....

Minggu, 12 Februari 2012

Dua Tangis demi Pabrik Setrum

resensi ini dimuat di Jawa Pos, Minggu 12 Februari 2012)

Judul buku : Dua Tangis dan Ribuan Tawa
Penulis       : Dahlan Iskan
Penerbit     : Elex Media, Jakarta
Cetakan     : Pertama, November 2011
Tebal buku : 364 halaman
Harga        : Rp. 64.800,-

SETELAH dipanggil presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk dipercaya sebagai menteri BUMN, Dahlan Iskan tiba-tiba menitikkan air mata di hadapan wartawan. Ketika ia memberikan keterangan pres di depan kantor Presiden, ia seperti tak kuasa menahan sedih yang menggumpal di hati. Tentu, kesedihan Dahlan Iskan mengundang tanda tanya. Ada apa ia menangis? Apa terharu atau benar-benar sedih? Tidak lama kemudian, segumpal rasa penasaran itu pun terjawab. Dahlan Iskan mengaku sedih, lantaran ia harus meninggalkan PLN. Padahal, waktu itu ia --dan seluruh jajaran PLN-- sedang bersemangat bekerja demi memajukan PLN.


Tetapi, tangis sedih yang dialami Dahlan Iskan waktu itu berbeda dengan tangis yang dia tumpahkan tatkala ia baru menjabat Dirut PLN. Setumpuk kebobrokan dan masalah pelik yang "membelit" di perusahaan listrik negara itu sampai-sampai membuat Dahlan Iskan harus menitikkan air mata. Bahkan ia menangis dua kali selama menjabat Dirut PLN, lantaran ia merasa tidak berhasil menanggulangi pemadaman listrik di Palu. Ia sedih karena ia merasa tidak dapat memenuhi harapan masyarakat.

Secuil kisah sedih itulah yang dituangkan Dahlan Iskan dalam buku kumpulan esai Dua Tangis dan Ribuan Tawa ini. Buku yang semula merupakan CEO noted Dahlan Iskan ini pada awalnya tak lebih sebagai media untuk mengkomunikasikan gagasan, ide dan buah pemikiran Dahlan Iskan dalam memajukan PLN. Dalam catatan itu, Dahlan Iskan secara panjang lebar mengisahkan apa yang ia inginkan dengan perusahaan listrik negara itu. Tetapi, catatan itu lebih bersifat internal untuk disebarkan kepada karyawan PLN. Seiring dengan berlalunya waktu, rupanya catatan itu menyebar dan karena diminati oleh sejumlah kalangan, pada akhirnya CEO noted Dahlan Iskan itu pun diterbitkan.

Tak diragukan, Dahlan Iskan memang seorang pekerja keras. Bahkan, ia mampu memberi asupan ide-ide segar, "terobosan spektakuler" dan didukung inovasi dalam setiap gerak langkah yang ia kerjakan. Lebih dari itu, ia memiliki dedikasi, kedisiplinan dan bertanggung jawab. Maka, ketika ia menjabat Dirut PLN, ia berikrar selama enam bulan pertama ia tidak mengurus soal apa pun kecuali listrik. Janji itu tidak sekadar janji. Ia membuktikan apa yang ia ucapkan. Tak pelak, jika ia pun sampai harus mengorbankan kepentingan pribadi dan keluarga.

Tapi perusahaan listrik negara memang ditimpa setumpuk masalah yang akut. Meskipun Dahlan Iskan sudah sepenuhnya mencurahkan pikiran demi kemajuan PLN, pabrik setrum itu ternyata masih meninggalkan segudang borok yang tak bisa dibenahi dalam sekejap. Tak berlebihan, jika segudang masalah itu membuat Dahlan Iskan seperti ditimpa "reruntuhan gedung". Belitan masalah itu pun berujung sedih; membuat Dahlan Iskan menitikkan air mata --apalagi di bulan-bulan awal dia menjabat Dirut PLN. “Selama enam bulan itu, saya dua kali menangis. Sekali di ruang rapat dan sekali lagi di Komisi VII DPR-RI. Kadang, memang begitu sulit mencari jalan cepat mengatasi persoalan. Kadang sebuah batu terlalu sulit untuk dipecahkan. Tetapi bukan berarti hari-hari saya di PLN adalah hari-hari yang sedih. Ribuan kali saya bisa tertawa lepas.” (hal. 48)

Metode kerja cepat, kaya viariasi, banyak ide dan setumpuk jurus yang diterapkan Dahlan Iskan tampaknya tidak bisa membuat PLN pun langsung pulih dari sakit. Tetapi, rasa sedih dan tanggung jawab besar yang diemban oleh Dahlan Iskan itu pada akhirnya berbuah manis. Sekarang ini, PLN yang dahulu dianggap sebagai perusahaan paling sering dicaci maki, dicemooh dan dihujat habis-habisan, mulai menjadi perusahaan yang kredibel dan cukup membanggakan. Karena itu, tidak hanya konsumen yang kemudian bisa tertawa. Bahkan, dua tangis yang ditumpahkan Dahlan Iskan itu pun kemudian bisa ditebus dengan ribuan tawa.

Semua itu tak lepas dari gebrakan Dahlan Iskan. Ia menerapkan hal-hal teknis, kebijakan strategis, dan keputusan-keputusan spektakuler yang cemerlang. Lebih dari itu, juga keberaniannya dalam melawan arus. Ketika ribut soal seragam, ia dengan lantang malah menghapus kebijakan seragam. Juga, menghapus upacara bendera, melarang rokok di lingkungan PLN dan masih banyak hal-hal sepele lain yang diterapkan, tetapi dapat mengubah tradisi dan budaya di tubuh PLN. Tak salah, jika kehadiran Dahlan Iskan di pabrik setrum itu telah menghembuskan semangat kerja.

Dahlan Iskan memang bukan malaikat. Ia memiliki ketidaksempurnaan. Tapi, dedikasi dan gaya kepemimpinannya yang -cenderung low profil, tegas, to the point, dan konsisten- telah membawa PLN melejit. Ia tak percaya begitu saja pada apa yang diucapkan bawahan. Tak salah, jika ia kerap terjun ke lapangan. Dalam buku ini, tidak sedikit ia menceritakan perjalanan sewaktu ke daerah pelosok yang butuh penanganan. Lebih dari itu, ia berdialog dengan karyawan dan mau mendengar keluh kesah mereka.

Lewat buku ini, pembaca akan melihat sepak terjang Dahlan Iskan dalam membenahi PLN. Pembaca akan merasakan setiap denyut nadi yang dihembuskan Dahlan Iskan untuk PLN. Maka, buku ini jadi "rekam jejak" kepemimpinan Dahlan Iskan sewaktu menjabat sebagai Dirut PLN. Setiap halaman buku ini, akan membawa pembaca pada suasana haru; kadang mematik kesadaran "pilu" untuk menangis seperti dirasakan Dahlan Iskan, tapi pada sisi lain mengajak pembaca tertawa. ***   
   
*) N. Mursidi, peneliti pada Al-Mu`id Institute, Lasem, Jawa Tengah

Tidak ada komentar: