Resensi buku
Judul buku : NU dan Pancasila: Sejarah dan Peranan NU dalam Perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam Rangka Penerimaan Pancasila Sebagai Satu-satunya Asas
Penulis : Einar Martahan Sitompul
Penerbit : Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Cetakan : Kedua, 1996
Tebal buku : 271 halaman (termasuk indeks)
Dalam panggung sejarah nasional, peranan Nahdhatul Ulama (NU) yang dikenal sebagai organisasi sosial keagamaan atau jam`iyah keagamaan terbesar di Indonesia ini memang telah monorehkan konstribusi tidak sedikit bagi bangsa Indonesia. Organisasi Islam yang berdiri tahun 1926 ini bahkan dicatat memiliki andil besar dalam perjuangan kemerdekaan dan sejarah bangsa pasca-kemerdekaan. Organisasi ini tak hanya bergerak di bidang keagamaan, pendidikan dan sosial, tetapi dalam sejarahnya pernah memasuki kancah politik nasional. Pendek kata, NU menyimpan sejarah panjang dan penuh warna.
Keterlibatan dalam kancah politik praktis setelah memisahkan diri dari Masyumi –pada tahun 1952--, NU kemudian mengikuti pemilu 1955. NU yang memiliki anggota besar, ternyata berhasil meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Tetapi di era Orde Baru NU menggabungkan diri dengan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) pada tanggal 5 Januari 1973 karena desakan penguasa. Sempat mengikuti pemilu pada tahun 1977 dan 1982 (bersama PPP), akhirnya muktamar NU di Situbondo menjadikan NU “Kembali ke Khittah 1926” untuk tidak berpolitik praktis.
Tapi, eksistensi NU dalam spektrum yang luas seperti tidak pernah dapat ditepis. Dalam kancah politik, NU memiliki kekuatan atau posisi bargaining cukup kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maklum, NU merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia. NU memiliki kontribusi besar dalam penyusunan Pancasila dan UUD 1945. Sejarah mencatat pada tahun 1945, NU turut menerima dan merumuskan Pancasila dan UUD 1945 –konon dihadiri oleh KHA Wahid Hasyim, KH Masykur dan Zainul Arifin.
Sejarah NU –sebagai organisasi keagamaan—ketika berhadapan dengan negara, ternyata tidak sepenuhnya terjalin harmonis sepanjang masa. Dalam sejarah, ternyata NU dicatat pernah “berjuang” dalam majlis Konstituante mendirikan negara Islam dan di era pemerintahan Soeharto, NU ternyata tidak keberatan menerima Pancasila sebagai dasar negara. Ada apa di balik penerimaan NU terhadap Pancasila itu?
Buku NU dan Pancasila ini berusaha mengeksplorasi sejarah NU dalam rentang sejarah mulai dari latar belakang berdirinya organisasi NU, juga pergulatan NU dalam gelanggang perpolitikan nasional hingga sikap penerimaan NU terhadap asas Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di zaman pemerintahan Soekarno NU pernah berjuang mewujudkan negara Islam tetapi setelah tidak menemui titik terang kemudian Soekarno mengeluarkan Dekrit, NU tak keberatan menerima UUD 1945.
Lalu, di era Soeharto, penguasa bertangan dingin itu pun memaksakan semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas satu-satunya organisasi. NU sebagai organisasi keagamaan pun mau menerima keberadaan Pancasila. Perubahan sikap yang diperankan NU itu, tidak sedikit orang yang kemudian mengangap NU tidak konsisten. Padahal, di balik keputusan itu ada alasan dan pemikiran yang melatar belakangi sebuah keputusan tersebut.
Memang, pada tahun 1945, NU menerima adanya negara berideologi Pancasila, Itu karena NU melihat negara Indonesia dalam kategori negara yang tergolong dar sulh (negara damai atau sangga), bukan negara Islam dan tidak pula negara yang menentang Islam. NU menerima konteks Republik Indonesia sebagai dar sulh, sedang perjuangan di Konstitutante sebagai komitmen dar Islam, gagasan untuk mengaplikasikan syari`ah melalui legalisasi Undang-Undang Negara. Komitmen untuk mendirikan negara Islam, sewaktu NU bersama Masyumi berjuang di Majelis Konstituante 1958-1959 memang itu merupakan tuntutan atau perintah dari agama yang harus diikuti.
Tapi begitu jalan untuk mendirikan negara Islam itu menemui jalan buntu, dan sidang tidak menemukan titik terang. Di tengah kebuntuan itu, Soekarno mengeluarkan Dekrit presiden 5 Juli 1959 --membubarkan Konstituante bahkan menetapkan kembali UUD 1945 dan NU pun mendukung dekrit sekali pun dengan dekrit presiden itu praktis usulan negara Islam tersingkirkan jauh-jauh.
Alasan penerimaan itu, adalah dar sulh (negara damai) --mau tidak mau—harus diterima dengan sepenuh hati. Alasan tentang hal itu didasarkan kaidah fiqh, “ma la yudraku kulluh la yutraku julluh (apa yang tidak mungkin terwujud seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan yang terpenting (di dalamnya). Jadi, sedari awal memang cita-cita negara Islam yang diharapkan untuk berdiri tapi ketika jalan itu tidak berhasil, dan yang berdiri Republik Indonesia, kenyataan itu harus diterima yang penting di dalamnya –adanya negara yang memungkinkan melaksanakan ajaran agama (Islam) secara nyata.
Sejarah selanjutnya adalah ketika Soeharto berkuasa dan pada tahun 1983-1984, penguasa rezim Orba memaksakan Pancasila sebagai satu -satunya asas bagi organisasi politik dan organisasi kemasyrakatan. Kondisi ini menghadapkan NU sebagai organisasi besar umat Islam dihadapkan pada sebuah dilema. Tapi, untuk mengatasi permasalahan itu, NU tidak keberatan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dan sekaligus kembali ke khittah 1926 –sebagai organisasi keagamaan (jamaah diniyah)
Setidaknya, ada tiga alasan kenapa NU mau menerima Pancasila. Pertama, NU menerima Pancasila berdasarkan kekayinan bahwa Islam agama fitrah yang mengakui adanya nilai-nilai yang baik dalam masyarakat dan yang dapat disempurnakan melalui pendalaman agama. Kedua, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dilihat oleh NU sebagai hal yang sama dengan ajaran tauhid dalam Islam. Ketiga, kaum muslimin telah turut merumuskan Pancasila sebagai dasar negara sejak semula dan oleh sebab itu Pancasila itu adalah sah dan merupakan bentuk terakhir dalam perjuangan nasional.
Dengan itu, dapat disimpulkan NU adalah organisasi keagamaan yang fleksibel terhadap perbaikan dan perubahan. Tetapi satu hal yang bisa dicatat, bahwa keputusan yang diambil NU kembali ke khittah merupakan keputusan bijak apalagi di era sekarang ini, tidak sedikit orang yang berusaha menyeret NU untuk terlibat dalam arena politik. Padahal, keterlibatan NU dalam politik tak jarang menjadikan NU terkerangkeng dalam sebuah permainan politik yang tidak menyenangkan.
Tanpa terlibat politik, NU tetaplah merupakan jangkar kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Dalam sejarah, NU adalah kekuatan umat dan organisasi keagamaan yang mampu menjaga nilai-nilai persatuan dan kebangsaan. Karena itulah dalam kiprah NU selanutnya, harus diabdikan sepenuhnya kepada bangsa dan kontribusi NU terhadap bangsa ini akan diusahakan akan membangun kekuatan sosial untuk kemajuan rakyat dan umat Islam. ***
* ) Nur Mursidi, pemerhati dunia buku tinggal di Ciputat, Tangerang
Keterlibatan dalam kancah politik praktis setelah memisahkan diri dari Masyumi –pada tahun 1952--, NU kemudian mengikuti pemilu 1955. NU yang memiliki anggota besar, ternyata berhasil meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Tetapi di era Orde Baru NU menggabungkan diri dengan PPP (Partai Persatuan Pembangunan) pada tanggal 5 Januari 1973 karena desakan penguasa. Sempat mengikuti pemilu pada tahun 1977 dan 1982 (bersama PPP), akhirnya muktamar NU di Situbondo menjadikan NU “Kembali ke Khittah 1926” untuk tidak berpolitik praktis.
Tapi, eksistensi NU dalam spektrum yang luas seperti tidak pernah dapat ditepis. Dalam kancah politik, NU memiliki kekuatan atau posisi bargaining cukup kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maklum, NU merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia. NU memiliki kontribusi besar dalam penyusunan Pancasila dan UUD 1945. Sejarah mencatat pada tahun 1945, NU turut menerima dan merumuskan Pancasila dan UUD 1945 –konon dihadiri oleh KHA Wahid Hasyim, KH Masykur dan Zainul Arifin.
Sejarah NU –sebagai organisasi keagamaan—ketika berhadapan dengan negara, ternyata tidak sepenuhnya terjalin harmonis sepanjang masa. Dalam sejarah, ternyata NU dicatat pernah “berjuang” dalam majlis Konstituante mendirikan negara Islam dan di era pemerintahan Soeharto, NU ternyata tidak keberatan menerima Pancasila sebagai dasar negara. Ada apa di balik penerimaan NU terhadap Pancasila itu?
Buku NU dan Pancasila ini berusaha mengeksplorasi sejarah NU dalam rentang sejarah mulai dari latar belakang berdirinya organisasi NU, juga pergulatan NU dalam gelanggang perpolitikan nasional hingga sikap penerimaan NU terhadap asas Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di zaman pemerintahan Soekarno NU pernah berjuang mewujudkan negara Islam tetapi setelah tidak menemui titik terang kemudian Soekarno mengeluarkan Dekrit, NU tak keberatan menerima UUD 1945.
Lalu, di era Soeharto, penguasa bertangan dingin itu pun memaksakan semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas satu-satunya organisasi. NU sebagai organisasi keagamaan pun mau menerima keberadaan Pancasila. Perubahan sikap yang diperankan NU itu, tidak sedikit orang yang kemudian mengangap NU tidak konsisten. Padahal, di balik keputusan itu ada alasan dan pemikiran yang melatar belakangi sebuah keputusan tersebut.
Memang, pada tahun 1945, NU menerima adanya negara berideologi Pancasila, Itu karena NU melihat negara Indonesia dalam kategori negara yang tergolong dar sulh (negara damai atau sangga), bukan negara Islam dan tidak pula negara yang menentang Islam. NU menerima konteks Republik Indonesia sebagai dar sulh, sedang perjuangan di Konstitutante sebagai komitmen dar Islam, gagasan untuk mengaplikasikan syari`ah melalui legalisasi Undang-Undang Negara. Komitmen untuk mendirikan negara Islam, sewaktu NU bersama Masyumi berjuang di Majelis Konstituante 1958-1959 memang itu merupakan tuntutan atau perintah dari agama yang harus diikuti.
Tapi begitu jalan untuk mendirikan negara Islam itu menemui jalan buntu, dan sidang tidak menemukan titik terang. Di tengah kebuntuan itu, Soekarno mengeluarkan Dekrit presiden 5 Juli 1959 --membubarkan Konstituante bahkan menetapkan kembali UUD 1945 dan NU pun mendukung dekrit sekali pun dengan dekrit presiden itu praktis usulan negara Islam tersingkirkan jauh-jauh.
Alasan penerimaan itu, adalah dar sulh (negara damai) --mau tidak mau—harus diterima dengan sepenuh hati. Alasan tentang hal itu didasarkan kaidah fiqh, “ma la yudraku kulluh la yutraku julluh (apa yang tidak mungkin terwujud seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan yang terpenting (di dalamnya). Jadi, sedari awal memang cita-cita negara Islam yang diharapkan untuk berdiri tapi ketika jalan itu tidak berhasil, dan yang berdiri Republik Indonesia, kenyataan itu harus diterima yang penting di dalamnya –adanya negara yang memungkinkan melaksanakan ajaran agama (Islam) secara nyata.
Sejarah selanjutnya adalah ketika Soeharto berkuasa dan pada tahun 1983-1984, penguasa rezim Orba memaksakan Pancasila sebagai satu -satunya asas bagi organisasi politik dan organisasi kemasyrakatan. Kondisi ini menghadapkan NU sebagai organisasi besar umat Islam dihadapkan pada sebuah dilema. Tapi, untuk mengatasi permasalahan itu, NU tidak keberatan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dan sekaligus kembali ke khittah 1926 –sebagai organisasi keagamaan (jamaah diniyah)
Setidaknya, ada tiga alasan kenapa NU mau menerima Pancasila. Pertama, NU menerima Pancasila berdasarkan kekayinan bahwa Islam agama fitrah yang mengakui adanya nilai-nilai yang baik dalam masyarakat dan yang dapat disempurnakan melalui pendalaman agama. Kedua, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dilihat oleh NU sebagai hal yang sama dengan ajaran tauhid dalam Islam. Ketiga, kaum muslimin telah turut merumuskan Pancasila sebagai dasar negara sejak semula dan oleh sebab itu Pancasila itu adalah sah dan merupakan bentuk terakhir dalam perjuangan nasional.
Dengan itu, dapat disimpulkan NU adalah organisasi keagamaan yang fleksibel terhadap perbaikan dan perubahan. Tetapi satu hal yang bisa dicatat, bahwa keputusan yang diambil NU kembali ke khittah merupakan keputusan bijak apalagi di era sekarang ini, tidak sedikit orang yang berusaha menyeret NU untuk terlibat dalam arena politik. Padahal, keterlibatan NU dalam politik tak jarang menjadikan NU terkerangkeng dalam sebuah permainan politik yang tidak menyenangkan.
Tanpa terlibat politik, NU tetaplah merupakan jangkar kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Dalam sejarah, NU adalah kekuatan umat dan organisasi keagamaan yang mampu menjaga nilai-nilai persatuan dan kebangsaan. Karena itulah dalam kiprah NU selanutnya, harus diabdikan sepenuhnya kepada bangsa dan kontribusi NU terhadap bangsa ini akan diusahakan akan membangun kekuatan sosial untuk kemajuan rakyat dan umat Islam. ***
* ) Nur Mursidi, pemerhati dunia buku tinggal di Ciputat, Tangerang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar