....

Minggu, 28 September 2008

membangun puing-puing humanisme pasca tragedi 9/11

resensi keempat yang terpilih oleh pengelola etalasebuku. Berhak mendapatkan honor 100 rb

Judul buku : The Reluctant Fundamentalist; Lelaki Yang Terbuang
Penulis : Mohsin Hamid
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : 181 Halaman

Sebagian kalangan —terutama kalangan barat— menganggap Islam sebagai agama yang kaku dan keras. Bahkan mereka menuding ideology terorisme adalah anak kandung Islam. Padahal terorisme dan Islam adalah dua hal yang berbeda. Islam selalu mengajarkan umatnya untuk selalu cinta damai dan penuh kasih. Sedangkan terorisme menggunakan agama Nabi Muhammad itu sebagai topeng untuk menciptakan kehancuran.

Karenanya tindakan terorisme apapun alasannya tidak akan pernah menciptakan perdamaian. Yang lahir dari terorisme hanyalah dendam tanpa ujung pangkal. Begitulah, ketika aksi bunuh diri para teroris yang membajak dua pesawat komersial dan secara telak meledakkan sekaligus meruntuhkan menara kembar WTC, New York, 11 September 2001 (yang kemudian dikenal sebagai tragedi 11/9) permusuhan Barat terhadap dunia Islam semakin tajam.

Barangkali alasan pihak teroris melakukan tindakan brutal super sadis itu adalah karena selama ini Amerika Serikat (AS) selalu memihak Israel yang terus membantai warga Palestina. Lebih-lebih , AS sudah sejak lama tak pernah mengubah sikap untuk mendiktekan kemauannya serta mendominasikan kepentingannya kepada negara lain, dan menjadi "polisi dunia". Padahal tindakan tersebut juga menyebabkan tewasnya ribuan warga sipil yang tidak berdosa. Selain itu, tak pernah dipikirkan dampak dari peristiwa pasca tragedi 11/9 berikutnya. Aksi militer AS di Afghanistan, di Irak serta tindakan tentara Israel di Palestina dengan dalih memburu "teroris" juga semakin brutal. Perang perebutan kekuasaan itu juga memakan korban sipil yang tidak sedikit.

Parahnya lagi permusuhan antara barat dan Islam juga merambah dalam kehidupan masyarakat Amerika sendiri yang sejatinya dibangun dari pluralisme. Pasca tragedi 9/11 bendera-bendera amerika menghiasi jendela mobil dan rumah-rumah penduduk. Bendera-bendera besar berkibar dari gedung-gedung. Semuanya seakan mengumumkan; Kami adalah Amerika, kebudayaan terbesar yang pernah dikenal di dunia; engkau telah meremehkan kami; hadapi kemurkaan kami. (hal. 81).

Sementara itu masyarakat muslim yang tinggal di Amerika mulai dilanda ketakutan yang mencekam. Pasalnya berbagai desas-desus tentang pendiskreditan warga muslim mulai beredar. Mulai dari sopir taksi kebangsaan Pakistan yang dikeroyok hingga sekarat, FBI menggerebek masjid-masjid, toko-toko dan bahkan rumah-rumah. Dikabarkan juga pria-pria muslim menghilang, mungkin ke dalam gelapnya pusat-pusat penahanan untuk diinterogasi atau lebih buruk lagi (hal. 95).

Bagi kalangan muslim yang hidup dan menetap di Amerika tentu saja peristiwa diatas amat mencekam dan mengerikan. Nah, dengan cukup brilian Mohsin Hamid lewat buku The Reluctant Fundamentalist; Lelaki yang Terbuang ini mencoba menggambarkan ketegangan tersebut. Melalui tokoh Changez, Hamid berhasil mendudukkan rasa cinta dan rasa benci tentang Amerika pada dua sisi pegangan kursi goyang. Hasilnya, sebuah ironi dan ketegangan yang mengalir lancar hampir di setiap halaman-halamannya.

Changez adalah seorang imigran Pakistan yang berhasil meraih impian Amerika. Dia lulus dari Pricenton dengan prestasi gemilang dan mendapatkan posisi di firma hukum tekenal bernama Underwood Samson dengan penghasilan delapan puluh ribu dollar setahun. Ditambah lagi dia menemukan cinta sejatinya pada Erica, seorang wanita kulit putih Amerika yang menawan.

Karenanya ketika tragedi 11/9 terjadi, changez mengalami guncangan identitas. Di satu sisi ia sangat mencintai Amerika. Sebab dia adalah produk Universitas Amerika , ia juga menerima gaji yang sangat tinggi di Amerika, dan dia juga mencintai gadis Amerika. Jadi tak mungkin dia menginnginkan negara yang membesarkannya itu celaka atau dicelakai negara lain. Di lain pihak, negerinya, Pakistan sedang dilanda perang Imbas dari tragedi 9/11. ketika ia kemudian pulang ke Lahore , Pakistan , tanah kelahirannya, ia menyaksikan saudara-saudaranya memanggul senapan. Hatinya pun kembali berkecamuk; “Saya seperti pengecut, di mata saya sendiri, seorang penghianat. Lelaki macam apa yang meninggalkan kaumnya dalam keadaan perang seperti ini? Dan untuk apa saya meninggalkan mereka? Untuk sebuah pekerjaan bergaji tinggi dan seorang wanita yang saya rindukan padahal ia tak pernah mencintai saya?” (hal. 126).

Memang akhirnya Changez meninggalkan Amerika dan orang yang dicintainya demi tanahnya airnya. Ia menjadi dosen di salah satu Universitas di Pakistan. Ia sempat pula tenggelam dalam ideologi fundamentalisme dan menjadi propagandis di Pakistan . Tetapi pilihan tersebut, sebenarnya buan bagian dari nurani kemanusiaannya. Diapun akhirnya keluar.

Meski cerita dalam buku ini hampir sepenuhnya dibangun dalam bentuk monolog tokoh Changez, tetapi tidak sedikitpun mengurangi detail-detail ceritanya. Alurnya mengalir begitu lancar. Bahkan lewat gejolak batin yang dialami changez hampir di setiap halaman kita hendak disadarkan bahwa dalam kesalahan fatal dari perseteruan barat dan Islam yang berujung pada dendam dan terorisme yang tidak ada habisnya adalah meminjam—kata-kata Winston Churchill, seorang negarawan—karena kita mengubah dunia lebih cepat dari kemampuan kita mengubah diri sendiri. Sehingga kita menerapkan pada masa kini kebiasaan masa lampau. Peristiwa apapun alangkah baiknya kita tidak menoleh kebelakang. Selalu menatap ke masa depan adalah langkah bijak membangun peradaban manusia.

Sebab tidak semua orang Islam memiliki potensi sebagai teroris, sebagaimana juga tidak semua orang Amerika adalah pembunuh bayaran rahasia, masyarakat yang gila perang. Penyebab dari terorisme itu sendiri sebenarnya tak lepas dari soal perebutan kekuasaan. Dan diantara kedua masyarakat, baik barat maupun Islam, masih banyak manusia yang hidup dengan semangat humanisme dan cinta akan persahabatan.

*) Edy Firmansyah, Pustakawan di Sanggar Bermain Kata (SBK), Madura.

2 komentar:

edyfirmansyah mengatakan...

Terimakasih telah memilih Resensi saya, Om Mursidi. SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1429 H. MAAF LAHIR BATIN!

penulis mengatakan...

mohon maaf lahir batin juga. selamat hari raya idul fitri