....

Sabtu, 10 Desember 2011

Spirit Hidup dari Sebuah Cerita

resensi ini dimuat di Harian Pelita, Sabtu 10 Desember 2011

Judul     : The Forest of Hands and Teeth
Penulis  : Carrie Ryan
Penerbit: Kubika, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2010     
Tebal    : 392 hlm.
Harga   : 57.000,-

KEHIDUPAN di dunia ini, memang tidak abadi. Kematian menjadi semacam akhir kisah yang tidak terelakkan dan menjadi jawaban dari akhir sebuah kehidupan. Kelak -sebagaimana digambarkan dalam kitab suci berbagai agama-- manusia akan menjumpai hari akhir, dan kemudian ia akan mengalami ending. Tetapi, apa jadinya jika penduduk bumi yang sesak dan terdiri dari berbagai suku bangsa ini tiba-tiba habis, dan sebelum terjadi hari akhir itu justru tersisa segelintir orang di sebuah desa terpencil? Sungguh sebuah kehidupan yang tidak terbayangkan!

Kehidupan pada masa kepunahan umat manusia yang tinggal segelintir di kampung terpencil itulah yang digambarkan oleh Carrie Ryan dalam novel ini. Tragisnya, pada masa itu umat manusia punah tak dengan cara yang wajar, tidak mati akibat sakit atau tua, tetapi kalah bertahan hidup akibat ancaman Ternoda --bangsa zombie. Ternoda yang digambarkan tidak dapat musnah atau mati, kecuali dipenggal dan dibakar, seiring dengan perjalanan waktu: menjadi bangsa yang menghuni bumi dan bernafsu membantai umat manusia.

Tak pelak, kehidupan manusia pun mendekati akhir. Desa sunyi dan terpencil di dekat Belantara Tangan dan Giri, konon -menurut cerita- jadi satu-satunya desa tersisa. Di desa itu, tinggal Mary, Jed (kakak Mary), Beth (istri Jed), Travis, Harry, Cas, Yakob dan penduduk lain --termasuk para biarawati yang "memegang otoritas" dalam kehidupan. Tak ada yang tahu: bagaimana desa itu jadi desa terakhir dalam kehidupan. Juga tidak ada yang tahu, bagaimana sejarahnya kehidupan bangsa Ternoda itu berasal dan bisa menguasai bumi dan mengancam umat manusia.

Sebagai satu-satunya umat manusia terakhir yang menghuni bumi, warga desa itu berjuang sekuat tenaga untuk bisa bertahan hidup dan menurunkan generasi berikutnya -beranak-pinak. Karena itu, Mary yang mendekati usia pernikahan, mendapat mandat kelak dapat memberi anak. Ironisnya, pernikahan yang dilangsungkan di desa itu (dikendalikan para biarawati yang dipimpin oleh Suster Tabitha) didasarkan pada komitmen, bukan pada ikatan cinta. Karena itu, Mary tak dapat mengelak ketika suster Tabitha memilihkan Harry jadi calon suaminya. Padahal, ia sebenarnya mencintai Travis --adik Harry.

Sementara itu, untuk bertahan hidup dari serbuan Ternoda, penduduk membangun panggung perlindungan dan memagari desa. Apalagi, sudah tak terhitung korban yang tertular dan berubah jadi zombie setelah kena gigitan --termasuk ibu dan ayah Mary. Beberapa kali, bangsa zombie menyerang desa, penduduk desa masih mampu bertahan. Tapi kawanan Ternoda yang dihinggapi lapar, sehari sebelum Mary dan Harry melakukan janji pengikatan untuk jadi suami-istri, tiba-tiba menerobos desa. Penduduk kalang kabut. Semua punah, termasuk suster Tabitha kecuali: Mary, Jed (kakak Mary), Beth (istri Jed), Harry, Travis, Cash serta Yakob.

Pagar desa diterjang. Panggung perlindungan dikepung. Untung Mary, Jed, Beth, Harry, Travis, Cash dan Yakob bisa menjangkau jalan setapak yang jadi jalan aman terakhir. Jalan itu tanpa disadar Mary ternyata menyimpan kode rahasia. Dengan jalan setapak itu mereka berjuang keras untuk dapat selamat dari serangan Ternoda. Apa mereka bisa keluar? Siapa di antara mereka yang selamat dan bisa melihat laut?

Perjuangan mereka untuk selamat dari ancaman Ternoda itu diceritakan cukup mendebarkan oleh Carrie. Tak hanya mendebarkan tetapi Carrie Ryan mengajak pembaca merenungkan akan ancaman kematian dan harapan tentang keluar dari desa dengan teka-teki kode rahasia --yang ditemukan Mary dalam beberapa lempengan yang menandai jalan setapak, di pintu gerbang dan angka misterius yang digoreskan Grabiella di kaca katedral. Satu hal yang ingin dipecahkan Mary, bahwa "angka-angka" itu tentu memiliki pola dan arti. Tetapi, pengarang bisa menutupi teka-teki itu dalam sepanjang jalan cerita.

Misteri lain yang dijejalkan pengarang adalah perihal terowongan di bawah biara, rahasia biarawati yang di mata Mary menyembunyikan setumpuk hal aneh --Gabriella yang tiba-tiba muncul misterius di biara, lalu berubah jadi Ternoda. Tidak hanya itu, keberadaan desa mati di sebelah Belantara Tangan dan Gigi yang sempat disinggahi gerombolan Mary. Juga, lembaran koran dan keberadaan gedung bertingkat pada lembaran foto yang ditemukan Mary. Dengan patahan-patahan simbolisme itu, Cary seakan ingin menegaskan bahwa semua itu nyata.

Novel ini sarat dengan gugatan akan "simbol dan otoritas keagamaan". Peran biarawati yang memegang otoritas tunggal yang mengatur kehidupan, jadi satu bukti kuat akan "kekuasaan agama" yang kerap dijadikan tameng kekuasaan dengan menjadikan simbol agama sebagai modal untuk berkuasa. Hak itulah yang dipegang para biarawati. Pada konteks ini, pengarang ingin menggugat otoritas itu, tapi dalam balutan cerita yang halus. Salah satu gugatan itu adalah adanya manusia lain di luar desa. Lebih dari itu, pengarang ingin meniupkan harapan apalagi jika itu memang dapat membawa spirit yang menguatkan jiwa meski bersumber dari cerita. Dan cerita laut yang didengar Mary dari ibunya waktu ia masih kecil itu,  seakan menjadi spirit bagi Mary untuk tetap bertahan hidup karena ia ingin melihat laut. Dan spirit Mary untuk selamat itu yang jadi spirit novel ini bahwa dalam keadaan mencekam pun, laut menjadi simbol akan kehidupan. ***

*) N. Mursidi, cerpenis dan blogger buku tinggal di Jakarta

2 komentar:

Oky mengatakan...

Seru sekali..

penulis mengatakan...

seru dan membuat penasaran