....

Minggu, 05 Januari 2014

Pemberontakan Yoritomo dan Keruntuhan Klan Taira

resensi ini dimuat di Radar Surabaya, Minggu 5 Januari 2014

Judul buku : Minamoto no Yoritomo: Akhir Kekuasaan Klan Taira
Penulis       : Eiji Yoshikawa
Penerbit    : Kansha Books, Jakarta
Cetakan     : Pertama, 2013
Tebal buku : 394 halaman
ISBN        : 978-602-971-967-3
Harga buku: 64.000,-

SEJARAH --bisa dikatakan-- rentetan peristiwa dan kejadian yang terjadi di masa lalu. Fakta yang pernah terjadi dan telah terjadi tidak dapat membuat sejarawan mengelak tatkala dia dituntut menulis sejarah. Tapi di tangan sastrawan, fakta dan data sejarah itu dielaborasi secara kreatif, imajinatif dan dibubuhi dengan warna berupa muatan makna baru. Tidak berlebihan, jika novel (yang ditulis berdasarkan data) sejarah tidak lepas dari "tafsir" pengarang yang memiliki kecenderungan kuat untuk mengungkapkan pemikiran yang ingin disuguhkan.


Itulah yang dilakukan oleh penulis novel ("berlatar") sejarah, salah satunya adalah Eiji Yoshikawa. Di tangan Eiji Yoshikawa, sebagaimana yang dituturkan dalam novel berjudul Minamoto no Yoritomo: Akhir Kekuasaan Klan Taira ini, sejarah Jepang di era kekuasaan klan Taira coba direkam dengan kreatif, dan imajinatif dengan menceritakan tokoh-tokoh yang pernah ada dalam sejarah agar pembaca bisa mengenal kembali dan belajar dari sejarah di masa lalu ketika kekuasaan diperebutkan dan balas dendam mewarnai kematian pemimpin sebuah klan.

Setelah klan Taira berhasil mengalahkan klan Genji dalam perang Heiji, Taira Kiyomori pun menjadi "penguasa" dan memegang kendali keamanan negeri Jepang. Kekuasaan memang cenderung korup, dan kemewahan penguasa tak jarang membuat orang lupa dengan nasib rakyatnya. Rupanya, godaan itu kental dalam kepemimpinan Kiyomori. Seiring dengan perjalanan waktu, dia seperti lupa kalau dulu dia pernah di bawah dan bahkan kelaparan. Tapi setelah dia berada di puncak kekuasaan, ia seperti lupa.

Waktu itu, kehidupan rakyat sedang terpuruk, apalagi setelah Kiyomori kehilangan anaknya yang paling dia sayangi, Shigemori. Padahal, di tempat pengasihan, Yoritomo tidak jadi menjalani kehidupan sepi sebagai seorang biksu dan hal itu merupakan ancaman berbahaya. Karena, dalam darah Yoritomo mengalir darah Yoshitomo (klan Genji) yang siap bangkit kembali dan membalaskan "dendam" atas kematian ayahnya dan siap memberontak untuk merebut kekuasaan.

Kondisi Jepang yang terpuruk sedang pejabat di lingkungan Koyomori korup, rupanya memberi peluang besar dan kesempatan Yoritomo untuk bangkit dengan cepat bahkan mendapat dukungan rakyat. Dalam waktu singkat, ia bisa  menyusun kekuatan, berhasil "menaklukan" beberapa wilayah, kemudian membangun kota baru untuk pusat pemerintahan. Kekuatan Yoritomo semakin tangguh, apalagi setelah adik tirinya, Ushikawa yang diasingkan di Kurama lalu setelah dewasa berganti nama jadi Monamoto no Kurou Yoshitsune datang untuk membantu (hal. 271).

Kekuatan klan Genji di bawah kepemimpinan Yoritomo pun tak tertandingi. Apalagi, setelah Yoshitsune ikut perang. Saat perang di sungai Fuji, klan Taira harus mundur. Kekuatan klan Taira kian rapuh setelah Kiyomori tiba-tiba meninggal. Penerusnya meninggalkan ibu kota (hal. 243-288). Akhirnya, Yoshitsune bisa menguasai ibu kota setelah mengalahkan Yoshinaka (hal. 360). Meski dia berhasil mengukir banyak prestasi, ia dipandang sebelah mata oleh Yoritomo. Pada titik ini, benih perseteruan Yoshitsune dengan Yoritomo mulai tumbuh. Apalagi orang-orang memuji Yoshitsune. Tapi justru Yoritomo dilanda takut. Sebab di sekitar Yoritomo, ada sekelompok pejabat yang mengobarkan fitnah; Yoshitsune dituduh ingin menjadi pemimpin klan Genji.

Setelah musuh utama Yoritomo, yakni klan Taira dikalahkan, ironisnya Yoritomo menganggap adiknya justru menjadi musuh baru. Siapakah di antara pewaris klan Genji; Yoritomo dan Yoshitsune yang pada akhirnya berhasil merebutkan hati rakyat? Tetapi, di tangan Eiji Yoshikawa, Yoshitsune dianggap memiliki pengaruh kuat. Bahkan, hampir dalam lembaran novel ini, Yoshikawa dapat dibaca dengan jelas memihak pada Yoshitsune. Hati dan prilaku Yoshitsune digambarkan suci, bersih bahkan tidak memiliki secuil pun niat untuk memberontak kakaknya.

Kecamuk batin dan pertentangan dua anak Yoshitomo untuk saling berebut pengaruh menjadi pemimpin klan Genji inilah yang menjadikan novel ini, sebenarnya semakin menarik. Tetapi sayang, Eiji Yoshikawa tak mengelaborasi lebih jauh. Dalam novel ini, pengarang Jepang ini berhenti pada kisah ketika Yoritomo --karena mendapatkan bisikan berupa fitnah-- akhirnya, merasa takut dengan Yoshitsune, dan memutushkan hubungan persaudaraan. Lalu, cerita diperpendek; akhirnya Yoshitsune meninggal. Padahal, jika perseteruan Yoritomo dan Yoshitsune dikisahkan dengan detail, novel ini akan jauh lebih menawan, dan bahkan meninggalkan kesan kisah yang memikat di ending certia.

Tetapi pada konteks ini, pembaca justru bisa membaca dengan jelas keberpihakan pengarang. Eiji Yoshikawa --tak dapat disangkal-- lebih berpihak pada Yoshitsune. Ia menempatkan Yoshitsune serupa pahlawan, apalagi ketika Yoshitsune berhasil mengukir banyak prestasi dan dicintai rakyat, justru ia dianggap sosok yang menakutkan bagi Yoritomo. Yoshitsune menjadi tokoh yang terdhalimi. Karena itu, dalam novel ini, pengarang seolah-olah menempatkan Yoshitsune jadi tokoh utama, bukan Yoritomo --meski novel ini berjudul Minamoto no Yoritomo: Akhir Kekuasaan Klan Taira.

*) N. Mursidi, penulis buku Tidur Berbantal Koran (Elex Media 2013)

Tidak ada komentar: