Judul buku: The Swordless Samurai; Pemimpin Legendaris Jepang Abad XVI
Penulis : Kitami Masao
Penerbit : Redline Publishing
Cetakan : Pertama, Februari 2009
Tebal buku : 256 halaman
Harga: 49.800 (diskon 20%) = 39.840
Penulis : Kitami Masao
Penerbit : Redline Publishing
Cetakan : Pertama, Februari 2009
Tebal buku : 256 halaman
Harga: 49.800 (diskon 20%) = 39.840
Malam itu, dia membuatku tercekat. Aku mengelus dada dan geleng-geleng kepala, nyaris "hilang akal" saat dia bercerita bahwa seumur hidupnya belum pernah membaca buku hingga tuntas --tidak pernah melahap secuil buku pun--dari halaman awal hingga akhir. Mungkin aku tidak akan kaget, kalau dia itu tukang becak, penjual es krim, pedagang asongan atau sopir angkot!
Tetapi, dia --yang biasa kupanggil "Jacky" itu-- bukan lelaki yang bisa dilekati setumpuk predikat tersebut. Dia seorang sarjana lulusan sebuah universitas di Jogjakarta. Maka, aku nyaris tak percaya mendengar dia tidak pernah membaca buku tuntas! Meski demikian, dia ternyata memiliki minat dengan setumpuk buku yang ada di kamarku. Setelah ia bercerita panjang lebar tentang secuil hidupnya, aku membiarkan ketika kekar tangannya mengambil beberapa buku. Aku melirik ulahnya; dia mengambil Maryamah Karpov, Biola Tak Berdawai, Rahasia Umur Panjang, Balada Si Roy dan Saya ingin Lihat Semua ini Berakhir; esai dan Wawancara dengan Pramodya Ananta toer.
Tapi semua buku itu dibaca beberapa halaman lalu dikembalikan ke rak. Setelah itu, ia tidur.
Esoknya, ia pulang ke rumah kakaknya (di Jatimakmur, Bekasi)!
Tiga hari kemudian ia datang lagi; mengobrak-abrik buku-ku dan mengambil Laskah Pelangi. "Aku bosan di Bekasi, maka aku ke sini. Kali ini, aku ingin membaca habis Laskah Pelangi."
Aku tersenyum. Saat malam tiba, novel Laskar Pelangi ternyata tak memikatnya. Lalu ia mengambil Maryamah Karpov dan Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia. Terus terang, aku dibuat jengkel lalu berseloroh. "Ah, paling-paling buku itu tak kamu baca sampai tuntas, melainkan saat kamu ngantuk, buku itu akan menjadi bantal!"
"Tidak!" jawabnya mantap, "Kali ini, aku akan menuntaskannya!"
Aku tersenyum! Malam pun tiba. Apa yang aku perkirakan ternyata tidak salah. Tak ada satu buku pun yang dia lahap tuntas dan dia kemudian tidur! Sewaktu ia tidur, aku membaca buku kiriman Mas Haekal; The Swordless Samurai (buku ini kemungkinan beredar di pasaran pada Februari 2009). Sejak halaman pertama, buku tentang perjalanan Hideyoshi (anak petani yang meraih puncak kekuasaan menjadi wakil kaisar) itu; sudah memikatku. Aku menyerngitkan kening, kagum, dan heran atas perjuangan tanpa henti Hideyoshi.
Paginya, ketika dia pulang ke Bekasi, aku masih tidur --karena baca The Swordless Samurai hingga subuh sehingga aku tak mendengar jejak kakinya waktu ia pergi meninggalkan kontrakanku.
The Swordless Samurai sudah tuntas kubaca, saat dua hari kemudian dia datang (sewaktu aku menulis untuk tugas kantorku). Ia kembali mengobrak-abrik buku-ku. Aku jengkel, karena yakin dia pasti tak mampu menuntaskan membaca buku lagi. Maka aku ceritakan isi The Swordless Samurai. Aku menceritakan bahwa buku itu berkisah perjuangan anak petani miskin, bertampang jelek, juga tidak berpendidikan dan nyaris tak mungkin bisa jadi samurai. Tapi ia bisa mengubah nasib. Dia mengubah kemiskinan jadi keunggulan, mengubah kesialan menjadi kemujuran dan itu mengantarkan lelaki yang dijuluki Monyet itu bisa meraih jabatan wakil kaisar dengan kerja keras, tanpa melalui silsilah.
Rupanya, dia terpikat. Ketika malam beranjak, dan aku memutuskan membaca buku Tokaido Inn (Dorothy & Thomas Hoobler), dia membaca The Swordless Samurai. Aku masih terus membaca ketika dia meletakkan buku hendak tidur, "Hideyoshi yang dijuluki samurai tanpa pedang ini memang hebat. Aku termotivasi sepak terjangnya."
Aku tersenyum. Aku yakin emosi Jacky sudah dirasuki kesengsaraan Hideyoshi dalam menapaki karier; mulai dari pembawa sandal hingga bisa membangun benteng Kiyoshi, padahal semua itu hampir tak mungkin dilakukan. Tapi, Hideyoshi bisa mengubah hal yang mustahil menjadi kenyataan. Wajar, Jacky terpikat. Sebelum dia tidur, aku tahu ia menuntaskan setengah The Swordless Samurai.
Tidak lama kemudian, ia pun mendengkur.
Waktu pagi menjelang, buku Tokaido Inn sudah tuntas aku baca, lalu shalat subuh. Sebelum tidur, aku membatin bahwa Jacky tidak akan bisa melepaskan buku itu sebelum tuntas ia baca habis. Aku yakin, The Swordless Samurai memotivasi siapa pun untuk melambung; Anda pasti terpana membaca buku tersebut sebab Jacky yang tak pernah tuntas baca buku pun bisa terjerat. Tapi sebelum tidur, aku ragu; apa besok The Swordless Samurai masih ia sentuh? Apakah dia akan menghabiskan lagi sisa setengah The Swordless Samurai?
Perkenalan yang Menjengkelkan
Pertama kali aku mengenal lelaki itu, ia sudah menanamkan kejengkelan. Malam itu, sekitar setengah tahun yang lalu, ia bertamu ke kontrakanku (di kampung Utan, Ciputat) mengunjungi teman satu kota dengannya -yang kebetulan sekontrakan denganku. Jadi, aku sebelumnya tak kenal, bahkan belum pernah melihatnya meski kami sama-sama pernah kuliah di Jogja.
Saat pulang ke kontrakan, ia memperkenalkan diri padaku dengan menyebut nama: "Jacky".
"Jacky Chan --bintang film mandarin?" tanyaku dengan bercanda.
Dia tertawa. Seolah, aku adalah teman karibnya yang sudah lama tak bertemu hampir sepuluh tahun! Lalu, aku menyalakan komputer seraya meraih rokok di atas mejaku, tetapi aku nyaris tidak percaya; rokokku sudah dalam keadaan terbuka. "Lho rokokku kok bisa lenyap dua? Saat aku tinggal, rokok ini utuh, kenapa tiba-tiba terbuka dan hilang dua batang?"
Jacky tersenyum, tak merasa bersalah! "Aku hisap, Kang!"
"Wah, kamu ini! Berani-beraninya mengambil rokokku, padahal kamu belum kenal aku!"
Dia kembali tertawa, tahu aku tak akan menuntut ganti.
Tetapi, esoknya dia kembali membuatku marah! Aku dibuatnya tak habis pikir dengan ulahnya yang kurang ajar untuk kedua kalinya! Malam itu, ia kebetulan berniat mau menginap di kontrakanku lagi dan dia mengaku perutnya sudah dikoyak lapar. Aku tidak tega membiarkan dia lapar. Akhirnya, aku memberinya uang guna membeli dua bungkus nasi padang. Saat dia berangkat beli nasi, aku pergi ke warnet untuk mengirim tulisan (yang baru aku tulis).
Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Dengan perut ditikam lapar sehabis dari warnet, malam itu (sekitar pukul 21.00) aku pulang dengan harapan bisa makan nasi padang. Setiba di kontrakan, aku langsung bertanya, "Mana nasi untukku?"
Lagi-lagi, ia tersenyum. Tanpa dosa, ia mengaku "Aku makan, Kang!"
"Bukankah tadi aku menyuruhmu beli dua bungkus? Lantas, mana jatahku?"
"Keduanya aku makan, Kang!" tangkisnya, "Aku lapar. Jadi, nasi jatahmu, aku makan karena aku tunggu-tunggu, kamu tak datang-datang!"
Rasanya, ingin kubanting semua barang yang ada dalam kamarku! Tetapi, aku sadar; tak ada gunanya membanting barang yang tak bersalah. Maka malam itu, aku keluar ditikam emosi; melangkah ke warung padang untuk mengisi perutku yang kosong!
Tapi, tak berhenti sampai di situ dia membuatku kesal. Beberapa hari kemudian dia datang lagi, dan bercerita bahwa dia sudah mendapatkan pekerjaan (di agen besar/distibutor koran SINDO). Kembali ia menginap; dan mengatakan akan bangun pagi-pagi sekali untuk berangkat ke tempat kerja barunya. Ironisnya, ketika pagi yang dijanjikan itu tiba, ia ternyata masih mendengkur. Ia tidak berangkat kerja.
Dengan kesal, pagi itu aku yang sudah berencana mau pergi ke Tanah Abang meminta ia untuk segera berangkat. Tapi ia malas-malasan. Tanpa sebuah prolog minta izin berbuat kurang ajar, aku mengunci dia dalam kamarku. Aku pergi seraya berteriak, "Jika kau ingin pulang, melompatlah lewat jendela!"
Habis itu, ia tak pernah datang. Hingga, aku kemudian pindah kontrakan di Legoso.
Menuntaskan Baca Buku
Setelah hampir setengah tahun tak muncul, dia akhirnya datang juga ke kontrakan baruku di Legoso. Aku pernah mengunci dia dalam kamarku, merasa bersalah dan berkali-kali menelponnya untuk bermain ke kontrakan baruku. Ia mau datang. Tetapi, lagi-lagi dia selalu tampil dengan ulah yang menjengkelkan.
Jika dulu, dia menghisap rokokku sebelum mengenalku, memakan nasi jatahku, kini ia muncul dengan ulah yang lain; ia datang mengobrak-abrik bukuku. Aku tak mempermasalahkan jika ia membaca dengan baik, tapi ia selalu melipat buku yang dibaca. Lebih payah; dengan angkuh dia beranjak ke WC seolah maniak buku sehingga saat buang air besar ia bisa membaca, tapi kerap lupa meninggalkan buku tersebut di atas kamar mandi.
Tetapi buku The Swordless Samurai tidak hanya mengubah ia dalam memperlakukan buku. Lebih dari itu, dia mencatat apa yang ia petik dari perjuangan Hideyoshi, anak petani miskin yang mampu mengubah nasib menjadi wakil kaisar.
Saat pagi yang aku cemaskan itu datang, kulihat ia kembali membaca The Swordless Samurai. Sesekali, ia berhenti; tertawa terpingkal-pingkal. Aku tahu ia tertawa karena ia kagum perjuangan Hideyoshi yang mampu mengubah hal tak mungkin jadi mungkin --seperti; tatkala Hideyoshi membangun benteng dalam waktu tiga hari padahal sebelumnya benteng itu dibangun berhari-hari tak juga tegak menjulang. Aku tahu, ia tertawa karena salut kecerdikan Hideyoshi memimpin 50 pasukan mengalahkan 50 pasukan yang dilatih Mondo. Padahal Hideyoshi tak bisa bermain pedang pendek, dan Mondo adalah jago bermain pedang pendek.
Memang pagi itu, ia tak membaca The Swordless Samurai sampai tuntas. Ia sempat istirahat, tidur siang. Lalu, saat malam tiba, melanjutkan lagi membaca The Swordless Samurai hingga habis. Aku yang kala itu lagi serius menulis, sekilas mendengar dia berkomentar saat meletakkan buku itu di dekat komputerku, "Buku ini tidak saja buku pertama yang aku baca hingga tuntas melainkan juga telah mempengaruhi pandangan hidupku. Aku tak ada apa-apanya dibandingkan Hideyoshi. Monyet satu itu memang luar biasa!"
Aku acuh, karena lagi menulis. Tapi ketika ia melihatku tak peduli dengan keberhasilannya membaca The Swordless sampai tuntas, dia seperti protes "Hallo, Monyet! Lagi, nulis ya!"
Aku menoleh, karena ia memanggilku Monyet. Aku tahu, ia memanggilku Monyet lantaran telah terinspirasi Hideyoshi yang dipanggil Monyet! Aku menatap matanya dengan tajam. Ia tersenyum lalu bertanya sinis, "Kapan film indie-mu lounching?"
Aku baru ingat jika dua minggu sebelumnya aku pernah membohonginya bahwa aku kerap semedi dan jarang keluar kamar, karena lagi sibuk menulis skenario film indie. Sampai-sampai, ketika dia ditelepon oleh kakaknya untuk pulang ke Bekasi, ia menjawab, "Aku sedang membantu temanku membuat film indie."
Kini, aku tersenyum melihat ia berubah setelah membaca The Swordless Samurai. Bahkan, dia yang dulu di mataku sebagai orang yang tidak memiliki rasa setia kawan --lantaran makan jatah nasi padangku-- kini aku melihatnya lain. Dua minggu ini, aku ambruk (jatuh sakit) empat kali. Ini adalah sakitku yang cukup parah, karena aku yang anti rumah sakit, terpaksa mengunjungi rumah sakit untuk memeriksakan diri; lambung-ku kena! Di sela-sela aku merasakan sakit yang tiada tara, menjerit-jerit kesakitan dan perutku melilit, ternyata Jacky merawatku dengan telaten; ia memaksaku membuka baju lalu ia kerokin pungkungku, ia belikan aku nasi di saat aku butuh makan, ia belikan aku obat di saat aku kambuh lagi, ia menghiburku kala aku meracau menahan sakit.
Itulah Jacky! Sampai kapan pun, aku tak akan pernah melupakan kebaikannya. Padahal, di saat aku sakit, semua temanku melarikan diri, bahkan ada yang mengganggap aku pura-pura sakit. Tetapi, Jacky menemaniku di kala aku diterjang sakit yang tidak terkira. Di tengah malam gulita (pukul 02.00 dini hari) ketika aku meronta-ronta, dia menghiburku dengan cerita-cerita yang lucu dan konyol.
Lebih dari itu, kini dia memiliki semangat tinggi untuk berjuang. Bahkan, dua hari ini, ia selalu mendesakku untuk segara membuat film indie. Aku menjawabnya bahwa bulan Maret nanti, film itu pasti sudah lounching. Tetapi dalam hati aku tersenyum, karena aku telah berhasil membohonginya (soal lounching film indie tersebut).
Aku benar-benar merasa bersalah, berutang budi pada Jacky karena ia telah merawatku dengan telaten (sewaktu aku sakit). Lantas, apa komentar Anda tentang Jacky?***
(Ciputat, 29 Desember 2008)
12 komentar:
Jadi penasaran dengan The swordless samurai, sampai bisa jadi inspirasi hidup Jacky
Salam kenal, selalu menyenangkan membaca tulisan pak mursidi
Langkah di hari-hari awal 2009 mulai menjejak, selamat tahun baru semoga lebih sukses dengan pencapaian yang luar biasa Mas !
buat mas yosandy--> selamt tahun baru juga, semoga kita mendapatkan apa yang targetkan di tahun 2009 nanti...
buat penikmat buku (santi) --> tidak rugi jk nanti anda membeli buku the swordless samurai --penuh kata2 yang memotivasi dan bisa memelejitkan kita ke puncak karier... salam kenal juga!?!
Walaaah Jacky koq di pasang nek blog piye tooooh? cari Asisten zaaa. he he he
buat kirom, lha jacky sudah lulus bc buku The Swordless samurai. kedua, ia juga merawatku waktu aku sakit. jadi, dia perlu dikasih promosi di blog ini..... kamu kapan2 aku tulis lho.....
Jacky memang menyebalkan.. selengek'an.. tapi, dia itu baik dan lucu. Suatu saat, Jacky akan jadi pendekar.. bukan samurai tapi pendekar... karena ini bukan di Jepang. Ya, saat itu dia akan terlihat sangat keren... (cool...cool.. alias dingin hehe) seperti Stephen Chou saat di adegan klimaks Kungfu Hustle hehe..
(di Kungfu Hustle itu, stephen Cou juga dibohongi oleh penjual komik silat...sama seperti Jacky dibohongi oleh mas Mursid dengan film indienya hehe...)
Btw baca tulisan mas Mursid yang ini rasanya seperti sedang melihat film saja, seru!:-)
aku bohongi jacky???? kayak di film kungfu hustle dan dia mirip stephen cou, berarti ia nnt jd sakti dong??? ha ha ha////
dia memang lucu, kayak kamu! ha ha ha
hmmm....
aku sih udah tamat baca Buku "TAIKO" yang mana ceritanya sama2 menceritakan perjuangan Hideyoshi...
tapi jadi penasaran sama buku yang satu ini (the swordless samurai), paling tidak bisa buat perbandingan lah...^_^
mas, ajarin bkin blog dg...ak tinggal diciputat jg nih...
blog-nya sdh bagus bu. aku jd malu jk disuruh ngajarin bikin blog, padahal saya sendiri gaptek.. trm kasih sdh berkunjung ke blog saya
orang sukses: taiko memiliki kelebihan dan buku ini pun memiliki kelebihan. jd, tidak ada salahnya jk membaca keduanya sbg perbandingan. salam buku
Posting Komentar