....

Minggu, 28 April 2013

Kisah Inspiratif Seorang Penjaja Koran

Oleh: Untung Wahyudi *)
dimuat di Tribun Jogja, Minggu 28 April 2013

Judul       : Tidur Berbantal Koran: Kisah Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis     : N. Mursidi
Penerbit   : Elex Media Komputindo
Cetakan   : Pertama, 2013
Tebal       : xiv + 245 halaman
ISBN       : 978-602-020-594-6
Harga      : Rp. 44.800,-

Nama N. Mursidi bisa dibilang bukan nama baru di kancah kepenulisan, terutama majalah dan koran. Hampir setiap hari Minggu namanya menghiasai kolom-kolom opini, resensi, esai atau cerpen beberapa koran nasional. Semua itu bukan dilaluinya dengan mulus. Jalan terjal dan berliku kerap ditemuinya sejak kali pertama menapaki dunia kepenulisan. Pahit-manis dan jatuh-bangun sudah dilaluinya selama menjalani proses kepenulisan. Tak sekali pun dia mengambil “jalan pintas” dengan memplagiat karya orang lain seperti yang akhir-akhir ini terjadi dan sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial Facebook dan Twitter.


Jalan kepenulisan yang dilalui N. Mursidi bisa dibilang karena sebuah “kecelakaan” sejarah hidup yang ditempuhnya. Sebelumnya dia tak pernah sekali pun bermimpi menjadi seorang penulis apalagi wartawan. Di antara keluarganya dia bisa dibilang anak yang kurang membanggakan, terutama jika dibandingkan dengan adik dan kakaknya yang mampu menorehkan prestasi dan berhasil lolos seleksi masuk di sekolah Negeri. Sementara N. Mursidi hanya “mentok” di sekolah swasta semenjak lulus Sekolah Dasar.

Buku memoar Tidur Berbantal Koran ini menceritakan rekam-jejak kepenulisan serta perjalanan N. Mursidi sejak kali pertama merantau ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi swasta--setelah sebelumnya berkali-kali gagal mengikuti UMPTN. Orangtua N. Mursidi hanya seorang pedagang pakaian. Mereka menyarankan anak-anaknya untuk masuk sekolah atau perguruan tinggi Negeri agar biaya SPP-nya lebih ringan.

Tapi, N. Mursidi berusaha meyakinkan kedua orangtuanya. Kelak di Yogyakarta dia akan bekerja sampingan demi memenuhi kebutuhan biaya kuliahnya. Karena dia tidak yakin mampu membiayai kuliah jika hanya mengandalkan kiriman orangtua.

Kekhawatiran orangtuanya terbukti. Setelah menjalani semester pertama, N. Mursidi tidak mampu lagi membayar SPP. Apalagi, dia mendapat kabar dari kampung bahwa Ayahnya sakit dan sudah tidak bisa bekerja lagi di pasar. N. Mursidi terpaksa harus berhenti kuliah. Karena untuk mengambil cuti, di kampusnya ada peraturan minimal mahasiswa sudah menjalani masa kuliah selama dua semester (halaman 43).

Tapi, N. Mursidi tidak menyerah begitu saja. Dia pantang pulang kampung demi harga dirinya, meskipun berkali-kali Ibunya menyuruh pulang untuk membantu berdagang di pasar untuk melanjutkan usaha Ayahnya. N. Mursidi tetap memilih hidup di kota Gudeg dengan bekerja sebagai penjual koran, sebuah pekerjaan yang sudah dijalaninya sebelum memutuskan berhenti kuliah. Keputusan untuk berjualan koran itu dilakukannya setelah mendapat tawaran dari salah seorang teman satu kontrakan yang juga teman masa kecilnya di kampung.

Sejak itulah dia mengenal dan menghirup aroma kehidupan di jalanan. Berpindah-pindah dari bus satu ke bus lainnya sudah menjadi rutinitasnya setiap hari. Di jalanan itu dia mengenal kerasnya hidup di kota besar seperti Yogyakarta. Berjuang demi mempertahankan hidup bersama teman-teman sesama pedagang asongan di jalanan.

Aroma dan aksi kejahatan di depan mata kerap juga ditemuinya di jalanan. Dia banyak mengenal preman atau pencopet selama berjualan koran dari bus ke bus. Hatinya berontak dan ingin berteriak setiap kali melihat aksi kejahatan di depan matanya, terutama ketika di dalam bus dia melihat aksi beberapa pencopet yang dengan gesit memindahkan dompet penumpang ke tangannya. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa dengan aksi para pencopet itu. Dia sudah diberi isyarat dengan “kedipan mata” agar diam melihat kejadian itu. Kernet bus pun tahu apa yang dilakukan oleh para pencopet itu. Tapi, dia diam saja seakan tidak terjadi apa-apa (halaman 51).

Sementara itu, keputusan N. Mursidi untuk belajar menulis secara autodidak bermula dari sebuah kejadian, yaitu ketika seorang abang becak membeli korannya. Abang becak itu mengatakan, kalau dia tidak ingin ketinggalan informasi meskipun profesinya hanya sebagai tukang becak. N. Mursidi terenyuh sekaligus tersindir. Dia yang setiap hari bersentuhan dengan koran tak sekali pun tertarik untuk membaca koran yang dijualnya, kecuali hanya sekilas di halaman depan koran. Dia pun mengikuti jejak abang becak dengan membaca koran-koran yang dijualnya (halaman 5). Di koran itu dia sering melihat kolom-kolom resensi buku, opini atau cerpen yang ditulis oleh mahasiswa. Dia berpikir, kalau mereka bisa, kenapa dia tidak? Bukankah dia juga pernah menjadi mahasiswa?

Pikiran-pikiran itu membuatnya ingin belajar dengan serius dari koran-koran yang dibacanya. Secara autodidak dia mulai menulis dan mengirimkannya ke media di media-media lokal di Yogyakarta.Berkat kegigihannya belajar menulis secara otodidak itulah, dia tidak hanya berhasil menembus media lokal, tapi merambah media nasional seperti harian Seputar Indonesia, Detik, Jawa Pos, Kompas dan yang lainnya. Bahkan, dia berhasil menjadi seorang wartawan dan tulisan-tulisannya mulai bertebaran di banyak media.

Buku setebal 246 halaman ini mengajak pembaca menapaktilasi perjuangan hidup sekaligus memaknai betapa kerasnya kehidupan. Bahwa hidup bukan sekadar untuk bersantai-santai dengan membuang waktu secara percuma. Semua orang—termasuk orang miskin—juga bisa bermimpi untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Berjuang dengan tidak pernah kenal lelah dan takut dalam berusaha. Seperti yang dikatakan Andrew Jackson, “Musuh paling berbahaya di atas dunia ini adalah penakut dan bimbang. Teman yang paling setia hanyalah keberanian”. [*]

*) Untung Wahyudi, alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya

7 komentar:

Untung Wahyudi mengatakan...

Wah... sudah direpost di sini, ya? Ini naskah asli. Di versi cetaknya ada sedikit editing... Tadi ada teman yang bilang tertarik pengin baca TBK setelah baca resensi ini. :)

Catatan biasa saja mengatakan...

mengagumkan!

penulis mengatakan...

mas @untung: ya, mas. tengku sdh diresensi, dan dimuat di koran Jateng Pos.... trm ksh jk ada tmn yg tertarik bc buku TBK... smg bermanfaat

@mas Aris: setiap komentar mas Aris, selalu membuatku bergetar, hehehe

penulis mengatakan...

ralat: Tribun Jogja, hehehe, bkn Jateng Pos

Unknown mengatakan...

Beli bukunya untuk sekitar kota rembang di mana ya?? Bangga banget orang Rembang bikin novel..

Unknown mengatakan...

Wahh dimana ya untuk belinya tu novel di sekitar Rembang? Bangga banget dengan karya anak Rembang..

penulis mengatakan...

@mba Siwi Dremfull: buku Tidur Berbantal Koran sdh tdk ada lagi di toko buku, mb. tp jk mau mencari mungkin di toko buku online msh ada. salam anak rembang