatan, apalagi Bulan mau masuk Islam.
Jelas, kehadiran Bulan --yang bernama asli Mei Rose-- di hati Pras (sebagai istri kedua), itu membuat Arini harus berbagi tempat. Ketika suatu hari ia mencium gelagat Pras telah poligami, ia pun bagai disambar petir. Anehnya, meski mencium gelagat itu, Arini tidak memiliki keberanian untuk melabrak Pras. Arini yang berasal dari Solo diam meskipun hatinya pedih. Hingga suatu hari, ia melihat Pras dan Bulan jalan bermesraan.
Tak ada kata kompromi, Arini pulang dan mengemasi pakaian. Ia terbang ke Solo. Hati Arini hancur berkeping-keping. Tapi apa yang terjadi kemudian? Arini sadar bahwa dia bukanlah Cinderela yang dipinang sang pangeran baik hati setelah sang pangeran itu menemukan salah satu sepatunya di depan masjid kampus. Ia tahu, hidupnya tak seperti kisah dalam dongeng, apalagi Bulan yang semula hanya butuh jadi istri kedua yang sah ternyata menuntut Arini lebih dari itu; keikhlasan berbagi.
***
DITULIS dalam rentang waktu 6 tahun, tak mustahil kalau novel ini cukup mengagumkan. Asma Nadia cukup piawai merangkai cerita biasa jadi rumit, bahkan berbelit dan berliku.
Tetapi harus diakui novel ini tak lepas dari kebopengan. Pertama, Asma Nadia menghadirkan konflik di awal cerita. Maka, ritme cerita menjadi tegang, dan memuncak sedari awal yang kemudian memaksa pengarang mengulur-ulur jalan cerita agar tak cepat tergelincir pada ending cerita. Jadi, alur cerita terlihat dipanjang-panjangkan. Padahal, kalau sejak awal Arini "berani mengorek" hati Pras, novel ini praktis sudah tamat.
Kedua, karakter Pras nyaris dikesampingkan. Padahal, karakter Arini dan Bulan dielaborasi dengan detail, nyaris mendapat tempat penceritaan bergantian. Maka, Pras seakan layak disalahkan. Selain itu, Pras yang tak memiliki cacat, tipe suami dan ayah yang baik pun digambarkan lemah --seakan tidak memiliki pendirian. Padahal, jika pengarang menampilkan "tokoh" Pras sebagai "tokoh ketiga" yang mendapat tempat (dari sudut pencerita Pras), tak mustahil novel ini akan memikat.
Ketiga, alur kisah yang berjalan berliku ternyata dilukai faktor kebetulan Pras mengalami kecelaan lalu menolong Bulan. Unsur kebetulan itu, nyaris tidak beda jauh dengan logika sinetron. Padahal, jika Bulan dan Pras tidak dipertemukan dalam kecelakaan kebetulan, novel ini pasti lebih menukik.
Keempat, novel ini nyaris tak didukung riset (data sejarah) memadai, kecuali hanya riset ringan pengalaman hidup semata. Padahal, saat pengarang mengisahkan latar belakang Mei Rose yang memiliki orangtua hidup di zaman "kerusuhan 1965" dielaborasi lebih jauh, pasti akan menghadirkan kisah yang lebih berwarna.
***
TAPI kebopengan itu tidaklah cukup berarti karena pengarang yang lahir pada 26 Maret 1972 ini mampu menutupinya dengan kelebihan yang mengagumkan.
Pertama, laku bertutur berpilin-pilin, tidak lempeng, melompat-lompat dengan ending susah ditebak. Memang, pengarang seperti tidak setia memegang teguh kronologis. Tetapi, pengarang mampu mengembangkan keliaran bertutur dengan tetap meninggalkan jejak yang terlewat, kemudian melangkah maju dan mundur lagi. Jalan cerita pun jadi tak membosankan. Apalagi, secara bergantian pengarang berkisah tokoh Arini dan Bulan. Jadi, novel ini tak berpusat pada satu tokoh, melainkan dua tokoh utama. Dari dua tokoh yang tak ada titik temu di awal kisah, kemudian dijalin dalam satu bangunan di akhir cerita yang mampu mengiris hati pembaca.
Kedua, dengan laku bertutur di atas, pengarang tak mengungkap tabir dengan gamblang, tapi dibuka setahap demi setahap sehingga mengundang penasaran. Tak salah, jika pembaca seperti dibawa arus penasaran dan kunci dari penasaran itu dibuka pengarang di ending cerita.
Ketiga, capaian estetik pengarang buku Trilogi Catatan Hati dalam menggelindingkan novel ini dibangun dengan cita rasa bahasa yang kadang puitis, tak sederhana bahkan penuh metafor. Tak salah, jika novel Istana Kedua ini meraih penghargaan sebagai fiksi terbaik islami dalam Islamic Book Fair 2008.***
*) n. mursidi, cerpenis dan blogger terbaik dalam lomba blog buku PESTA BUKU JAKARTA 2008
3 komentar:
Resensinya bagus banget! Pasti menang lagi.. hehe.
Thanks, banyak yang bisa dipelajari dari resensi-resensi Mas Nur.
Salam,
Fajar S Pramono
Mas, aku baru buka blog Sampeyan lagi hari ini. Rupanya semua yg Sampeyan sebut "keajaiban" itu terjadi! Dua artikel muncul bareng di hari Minggu ini. Tak ada kata lain selain LUAR BIASA! Law of Atrraction bekerja untuk Anda. "Keajaiban" berikutnya adalah Juara Lomba Resensi 'Istana Kedua'. Tunggu saja! Juga, segera selesaikan novelnya, biar aku resensi! Hehe...
NB : No. HP Sampeyan ganti? Kok sms-ku no respon? :)
Sekali lagi, selamat.
Fajar S Pramono
keajaiban itu akhirnya benar2 terjadi dan aku hanya bisa bersyukur. belakangan ini hp-ku yang xl, memang sering tidak aku aktifkan (karena beli hp baru, sudah rusak lagi), aku lebih sering pake yang flexi. trims, untuk spirit-nya.....
Posting Komentar