resensi pertama yang terpilih oleh pengelola etalasebuku. berhak mendapat honor 100 rb
Judul buku : Better; Sebuah Catatan tentang Kinerja Seorang Dokter
Penulis : Atul Gawande
Penerjemah : Zia Anshor
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2008
Tebal : vii + 350 Halaman
PEKERJAAN dokter, adalah praktek dari ilmu kedokteran yang penuh dengan risiko. Bagaimana tidak? Pekerjaan tersebut bisa dikata menyangkut nyawa seseorang (pasien). Risiko kegagalan suatu tindakan medis yang dilakukan oleh seorang dokter, bisa berakibat fatal. Meskipun kegagalan medis itu persentasenya bisa tergantung oleh banyak faktor, baik dari pasien, dokter dan paramedis lain dan keadaan lingkungan, tapi risiko kegagalan itu tetap "menuntut" siapa pun yang terjun ke dunia kedokteran harus selalu menjadi lebih hebat dan mencapai performa puncak.
Tak jarang, kerja dokter yang dituntut menjadi hebat dan punya ferforma puncak itu setiap saat berhadapan dengan kelelahan, ketaksempurnaan keahlian yang dimiliki, dan bahkan keterbatasan sarana, dan sumber daya manusia. Padahal, dokter bukanlah Tuhan. Tetapi, di tangan seorang dokter -berdasarkan setiap keputusan, dan tindakan yang dilakukan- hidup-mati seseorang, menjadi taruhan besar profesionalisme (seorang dokter).
Kenyataan itulah yang mendorong Atul Gawande, seorang dokter bedah umum --di Brigham and Women’s Hospital di Boston-- mengupas dan menganalisis kecakapan (kerja) dokter. Menurut Gawande, kecakapan kerja seorang dokter, bukan hanya diukur dari kecakapakannya menentukan diagnosis yang tepat, menerapkan teknik operasi paling mutakhir atau kemampuan berempati setiap kali menghadapi ketakutan yang dirasakan pasien. Tetapi, ada tiga syarat utama yang mendukung keberhasilan dokter dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat; yaitu kecermatan, selalu berusaha berbuat benar dan keluwesan akal untuk selalu memikirkan hal-hal baru.
Ketiga syarat di atas diuraikan Gawande dalam tiga bagian buku ini, yang setiap bagiannya terdiri dari tiga sampai lima kisah. Gawande menunjukkan betapa pentingnya kecermatan yang sangat dibutuhkan untuk menghindari kesalahan dan mengatasi berbagai rintangan lewat tiga kisah menarik, yaitu tentang kebiasaan mencuci tangan, pemberantasan polio di India dan bahkan tentang perawatan prajurit-prajurit Amerika Serikat yang terluka di Irak dan Afghanistan.
Tetapi bagi saya, kisah mengenai kebiasaan mencuci tangan adalah sebuah kisah yang paling menarik dalam bagian pertama buku ini karena bagi sebagian besar orang, mungkin kebiasaan mencuci tangan merupakan hal sederhana tapi penting yang ironisnya selalu diremehkan. Bahkan, para dokter dan perawat pun meremehkan kebiasaan mencuci tangan --yang sebenarnya merupakan prosedur aseptik wajib yang harus selalu dilakukan, baik sebelum maupun sesudah melakukan pemeriksaan pasien. Oleh karena itu, dalam buku ini dikisahkan bahwa kesulitan utama yang dihadapi unit kendali infeksi di rumah sakit tempat Gawande bekerja adalah bagaimana mendisiplinkan para dokter dan perawat untuk melakukan satu hal sederhana yang ampuh dalam mencegah penyebaran infeksi, yakni mencuci tangan.
Unit kendali infeksi harus selalu cermat "mengawasi" para dokter dan perawat yang sering malas dan lalai mencuci tangan dengan terus menyediakan fasilitas yang paling praktis untuk cuci tangan; mulai wastafel otomatis sampai adanya dispenser gel alkohol serta tersebarnya tanda-tanda himbauan serta rapor kebersihan di setiap bangsal. Semua ini dilakukan demi mencegah meningkatnya infeksi bakteri super-resisten yang terus menghantui rumah sakit-rumah sakit di seluruh dunia dan terjadinya penularan penyakit mematikan seperti SARS yang pada 2003 menyebar cepat dari China ke 24 negara lain di seluruh dunia dengan vektor penyebaran utama, tangan para pekerja kesehatan (hlm. 26)
Syarat kedua yang diuraikan Gawande adalah mengenai kemampuan untuk selalu berbuat benar yang digambarkan dalam lima kisah yang mungkin bagi sebagian orang dianggap tabu dan sulit untuk dibicarakan secara terbuka. Salah satu kisah itu adalah mengenai bagaimana seorang ahli kandungan pria harus melakukan pemeriksaan payudara dan vagina. Juga seorang ahli urologi wanita yang harus memeriksa penis sang pasien. Gawande menyimpulkan, setiap dokter di berbagai tempat memiliki cara tersendiri saat melakukan pemeriksaan pada daerah-daerah yang sensitif tersebut. Ada yang memakai pendamping, baik perawat atau pun kerabat pasien. Ada pula yang tidak memerlukan pendamping sama sekali. Perbedaan itu, tentu disesuaikan dengan budaya masing-masing. Tapi, yang paling penting, baik ada pendamping ataupun tidak, semua pemeriksaan itu harus dilandasi tujuan yang benar tanpa diintervensi oleh berbagai prasangka buruk, baik dari pihak dokter atau pasien. Kedua belah pihak harus bersikap profesional.
Empat kisah lain adalah mengenai tuduhan kasus malapraktik medis yang dilakukan beberapa dokter, tentang seberapa besar bayaran para dokter, soal para dokter ruang eksekusi yang membantu pelaksanaan hukuman suntik mati di beberapa negara bagian di AS, serta bagaimana perjuangan para dokter untuk berjuang keras "menangani" kasus-kasus sulit seperti sindrom Cushing yang menyerang kelenjar adrenal di ginjal ataupun kasus kanker kelenjar getah bening. Kisah-kisah yang terangkum dalam bagian kedua buku ini menggambarkan bahwa tanggung jawab, kerja keras serta profesionalisme harus selalu diterapkan karena hanya dengan ketiga hal itu, keserakahan, kesombongan, kebimbangan dan kesalahpahaman yang bisa merugikan pihak dokter maupun pasien bisa dihindari.
Syarat ketiga --yang harus dimiliki dokter adalah keluwesan akal untuk selalu memikirkan hal-hal baru- ditampilkan dalam kisah bedah caesar dan skor Apgar yang digunakan untuk mengurangi tingkat kematian ibu melahirkan dan bayinya, kisah penanganan fibrosis kistik dengan tujuan untuk meningkatkan usia "harapan hidup" para penderita fibrosis kistik yang mengalami penurunan fungsi paru, kesulitan dalam menyerap gizi serta kisah mengenai para dokter bedah di rumah sakit Nanded, India yang harus menghadapi membludaknya pasien operasi yang tak seimbang dengan fasilitas kamar operasi dan peralatan yang dibutuhkan. Ketiga kisah di atas, menggambarkan perjuangan para dokter dalam mengatasi berbagai permasalahan yang sekiranya tanpa pemikiran baru untuk mengatasinya para ibu dan bayi yang dilahirkan, para penderita fibrosis kistik dan para pasien bedah di rumah sakit Nanded, tidak akan dapat menikmati hidup mereka lagi.
Melakukan inovasi dalam melakukan terapi dan perawatan para pasiennya merupakan kewajiban seorang dokter untuk terus memperbaiki usia harapan bagi hidup pasien. Hal ini ditunjukkan dengan usaha seorang dokter anak dari University of Minnesota bernama Warren Warwick. Sejak 1964 ia giat "melakukan inovasi" dalam perawatan para penderita fibrosis kistik dan menjadikan pusat perawatan fibrosis kistik di Fairview-University Children’s Hospital yang dipimpinnya jadi pusat perawatan fibrosis kistik terbaik di AS berdasarkan peringkat yang dikeluarkan Cystic Fibrosis Foundation.
Pada tahun 1964, Warwick diberi dana oleh Cystic Fibrosis Foundation sebesar sepuluh ribu dolar Amerika guna melakukan pengumpulan data mengenai tingkat kematian penderita fibrosis kistik di berbagai pusat perawatan fibrosis kistik di AS. Hasil yang diperoleh, cukup mengejutkan karena pada salah satu pusat perawatan fibrosis kistik yang dipimpin seorang dokter anak dari Cleveland bernama LeRoy Matthews, perkiraan median umur kematian pasien adalah dua puluh satu tahun, tujuh kali lipat median umur kematian pasien di tempat lain.
Sebuah inovasi baru, ternyata telah dilakukan Matthews. Ia menyuruh pasiennya untuk tidur dalam tenda plastik yang dipenuhi kabut dari semprotan air yang sangat tebal, sehingga nyaris tak tembus pandang dan kabut itu mengencerkan lendir kental yang menyumbat jalan pernapasan si pasien sehingga pasien dapat mengeluarkannya dengan batuk. Selain itu, Matthew meminta anggota keluarga pasien untuk menepuk dada pasien setiap hari utuk membantu melepas dahak.
Seiring berjalannya waktu, Warwick menemukan cara yang lebih efektif bahkan modern dalam menangani pasien fibrosis kistik, dengan adanya rompi pemukul dada agar para penderita fibrosis kistik lebih mudah mengeluarkan dahak dan tak memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, Warwick menerapkan pemberian makanan tambahan melalui tabung lateks yang dimasukkan lewat lambung untuk mengatasi penurunan berat badan pasien. Berbagai langkah yang "ditempuh" Warwick, memang terbukti efektif dalam meningkatkan usia harapan hidup para penderita fibrosis kistik di pusat perawatan tempat Warwick bekerja, bahkan pasien tertua di pusat perawatan tersebut sekarang berumur enam puluh tujuh tahun.
Semua kisah dalam buku ini, bisa dikatakan mengandung pesan moral yang bisa menginspirasi pembaca, khususnya bagi dokter. Kisah-kisah yang diceritakan itu tak dapat disangkal, menyangkut kehidupan para pasien yang jika tak ditangani dengan baik, cermat dan profesional bisa-bisa akan menjadi fatal.
Memang dalam buku ini masih ada beberapa istilah medis yang tak dijelaskan penulis secara gamblang sehingga mengurangi pemahaman bagi kalangan awam yang membacanya. Tapi buku yang ditulis dengan gaya bahasa yang ringan, dan mengalir ini, patut untuk dibaca oleh para dokter, paramedis lain, mahasiswa kedokteran bahkan siapa saja yang membutuhkan wawasan mengenai syarat dan wahana untuk mencapai keberhasilan.
Buku ini juga bisa dijadikan sebagai sarana edukasi bagi masyarakat umum agar mereka tahu bagaimana sesungguhnya kinerja seorang dokter sehingga suatu saat nanti tak akan (sering) timbul kesalahpahaman antara dokter dan pasien serta menciptakan hubungan yang baik di antara keduanya.
*) Laksmi Amalia, Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tak jarang, kerja dokter yang dituntut menjadi hebat dan punya ferforma puncak itu setiap saat berhadapan dengan kelelahan, ketaksempurnaan keahlian yang dimiliki, dan bahkan keterbatasan sarana, dan sumber daya manusia. Padahal, dokter bukanlah Tuhan. Tetapi, di tangan seorang dokter -berdasarkan setiap keputusan, dan tindakan yang dilakukan- hidup-mati seseorang, menjadi taruhan besar profesionalisme (seorang dokter).
Kenyataan itulah yang mendorong Atul Gawande, seorang dokter bedah umum --di Brigham and Women’s Hospital di Boston-- mengupas dan menganalisis kecakapan (kerja) dokter. Menurut Gawande, kecakapan kerja seorang dokter, bukan hanya diukur dari kecakapakannya menentukan diagnosis yang tepat, menerapkan teknik operasi paling mutakhir atau kemampuan berempati setiap kali menghadapi ketakutan yang dirasakan pasien. Tetapi, ada tiga syarat utama yang mendukung keberhasilan dokter dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat; yaitu kecermatan, selalu berusaha berbuat benar dan keluwesan akal untuk selalu memikirkan hal-hal baru.
Ketiga syarat di atas diuraikan Gawande dalam tiga bagian buku ini, yang setiap bagiannya terdiri dari tiga sampai lima kisah. Gawande menunjukkan betapa pentingnya kecermatan yang sangat dibutuhkan untuk menghindari kesalahan dan mengatasi berbagai rintangan lewat tiga kisah menarik, yaitu tentang kebiasaan mencuci tangan, pemberantasan polio di India dan bahkan tentang perawatan prajurit-prajurit Amerika Serikat yang terluka di Irak dan Afghanistan.
Tetapi bagi saya, kisah mengenai kebiasaan mencuci tangan adalah sebuah kisah yang paling menarik dalam bagian pertama buku ini karena bagi sebagian besar orang, mungkin kebiasaan mencuci tangan merupakan hal sederhana tapi penting yang ironisnya selalu diremehkan. Bahkan, para dokter dan perawat pun meremehkan kebiasaan mencuci tangan --yang sebenarnya merupakan prosedur aseptik wajib yang harus selalu dilakukan, baik sebelum maupun sesudah melakukan pemeriksaan pasien. Oleh karena itu, dalam buku ini dikisahkan bahwa kesulitan utama yang dihadapi unit kendali infeksi di rumah sakit tempat Gawande bekerja adalah bagaimana mendisiplinkan para dokter dan perawat untuk melakukan satu hal sederhana yang ampuh dalam mencegah penyebaran infeksi, yakni mencuci tangan.
Unit kendali infeksi harus selalu cermat "mengawasi" para dokter dan perawat yang sering malas dan lalai mencuci tangan dengan terus menyediakan fasilitas yang paling praktis untuk cuci tangan; mulai wastafel otomatis sampai adanya dispenser gel alkohol serta tersebarnya tanda-tanda himbauan serta rapor kebersihan di setiap bangsal. Semua ini dilakukan demi mencegah meningkatnya infeksi bakteri super-resisten yang terus menghantui rumah sakit-rumah sakit di seluruh dunia dan terjadinya penularan penyakit mematikan seperti SARS yang pada 2003 menyebar cepat dari China ke 24 negara lain di seluruh dunia dengan vektor penyebaran utama, tangan para pekerja kesehatan (hlm. 26)
Syarat kedua yang diuraikan Gawande adalah mengenai kemampuan untuk selalu berbuat benar yang digambarkan dalam lima kisah yang mungkin bagi sebagian orang dianggap tabu dan sulit untuk dibicarakan secara terbuka. Salah satu kisah itu adalah mengenai bagaimana seorang ahli kandungan pria harus melakukan pemeriksaan payudara dan vagina. Juga seorang ahli urologi wanita yang harus memeriksa penis sang pasien. Gawande menyimpulkan, setiap dokter di berbagai tempat memiliki cara tersendiri saat melakukan pemeriksaan pada daerah-daerah yang sensitif tersebut. Ada yang memakai pendamping, baik perawat atau pun kerabat pasien. Ada pula yang tidak memerlukan pendamping sama sekali. Perbedaan itu, tentu disesuaikan dengan budaya masing-masing. Tapi, yang paling penting, baik ada pendamping ataupun tidak, semua pemeriksaan itu harus dilandasi tujuan yang benar tanpa diintervensi oleh berbagai prasangka buruk, baik dari pihak dokter atau pasien. Kedua belah pihak harus bersikap profesional.
Empat kisah lain adalah mengenai tuduhan kasus malapraktik medis yang dilakukan beberapa dokter, tentang seberapa besar bayaran para dokter, soal para dokter ruang eksekusi yang membantu pelaksanaan hukuman suntik mati di beberapa negara bagian di AS, serta bagaimana perjuangan para dokter untuk berjuang keras "menangani" kasus-kasus sulit seperti sindrom Cushing yang menyerang kelenjar adrenal di ginjal ataupun kasus kanker kelenjar getah bening. Kisah-kisah yang terangkum dalam bagian kedua buku ini menggambarkan bahwa tanggung jawab, kerja keras serta profesionalisme harus selalu diterapkan karena hanya dengan ketiga hal itu, keserakahan, kesombongan, kebimbangan dan kesalahpahaman yang bisa merugikan pihak dokter maupun pasien bisa dihindari.
Syarat ketiga --yang harus dimiliki dokter adalah keluwesan akal untuk selalu memikirkan hal-hal baru- ditampilkan dalam kisah bedah caesar dan skor Apgar yang digunakan untuk mengurangi tingkat kematian ibu melahirkan dan bayinya, kisah penanganan fibrosis kistik dengan tujuan untuk meningkatkan usia "harapan hidup" para penderita fibrosis kistik yang mengalami penurunan fungsi paru, kesulitan dalam menyerap gizi serta kisah mengenai para dokter bedah di rumah sakit Nanded, India yang harus menghadapi membludaknya pasien operasi yang tak seimbang dengan fasilitas kamar operasi dan peralatan yang dibutuhkan. Ketiga kisah di atas, menggambarkan perjuangan para dokter dalam mengatasi berbagai permasalahan yang sekiranya tanpa pemikiran baru untuk mengatasinya para ibu dan bayi yang dilahirkan, para penderita fibrosis kistik dan para pasien bedah di rumah sakit Nanded, tidak akan dapat menikmati hidup mereka lagi.
Melakukan inovasi dalam melakukan terapi dan perawatan para pasiennya merupakan kewajiban seorang dokter untuk terus memperbaiki usia harapan bagi hidup pasien. Hal ini ditunjukkan dengan usaha seorang dokter anak dari University of Minnesota bernama Warren Warwick. Sejak 1964 ia giat "melakukan inovasi" dalam perawatan para penderita fibrosis kistik dan menjadikan pusat perawatan fibrosis kistik di Fairview-University Children’s Hospital yang dipimpinnya jadi pusat perawatan fibrosis kistik terbaik di AS berdasarkan peringkat yang dikeluarkan Cystic Fibrosis Foundation.
Pada tahun 1964, Warwick diberi dana oleh Cystic Fibrosis Foundation sebesar sepuluh ribu dolar Amerika guna melakukan pengumpulan data mengenai tingkat kematian penderita fibrosis kistik di berbagai pusat perawatan fibrosis kistik di AS. Hasil yang diperoleh, cukup mengejutkan karena pada salah satu pusat perawatan fibrosis kistik yang dipimpin seorang dokter anak dari Cleveland bernama LeRoy Matthews, perkiraan median umur kematian pasien adalah dua puluh satu tahun, tujuh kali lipat median umur kematian pasien di tempat lain.
Sebuah inovasi baru, ternyata telah dilakukan Matthews. Ia menyuruh pasiennya untuk tidur dalam tenda plastik yang dipenuhi kabut dari semprotan air yang sangat tebal, sehingga nyaris tak tembus pandang dan kabut itu mengencerkan lendir kental yang menyumbat jalan pernapasan si pasien sehingga pasien dapat mengeluarkannya dengan batuk. Selain itu, Matthew meminta anggota keluarga pasien untuk menepuk dada pasien setiap hari utuk membantu melepas dahak.
Seiring berjalannya waktu, Warwick menemukan cara yang lebih efektif bahkan modern dalam menangani pasien fibrosis kistik, dengan adanya rompi pemukul dada agar para penderita fibrosis kistik lebih mudah mengeluarkan dahak dan tak memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, Warwick menerapkan pemberian makanan tambahan melalui tabung lateks yang dimasukkan lewat lambung untuk mengatasi penurunan berat badan pasien. Berbagai langkah yang "ditempuh" Warwick, memang terbukti efektif dalam meningkatkan usia harapan hidup para penderita fibrosis kistik di pusat perawatan tempat Warwick bekerja, bahkan pasien tertua di pusat perawatan tersebut sekarang berumur enam puluh tujuh tahun.
Semua kisah dalam buku ini, bisa dikatakan mengandung pesan moral yang bisa menginspirasi pembaca, khususnya bagi dokter. Kisah-kisah yang diceritakan itu tak dapat disangkal, menyangkut kehidupan para pasien yang jika tak ditangani dengan baik, cermat dan profesional bisa-bisa akan menjadi fatal.
Memang dalam buku ini masih ada beberapa istilah medis yang tak dijelaskan penulis secara gamblang sehingga mengurangi pemahaman bagi kalangan awam yang membacanya. Tapi buku yang ditulis dengan gaya bahasa yang ringan, dan mengalir ini, patut untuk dibaca oleh para dokter, paramedis lain, mahasiswa kedokteran bahkan siapa saja yang membutuhkan wawasan mengenai syarat dan wahana untuk mencapai keberhasilan.
Buku ini juga bisa dijadikan sebagai sarana edukasi bagi masyarakat umum agar mereka tahu bagaimana sesungguhnya kinerja seorang dokter sehingga suatu saat nanti tak akan (sering) timbul kesalahpahaman antara dokter dan pasien serta menciptakan hubungan yang baik di antara keduanya.
*) Laksmi Amalia, Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar