resensi kedua yang terpilih oleh pengelola etalasebuku. Berhak mendapatkan honor 100 rb.
Judul Buku : Buddha
Penulis : Deepak Chopra
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit : April 2008
Tebal Buku : 400 halaman
Tahun 563 SM adalah momen bersejarah bagi Kerajaan Sakya, karena saat itu Ratu Maya, istri Raja Suddhodana melahirkan putra yang bernama Sidharta, yang digadang-gadang akan menjadi pewaris takhta Kerajaan Sakya. Entah karena kutukan atau takdir Sang Pencipta, ternyata seminggu setelah melahirkan Sidharta, Ratu Maya menemui ajalnya.
Mengikuti tradisi yang ada dalam kerajaan, Raja Suddhodana mengundang jyotishi atau para astrolog istana yang tugasnya memberikan ramalan untuk menerawang masa depan Sidharta. Dalam nujumnya, jyotishi tersebut memberikan keterangan bahwa Sidharta nanti akan menjadi raja yang hebat, namun bukan menjadi penguasa Sakya sebagai penerus raja, melainkan akan menjadi penguasa besar, yang menguasai keempat penjuru bumi. Di samping itu, ramalan jyothisi yang mengatakan bahwa Sidharta akan mati di depan Suddhodana membuat raja kaget bukan kepalang.
Hanya ada satu cara untuk mengubah takdir yang sudah ditetapkan kepada Sidharta, yaitu raja harus mengisolasi Sidharta dari masyarakat dan mengurungnya dalam istana. Walaupun begitu, dalam perjalanannya Sidharta sering merasa gelisah dengan nuraninya. Apalagi setelah ia tahu bahwa kehidupan masyarakat di luar istana banyak yang menderita dan bertolak belakang dengan kehidupan yang dijalaninya selama ini, yang membuatnya ingin menuruti kata hatinya untuk menjalani kehidupan baru yang jauh dari istana.
Akhirnya setelah melalui pergolakan batin yang panjang dan menuruti panggilan nuraninya untuk memberikan bantuan guna mengakhiri penderitaan orang lain, Sidharta yang saat itu sudah menjadi pangeran muda memutuskan untuk mulai menjalani hidup di luar istana. Karena jika dia terus berada di istana bukan tidak mungkin raja akan mewariskan takhta kerajaan kepadanya, dan itu sama saja dia telah mengkhianati dirinya sendiri. Maka sejak saat itulah dia mulai menjalani pengembaraan diri untuk mengobati keresahan batinnya.
Setelah pangeran muda ini berhasil keluar dari istana dan meninggalkan istri dan anaknya, ia berkeinginan menjadi petapa guna mencari darma dan pencerahan batin yang menurutnya itu adalah takdir yang harus dijalaninya. Pencariannya tak mudah. Bayang-bayang kenikmatan hidup masa lalunya sebagai seorang pangeran sempat menghantuinya. Bahkan Mara, sang iblis selalu menggodanya. Berbagai godaan yang menimpanya selama masa pencariannya itu membuatnya hampir menyerah.
Sidharta yang memutuskan menjadi petapa merasa harus mencari guru guna menjaganya agar tetap tegar menghadapi segala cobaan yang menimpanya. Dalam perjalanannya, ada beberapa pertapa yang menjadi gurunya. Namun semua pertapa itu tak ada satu pun yang dipercayainya, karena tidak mampu memberikan jawaban atas apa yang dicarinya tentang permasalahan penderitaan umat manusia.
Dalam proses pengembaraannya itu, Sidharta mengganti namanya menjadi Gautama dengan tujuan agar pengembaraannya lebih mulia dan mudah tercapai. Saat itu, Gautama sempat berpikir apakah cuma dia yang mau meninggalkan hal baik dalam hidupnya guna lebih memilih menjalani hidup dengan menderita di bawah siksaan dan ketidakpastian dunia luar. Hal itu adalah pikiran utama yang masih berkecamuk, dan terus menggelayutinya, yang akan selalu ia tanyakan kepada sang guru yang terus dicarinya. Itu pun jika ia menemukannya.
Fakta yang tak dapat dimungkiri setiap manusia di dunia ini adalah penderitaan. Manusia hidup di dunia tidak kekal, melainkan pasti akan mati, entah hari ini atau suatu saat nanti. Manusia diciptakan tidak untuk hidup kekal di surga atau mengharap berkah dari dewa, namun kedatangannya ke dunia untuk menghentikan segala penderitaan manusia. Hal itulah yang selalu menjadi pedoman dan spirit bagi Gautama dalam menjalani pengembaraan guna meyakinkan diri bahwa jika manusia sanggup melepaskan diri dari belenggu keduniawian, ia dapat menghilangkan penderitaan yang akan selalu menyertai manusia.
Selama hidupnya, Gautama mengembara menjelajahi India hingga Himalaya sebagai guru terkenal untuk menyebarkan ajaran yang dibawanya. Akhirnya Siddharta bergabung dengan lima orang pertapa yang kelak akan menjadi pengikut setianya ketika ia telah menjadi Buddha. Siddharta akhirnya sanggup melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawinya, dan mampu mengalahkan iblis, hingga akhirnya ia menemukan jawaban atas apa yang dicarinya yaitu mencapai tahapan pencerahan sejati dan menjadi seorang Buddha.
Setelah menjadi Buddha, ketika banyak orang yang ditemuinya lebih mementingkan melakukan sebuah ritual dan upacara jika menginginkan sesuatu, Buddha malah menghindari ritual itu guna mencapai pencerahan hakiki. Ia juga mengajarkan bahwa setiap orang sebenarnya mempunyai Nirvana. Namun Nirvana itu bagaikan mata air murni yang terletak jauh di dalam bumi, sehingga untuk mencapainya dibutuhkan konsentrasi, bakti, dan kerja keras agar manusia bisa melepaskan diri dari penderitaan dan menuju jalan hidup bahagia.
Tak heran jika ajaran Buddha tersebut sangat sulit dipahami, walaupun sebenarnya sangat menarik bagi masyarakat yang ingin mengikutinya. Namun semua ajaran yang dibawa Buddha tak terbantahkan adanya. Semua yang disampaikannya sangat logis dan mengacu pada Kebenaran Mulia Pertama yang berisi pesan bahwa “Kehidupan Mengandung Penderitaan”.
Sehingga jika manusia ingin hidup bahagia seperti di Nirvana, maka perlu untuk meninggalkan segala kesenangan dunia. Ia ingin setiap orang melihat ke dalam dan menemukan kemerdekaan melalui perjalanan pribadi yang di mulai di dunia fisik dan berakhir di Nirvana, yaitu tempat di mana tingkat kesadaran yang suci serta abadi berada.
Novel Buddha berkisah tentang perjalanan Pangeran Sidharta yang diidentikkan sebagai tokoh yang damai dan tenang namun memiliki kisah hidup yang penuh dengan cerita cinta, seks, pembunuhan, kehilangan, perjuangan, dan penyerahan diri. Dari dunia material yang penuh hasrat keinginan hingga puncak spritual tertinggi, Buddha memberi inspirasi dan menuntun kita lebih dekat menuju pemahaman hidup dan diri kita sendiri. Membaca novel ini, kita seolah disuguhi sebuah gambaran sosok Buddha yang tabah dan mulia, tetapi sebenarnya ia tetap seorang manusia biasa.
*) Erik Purnama Putra, Mahasiswa Psikologi dan Jurnalis Koran Bestari UMM (Universitas Muhammadiyah Malang)
Mengikuti tradisi yang ada dalam kerajaan, Raja Suddhodana mengundang jyotishi atau para astrolog istana yang tugasnya memberikan ramalan untuk menerawang masa depan Sidharta. Dalam nujumnya, jyotishi tersebut memberikan keterangan bahwa Sidharta nanti akan menjadi raja yang hebat, namun bukan menjadi penguasa Sakya sebagai penerus raja, melainkan akan menjadi penguasa besar, yang menguasai keempat penjuru bumi. Di samping itu, ramalan jyothisi yang mengatakan bahwa Sidharta akan mati di depan Suddhodana membuat raja kaget bukan kepalang.
Hanya ada satu cara untuk mengubah takdir yang sudah ditetapkan kepada Sidharta, yaitu raja harus mengisolasi Sidharta dari masyarakat dan mengurungnya dalam istana. Walaupun begitu, dalam perjalanannya Sidharta sering merasa gelisah dengan nuraninya. Apalagi setelah ia tahu bahwa kehidupan masyarakat di luar istana banyak yang menderita dan bertolak belakang dengan kehidupan yang dijalaninya selama ini, yang membuatnya ingin menuruti kata hatinya untuk menjalani kehidupan baru yang jauh dari istana.
Akhirnya setelah melalui pergolakan batin yang panjang dan menuruti panggilan nuraninya untuk memberikan bantuan guna mengakhiri penderitaan orang lain, Sidharta yang saat itu sudah menjadi pangeran muda memutuskan untuk mulai menjalani hidup di luar istana. Karena jika dia terus berada di istana bukan tidak mungkin raja akan mewariskan takhta kerajaan kepadanya, dan itu sama saja dia telah mengkhianati dirinya sendiri. Maka sejak saat itulah dia mulai menjalani pengembaraan diri untuk mengobati keresahan batinnya.
Setelah pangeran muda ini berhasil keluar dari istana dan meninggalkan istri dan anaknya, ia berkeinginan menjadi petapa guna mencari darma dan pencerahan batin yang menurutnya itu adalah takdir yang harus dijalaninya. Pencariannya tak mudah. Bayang-bayang kenikmatan hidup masa lalunya sebagai seorang pangeran sempat menghantuinya. Bahkan Mara, sang iblis selalu menggodanya. Berbagai godaan yang menimpanya selama masa pencariannya itu membuatnya hampir menyerah.
Sidharta yang memutuskan menjadi petapa merasa harus mencari guru guna menjaganya agar tetap tegar menghadapi segala cobaan yang menimpanya. Dalam perjalanannya, ada beberapa pertapa yang menjadi gurunya. Namun semua pertapa itu tak ada satu pun yang dipercayainya, karena tidak mampu memberikan jawaban atas apa yang dicarinya tentang permasalahan penderitaan umat manusia.
Dalam proses pengembaraannya itu, Sidharta mengganti namanya menjadi Gautama dengan tujuan agar pengembaraannya lebih mulia dan mudah tercapai. Saat itu, Gautama sempat berpikir apakah cuma dia yang mau meninggalkan hal baik dalam hidupnya guna lebih memilih menjalani hidup dengan menderita di bawah siksaan dan ketidakpastian dunia luar. Hal itu adalah pikiran utama yang masih berkecamuk, dan terus menggelayutinya, yang akan selalu ia tanyakan kepada sang guru yang terus dicarinya. Itu pun jika ia menemukannya.
Fakta yang tak dapat dimungkiri setiap manusia di dunia ini adalah penderitaan. Manusia hidup di dunia tidak kekal, melainkan pasti akan mati, entah hari ini atau suatu saat nanti. Manusia diciptakan tidak untuk hidup kekal di surga atau mengharap berkah dari dewa, namun kedatangannya ke dunia untuk menghentikan segala penderitaan manusia. Hal itulah yang selalu menjadi pedoman dan spirit bagi Gautama dalam menjalani pengembaraan guna meyakinkan diri bahwa jika manusia sanggup melepaskan diri dari belenggu keduniawian, ia dapat menghilangkan penderitaan yang akan selalu menyertai manusia.
Selama hidupnya, Gautama mengembara menjelajahi India hingga Himalaya sebagai guru terkenal untuk menyebarkan ajaran yang dibawanya. Akhirnya Siddharta bergabung dengan lima orang pertapa yang kelak akan menjadi pengikut setianya ketika ia telah menjadi Buddha. Siddharta akhirnya sanggup melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawinya, dan mampu mengalahkan iblis, hingga akhirnya ia menemukan jawaban atas apa yang dicarinya yaitu mencapai tahapan pencerahan sejati dan menjadi seorang Buddha.
Setelah menjadi Buddha, ketika banyak orang yang ditemuinya lebih mementingkan melakukan sebuah ritual dan upacara jika menginginkan sesuatu, Buddha malah menghindari ritual itu guna mencapai pencerahan hakiki. Ia juga mengajarkan bahwa setiap orang sebenarnya mempunyai Nirvana. Namun Nirvana itu bagaikan mata air murni yang terletak jauh di dalam bumi, sehingga untuk mencapainya dibutuhkan konsentrasi, bakti, dan kerja keras agar manusia bisa melepaskan diri dari penderitaan dan menuju jalan hidup bahagia.
Tak heran jika ajaran Buddha tersebut sangat sulit dipahami, walaupun sebenarnya sangat menarik bagi masyarakat yang ingin mengikutinya. Namun semua ajaran yang dibawa Buddha tak terbantahkan adanya. Semua yang disampaikannya sangat logis dan mengacu pada Kebenaran Mulia Pertama yang berisi pesan bahwa “Kehidupan Mengandung Penderitaan”.
Sehingga jika manusia ingin hidup bahagia seperti di Nirvana, maka perlu untuk meninggalkan segala kesenangan dunia. Ia ingin setiap orang melihat ke dalam dan menemukan kemerdekaan melalui perjalanan pribadi yang di mulai di dunia fisik dan berakhir di Nirvana, yaitu tempat di mana tingkat kesadaran yang suci serta abadi berada.
Novel Buddha berkisah tentang perjalanan Pangeran Sidharta yang diidentikkan sebagai tokoh yang damai dan tenang namun memiliki kisah hidup yang penuh dengan cerita cinta, seks, pembunuhan, kehilangan, perjuangan, dan penyerahan diri. Dari dunia material yang penuh hasrat keinginan hingga puncak spritual tertinggi, Buddha memberi inspirasi dan menuntun kita lebih dekat menuju pemahaman hidup dan diri kita sendiri. Membaca novel ini, kita seolah disuguhi sebuah gambaran sosok Buddha yang tabah dan mulia, tetapi sebenarnya ia tetap seorang manusia biasa.
*) Erik Purnama Putra, Mahasiswa Psikologi dan Jurnalis Koran Bestari UMM (Universitas Muhammadiyah Malang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar