....

Senin, 24 Maret 2014

Memoar Mantan Penjual Koran Jalanan

resensi ini dimuat di Okezone.com, Senin, 24 Maret 2014
Oleh: Ammar Machmud *)

Judul buku: Tidur Berbantal Koran: Kisah Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis     : N. Mursidi
Penerbit    : Elex Media Komputindo
Cetakan    : Pertama, Februari 2013
Tebal Buku: xvi + 243 halaman
ISBN        : 978-602-020-594-6
Harga         Rp 44.800,-

Menjadi wartawan profesional sekaligus penulis lepas produktif memang tak semudah bagai membalik telapak tangan. Seringkali banyak tebing curam dan kerikil tajam yang harus dilalui. Itulah yang dialami Nur Mursidi, penulis buku ini.


Mayoritas penulis kenamaan di Indonesia sekaliber Goenawan Muhammad, Ayu Utami atau lainnya tentu punya lika-liku sejarah perjuangan panjang nan getir dalam dunia kepenulisan. Mereka seringkali harus melawan arus kehidupan dan memilih ‘jalan lain’ demi menggapai impiannya itu. Tak terkecuali dengan Mursidi.

Alkisah, Mursidi dulu kerap diledek teman-teman dan tetangganya di kampung sebagai anak ‘paling bodoh’ di tengah keluarganya. Bagaimana tidak, proses jenjang sekolahnya tak pernah beres. Setiap kali ia mendaftar sekolah negeri favorit ia selalu gagal, bahkan hingga ikut ujian UMPTN pun ia juga gagal. Menyadari hal itu, ia pun seperti ‘trauma’ dengan sekolah. Ia sendiri mengakuinya, “aku ini memang tidak bakat sekolah, karena berkali-kali aku gagal”.

Saking tak percaya akan potensi Mursidi dalam bidang pendidikan, ayahnya menyarankan agar setelah lulus SMA, dia tinggal di rumah saja melanjutkan usaha keluarganya. Tapi, realitanya ia meniti jalan lain. Dia justru nekad memilih ‘kabur’ ke Yogyakarta dengan alasan kuliah. Namun seiring perjalanan waktu, dia harus keluar kuliah lantaran masalah ekonomi yang menghimpitnya, hingga akhirnya dia berspekulasi menjadi penjual koran jalanan di kota Gudeg itu.

Profesi tersebut dilakoninya, sebab saat itu dia sedang berjuang melawan kesedihan. Ayahnya sakit keras dan ibunya tak bisa mengirimi uang untuk biaya hidupnya di Yogyakarta. Dari proses berjualan koran di jalanan itulah, Mursidi mendapat banyak ilmu dan pengalaman hidup ‘bermakna’ yang tak pernah ia dapatkan di bangku kuliah. Dari situ, dia lalu bermimpi ingin menjadi penulis sukses di media massa.

Semangat pantang menyerah
Proses menjadi penulis sukses di koran ternyata tak semulus impiannya. Dia seringkali jatuh bangun lantaran kondisinya yang hidup serba terbatas. Jangankan untuk membeli mesin ketik sebagai alat menulis, untuk makan sehari-hari saja dia harus menggantungkan hasil dari jualan koran.

Meski begitu, dia tak pernah menyerah, apalagi putus asa. Keinginan kuatnya untuk menjadi penulis di koran sangat menggebu-gebu. Keterbatasan fasilitas, tak punya guru khusus menulis, bukanlah menjadi alasan utama ia mengurungkan impiannya. Sebaliknya, pelbagai hambatan itu justru dia jadikan sebagai pemicu semangat menuju kesuksesannya di masa depan.

Mursidi belajar menulis secara otodidak. Dia menulis tanpa guru menulis profesional dan tidak pula dengan bantuan buku panduan menulis. Dia hanya mengandalkan membaca koran yang selalu dijualnya setiap pagi hari. Dia menyebutnya dengan ‘menulis tanpa kitab suci’.

Berkat perjuangannya yang tak kenal lelah dan putus asa, penantian panjang akhirnya terwujud. Tulisan resensi pertamanya mendarat di koran Kedaulatan Rakyat (KR) dengan judul ‘Potret Yogya Sehari-Semalam’ (1 November 1998). Waktu itu, dia menerima honor sebesar Rp20 ribu dari KR. Saking girangnya, dia lalu mentraktir teman-temannya di KOPMA dekat universitas tempat ia kuliah. Malangnya, saat selesai nraktir dan menanyakan kasir berapa dia harus bayar, “semua dua puluh dua ribu, mas!”, jawab kasir. Ternyata dia harus tombok (menambahi) dua ribu rupiah (hlm: 116). Inilah sisi kelucuan di antara sekian banyak kenangannya saat awal-awal menjadi penulis lepas.

Pasca tulisan perdananya dimuat di KR, ternyata nasib malang kembali menghampiri Mursidi. Selama satu tahun, tulisannya tak pernah lagi dimuat. Dia mengalami musim paceklik. Dia sempat frustasi dan hampir putus asa melanjutkan impiannya itu. Baru pada tahun berikutnya (2000), empat resensinya kembali tayang di Bernas, Kedaulatan rakyat, dan Majalah Forum Keadilan.

Pesan berharga yang bisa diambil dari buku ini adalah seberat apapun hidup seseorang dalam kondisi keterbatasan tidak lantas dijadikan alasan bahwa orang itu tak bisa berpikir kreatif dan produktif. Sebaliknya, dalam situasi serba kepepet, biasanya ide kreatif dan langkah produktif menuju kesuksesan kerap kali hadir. Mursidi telah membuktikannya.

Laiknya buku memoar lain, memoar mantan penjual koran (jalanan) ini sudah selayaknya harus diapresiasi sekaligus dikritisi. Di satu sisi, buku ini patut diapresiasi karena ini adalah bukti riil capaian anak desa yang mampu mengubah nasibnya menjadi orang sukses. Tapi, di sisi lain memoar ini bukanlah akhir dari kisah perjalanan hidupnya. Menyitir kata Anas Urbaningrum, “ini barulah halaman pertama” dari kisah hidup Mursidi. Masih banyak ‘halaman-halaman’ lain yang harus ditulis Mursidi dalam kisah hidupnya.

Pendeknya, memoar ini barulah sebatas refleksi perjuangan Mursidi semasa kecil hingga kini menjadi penulis lepas dan wartawan di majalah Hidayah. Hidup itu terus bergerak. Pelbagai tantangan dan rintangan di depan semakin menyeruak. Pertanyaannya, manusia siap melawan rintangan itu atau harus terperosok karena rintangan?

Pertanyaannya lagi, apakah saat ini Mursidi sudah bisa dikatakan sebagai orang sukses? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu sangat sulit. Karena hakikat kesuksesan sejatinya bukan diukur dari seberapa banyak ilmu, harta, atau jabatan yang dipunyainya sekarang. Tapi, seberapa besarkah orang itu mampu memberikan manfaat bagi orang lain. Secara khusus, buku ini memang fokus membidik pasar para penulis pemula yang hendak serius menekuni olah kata. Tapi, buku ini juga layak dibaca siapapun yang hendak berniat mengubah nasib hidupnya menuju yang lebih baik.

*) Ammar Machmud, Penyuka novel, Alumnus IAIN Walisongo Semarang


Tidak ada komentar: