....

Kamis, 06 November 2008

menawarkan "jalan tengah" lewat novel

Resensi ini meraih juara II lomba resensi INDIVA 2008

Judul buku : The Winst
Pengarang : Afifah Afra
Penerbit : Afra Publishing, Surakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal buku : 336 halaman

TAK jarang, sebuah novel berlatar sejarah selalu dikaitkan dengan realitas dan fakta yang terjadi di masa lampau. Tak pelak, kebenaran sejarah pun ujungnya dijadikan sebagai bahan literer yang tidak dapat dilanggar. Padahal, novel yang ditulis berdasarkan data sejarah, tak serta-merta dapat dikatakan sebagai catatan sejarah. Memang, sebuah karya sastra tak semestinya ditulis berdasar fakta. Apalagi, jika sekedar menapak-tilas jejak peristiwa. Maka --jika jalan itu yang ditempuh-- sastra akan menjadi serupa rekaman sejarah.

Tapi ketika sejarah sebagai bahan literer itu kemudian diolah dengan capaian estetis yang gemilang, tak mustahil novel akan menjadi pengembaraan pengarang meniti jalan terjal dan berkelok dalam menafsir ulang sebuah realitas. Apalagi jika dalam laku bertutur itu, pengarang menyelipkan pesan mengusung pertentangan dua ideologi (kapitalisme dan komunisme-sosialis), lantas menawarkan jalan tengah; ekonomi Islam. Tak mustahil, novel itu jadi sebuah karya sastra yang sarat percikan pemikiran; menggugah, dan mematik kesadaran.

Kemampuan mengolah sejarah dengan capaian estetis yang gemilang dan dibarengi dengan laku bertutur menawarkan jalan tengah itu, setidaknya dapat pembaca jumpai dalam novel The Winst karya Afifah Afra ini. Tapi karya penulis yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP) ini, tidak bisa diingkari masih meninggalkan jejak buram.
***

CERITA The Winst, dibuka dengan kepulangan RM. Rangga Puruhita setelah menamatkan sarjana Ekonomi dari Rijksuniversiteit (RU) Leiden, Belanda tahun 1930. Kepulangan Rangga yang sudah lama dinanti-nanti itu jelas membawa angin segar untuk bisa mengangkat martabat kaum pribumi. Apalagi, Rangga lulus gemilang. Maka, ramanya (KGP Haryo Suryanegara) kemudian menaruh harapan besar pada Rangga untuk mempraktekkan ilmu ekonomi itu dengan bekerja di prabrik The Winst.

Sebagai lulusan terbaik dan masih keturunan keraton (cucu Paku Buwono X) tentu Rangga tak mengalami kesulitan masuk pabrik gula The Winst. Apalagi, ramanya punya saham 20 persen di pabrik itu. Tapi, setelah Rangga jadi asisten Tuan Edward Biljmer (administrasi prabrik gula The Winst), mata Rangga benar-benar dibuat terjengah. Rangga melihat buruh diperlakukan tak adil. Juga, tanah rakyat disewa dengan harga miring.

Ketidakadilan itu, membuat Rangga dibebani masalah pelik. Apalagi, sang rama dengan keras kepala memaksanya untuk berjodoh dengan Rr. Sekar Prembayun. Padahal Rangga sudah terpikat dengan gadis totok Belanda (Everdin Kareen Spinoza) yang dikenalnya di atas kapal waktu pulang ke Hindia Belanda. Lebih Tragis, belum sempat Rangga beraksi, Tuan Edward Biljmer diganti oleh Jan Thijsse. Persoalan jadi pelik lantaran Jan tak suka pada Rangga; Jan kapitalis tulen yang hanya tahu laba, dan tak peduli nasib buruh. Selain itu, Kareen -yang telah dinikahi Jan- ternyata masih mencintai Rangga. Jadi, Jan dibakar cemburu.

Ditimpa setumpuk persoalan pelik, Rangga seperti berada di persimpangan jalan. Apalagi ia tak henti-hentinya; disadarkan aksi Kresna (pemuda misterius yang mengaku sebagai kekasih Sekar), Jatmiko, Pratiwi dan Sekar yang gigih melawan imperialisme Belanda. Maka, tatkala rakyat menuntut kenaikan harga sewa tanah sepuluh kali lipat (yang diwakili Pratiwi) Rangga dengan berani membela Pratiwi. Tindakan Rangga itu membuat Jan marah. Jan kemudian memecat Rangga.

Tapi Rangga bukanlah orang bodoh. Maka, 20 persen saham di The Winst milik sang rama itu ditarik. Berbeda jalan dengan Jatmiko, Sekar, dan Pratiwi, Rangga melawan kapitalisme (The Winst) dengan membangun ekonomi tandingan. Rangga lalu mengajak H Suranto (pengusaha Batik) dan pangeran Mangkunegaran membangun prabrik tekstil dan perkebunan kapas (Maskapai Bumi Putra). Rencana itu, membuat Jan limbung karena ulah Rangga itu bisa merobohkan The Winst. Sedang, Jatmiko (pemimpin Partai Rakyat) tak henti menggalang massa; merongrong kapitalisme The Winst.

Tak ingin The Winst ambruk --apalagi kalau ribuan buruh kemudian pindah ke pabrik tekstil Maskapai Bumi Putra- Jan kemudian menyebar fitnah. Pratiwi pun terkapar di rumah sakit. Sementara itu, Jatmiko buang ke Boven Digul, dan Sekar diasingkan ke Belanda. Adapun Rangga -sekali pun dia tak terbukti bersalah- tetap dijatuhi internering ke Endeh.
***

DENGAN mengangkat latar Surakarta (tahun 1930), sewaktu Indonesia masih dalam cengrakaman penjajah, novel ini selain berkisah kaum pribumi yang tertindas, tradisi/adat kraton, romantisme cinta, juga mengajarkan arti penting perjuangan melawan penjajah. Tapi, di balik semua itu, tidak bisa ditepis jika pengarang mengusung pemikiran besar yang disisipkan sepanjang jalan cerita.

Dengan kasat mata, dalam pertentangan paham antar-tokoh, pengarang "mempertentangkan" dua ideologi besar kapitalisme dan komunisme-sosialis. Bentuk kapitalisme hadir dalam wujud The Winst dan tokoh Jan Thijsse jadi wakil kapitalisme. Jan hanya tahu Keuntungan, tak peduli nasib buruh. Ketidakadilan kapitalisme The Winst itu, mengundang perlawanan Jatmiko, Sekar bahkan Pratiwi yang mengusung paham/ideologi komunisme-sosialis.

Rangga yang lulusan Belanda, sebenarnya adalah anak kapitalisme. Tetapi perkenalan Rangga dengan Raden H Ngalim Sudarman (imam masjid) dan H Suranto (saudagar batik yang menerapkan konsep ekonomi Islam) rupanya membuat Rangga mampu tersadarkan. Perkenalan itu kemudian bisa membelokkan Rangga dari kebusukan mental kapitalisme. Lalu, Rangga berencana membangun pabrik tekstil.
***

SEBUAH novel, sekalipun ditulis dengan latar sejarah, tetap karya fiksi yang dikembangkan dari imajinasi. Jadi tak bisa disebut catatan sejarah. Karena itu, ada pranata yang harus ditaati sehingga pengarang tak serta-merta bebas bertutur tanpa tatanan konsep. Hal itu semata-mata untuk menghindari keterpelesetan pengarang, demi menjaga jalan cerita agar tak melanggar akal sehat dan terperosok lubang.

Sayang, novel yang bisa disebut "novel pembangkit idealisme" ini memiliki beberapa lubang dan jejak buram. Pertama, dengan mengambil setting Surakarta 1930, menjadikan pengarang yang tak mengalami hidup masa itu, harus tergeragap. Maka novel ini terkesan jauh dari setting zaman 1930, karena Surakarta digambarkan melampaui zaman (1930). Jadi penggambaran setting pun terasa hambar. Di sisi lain, lewat tokoh Sekar, pengarang berulangkali menegaskan masa itu perabadan (Surakarta) sudah maju.

Kedua, tuntutan suspense memang bisa menjadi bumbu mengejutkan. Dalam novel ini, suspense siapa dibalik pemerkosa Pratiwi benar-benar dikisahkan mendebar, tetapi suspense di balik pemeran Kresna yang tak lain adalah Sekar, jelas berlebihan. Bagaimana bisa, Sekar yang waktu itu dikenai hukuman rumah, tak boleh keluar dan dijaga ketat bisa leluasa keluar rumah? Selain itu, bagaimana mungkin Rangga yang kenal dekat dengan Sekar tidak mengenali Kresna sebagai Sekar setidaknya dari suara dan tingkahnya? Maka, nyaris mustahil!

Ketiga, karena novel ini mendengungkan sebuah paham jalan tengah dari pertentangan paham kapitalisme dan komunisme-sosialis, tak jarang pengarang memilih menyisipkan bentuk ujaran nyaris dalam bentuk dialog yang panjang, dan terkesan mirip khotbah kuliah -sehingga terkesan menggurui.

Kendati demikian, novel ini tetap mengagumkan. Dengan menawarkan "jalan tengah" yang coba didegungkan, novel ini tak sekedar cerita biasa tetapi mampu menggugah dan mematik kesadaran. Tak salah, jika novel ini diberi titel "sebuah novel pembangkit idealisme".***

*) n. mursidi, cerpenis dan blogger buku terbaik versi Pesta Buku Jakarta 2008

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Selamat mas Nur. Kreatifitas anda sebagai seorang penulis sungguh mengagumkan saya.

Salam
TB-Musthafa

FAJAR S PRAMONO mengatakan...

Selamat ya, Om. Anda memang seorang resensor yang luar biasa.

Aku masih menunggu hasil dari resensi "Istana Kedua"-nya Asma Nadia, yang aku yakin akan jadi juara juga. Amien...

penulis mengatakan...

amien.... thanks, mas fajar.