....

Sabtu, 18 Oktober 2008

janji manis Obama menuju Gedung Putih

Resensi ini dimuat di Sinar Harapan, Sabtu 18 Oktober 2008

Judul buku : Mau Ke Mana Obama?
Penulis : David Olive
Penerbit : Zahra, Jakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2008
Tebal buku : 272 halaman

APA yang akan dilakukan Barack Obama, jika dalam pemilihan presiden 4 November mendatang ia bisa mengalahkan John McCain, kandidat dari Partai Republik dan terpilih jadi presiden Amerika ke-44? Tentu, Obama tidak memiliki pilihan lain kecuali --harus-- menepati janji-janji manis yang digelindingkan ketika kampanye. Pasalnya, janji manis berupa angin perubahan yang digemakan Obama itulah yang membuat sebagian warga Amerika menaruh harapan besar berani menggantungkan masa depan Amerika di pundak Obama.

Lelaki kelahiran Hawai 4 Agustus 1961 dari pasangan Barack Husein Obama (seorang penganut Muslim dari Kenya) dengan Ann Dunham (wanita kulit putih dari Kansas) itu memang "calon presiden" dari Partai Demokrat yang fenomenal. Meskipun ia berdarah Afro-Amerika dan masih muda di panggung politik Amerika, tapi hal itu justru tak menjadikan Obama ciut, melainkan membuat ia justru punya senjata ampuh untuk menghembuskan perubahan di negara Amerika dan dunia. Wajar, jika dia kemudian mampu menarik publik Amerika menaruh harapan besar; kalau ia terpilih menjadi presiden kelak akan membawa Amerika lebih baik dibanding masa pemerintahan George W. Bush.

Buku berjudul Mau Ke Mana Obama? ini tidak lain, adalah kumpulan pidato Barack Obama yang mampu membangkitkan harapan sebagian besar penduduk Amerika di pundak Obama itu. Berisi dua puluh pidato yang pernah disampaikan selama tahun 2002-1008, kandidat presiden dari Partai Demokrat ini menjanjikan setumpuk perubahan dan reformasi di bidang pendidikan, jaminan kesehatan, kemandirian energi, ekonomi dan masalah keamanan sampai masalah perang Irak. Kebijakan Obama yang disampaikan dalam dua puluh pidato ini, tak pelak adalah setumpuk janji manis yang diharapkan kelak mengantar Obama ke Gedung Putih.

Tidak salah, jika sebagian besar rakyat Amerika menaruh harapan besar pada Obama. Maklum, sewaktu jadi senator (negara bagian Illinois) ia sudah kritis menentang pemerintahan Bush, peduli terhadap masalah kesejahteraan sosial rakyat miskin serta getol menaruh perhatian soal pendidikan anak. Bahkan 5 bulan sebelum invasi Amerika ke Irak --dalam pidato anti-perang di Chicago Federal Plaza pada 20 Oktober 2002-- Obama berani berbeda pendapat dengan Bush. "Saya tak menentang semua peperangan. Saya hanya menentang peperangan yang konyol," ujar Obama.

Perang Irak --di mata Obama-- dianggap sebagai peperangan yang konyol. Obama menilai Bush melancarkan perang berdasarkan ideologi dan politik tapi mengesampingkan pragmatisme. Penentangan Obama terhadap kebijakan Bush itu, kian menorehkan popularitas Obama, lantaran seiring perjalanan waktu ternyata perang Irak hanya meninggalkan luka bahkan menelan biaya tinggi. Popularitas Obama kian berkibar, setelah dia tampil memukau dalam Konvensi Nasional Partai Demokratr 2004 di Boston untuk mengukuhkan John Kerry sebagai kandidat presiden Partai Demokrat. Obama mampu membangkitkan mimpi dan semangat warga Amerika dengan seruan, "Tidak ada Amerika yang merdeka, dan konservatif --yang ada adalah Amerika. Tidak ada warga kulit hitam Amerika, warga kulit putih Amerika, Latin Amerika, dan Asia Amerika-- yang ada hanya Amerika Serikat."

Gema pidato Obama (27 Juli 2004) itu, ternyata mendapat simpati dan pujian yang luas. Dua tema yang diangkat dalam pidato Obama itu --tentang kehidupan pribadi Obama dan mimpi warga AS--, rupanya menjadi penentu pencalonan Obama sebagai calon presiden empat tahun kemudian. Dengan visi persatuan itu, Obama ingin membawa Amerika ke arah yang dicita-citakan pendiri bangsa AS lantaran ia mencintai Amerika. Maka ia berjanji, jika kelak terpilih menjadi presiden, dia akan membawa AS jadi lebih baik.

Kebijakan politik yang ditawarkan Obama, memang tidak parsial. Obama yang memiliki naluri kuat pada keadilan menjanjikan keamanan publik, perlindungan sosial, jaminan kesehatan, reformasi pendidikan, pemanasan global, pengembangan cangkok sel demi keselamatan umat manusia serta peduli pada veteran militer. Tak berlebihan, waktu pidato pada Konferensi American Legion di Springfield (16 Juli 2005), Obama berujar "Tidak cukup hanya mengibarkan bendera dan menyambut veteran dengan mengucapkan puji-puji. Kita harus serius mengatasi masalah ini, menghargai apa yang telah mereka lakukan." (hal. 58).

Tentu, Obama tak hanya sekadar memiliki pandangan berbeda ketika menentang dan mengkritik pemerintahan Bush. Di balik penentangan Obama tentang serangan Bush ke Irak, ia ternyata memiliki tujuan baru yang ditawarkan; mengakhiri perang di Irak, kemudian menghadapi "teror global" dengan memindahkan sasaran melawan Al Qaeda di Afghanistan dan Pakistan. Di mata Obama, Irak bukan musuh utama, sedangkan musuh utama adalah Al Qaeda. Jadi, menurut Obama, perang Irak menjauhkan Amerika dari perburuan melawan Al Qaeda dan mengalihkan Amerika dari krisis di tanah air dan luar negeri.

Kumpulan pidato Barack Obama yang terhimpun di dalam buku ini tentu merupakan janji manis yang menentramkan sebagian besar warga Amerika. Maklum, perang Irak telah mencoreng wajah Amerika di mata dunia. Pasca invasi AS, keadaan Irak tak lebih baik. Belum lagi 2.867 orang Amerika tewas dan ribuan tentara terluka akibat perang Irak --yang konon menelan biaya setengah triliun dollar, dan diperkirakan ketika perang berakhir dengan penarikan tentara AS; menelan biaya US$ 3 triliun.

Untuk itulah, Obama tampil menawarkan perubahan dan berjanji akan mengakhiri pemerintahan Bush yang salah strategi. Selain menawarkan janji manis itu, Obama "menggandeng" komunitas Yahudi dan mendukung zionisme Israel. Itulah yang membuat Obama yakin kelak akan menjadi presiden karena menjadikan Israel sekutu dan siap menyerang Iran, Afghanistan dan Pakistan. Dengan alasan itulah, penerbit meragukan niat Obama untuk menciptakan perdamaian dunia lantaran Obama tak lebih sebagai setan yang berkedok malaikat. Memang, Obama memiliki pandangan cukup pluralis, tapi Obama seperti menutup mata karena ia melihat bahwa fundamentalisme (agama) hanya ada di tubuh Islam.

Apakah janji manis Obama yang terangkum dalam buku ini mampu mengantarkan Obama memenangi pemilihan presiden 4 November mendatang sehingga ia bisa melenggang ke Gedung Putih?

Tentu, jawabnya tergantung hasil "perhitungan suara" yang diberikan rakyat Amerika dalam pemilihan presiden nanti!

*) N. Mursidi, cerpenis, wartawan dan blogger buku terbaik dalam Pesta Buku Jakarta 2008.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah, udah di muat di Sinar Harapan ya? btw, media apa saja nih yang udah jadi 'langganan' resensinya Mas Mursidi?

Oh ya, Obama sudah terpilih, mau kemana arah politiknya, kita semua masih belum jelas, semoga saja sih bisa berpengaruh positif bagi ekonomi maupun sosial Indonesia.

penulis mengatakan...

ya, sudah dimuat di sinar harapan. saya sih, tidak memiliki media yang bisa dijadikan langganan, lha saya ini cuma penulis biasa. cuma saya rajin kirim aja, he 3x

ya, obama sudah jadi, tapi saya pikir itu lebih baik daripada mcCain.... meski obama tidak bisa dimungkiri memiliki beban berat krisis finansial.... semua kini berharap dunia lebih baik di bawah obama....

thanks, telah mampir.... selamat berkarya