resensi bini dimuat di Jurnal Nasional, Minggu 9 Mei 2010
Judul buku : Perahu Kertas
Penulis : Dee (Dewi Lestari)
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Agustus 2009
Tebal buku : 444 hal.
Harga : 69.000,-
BISA dihitung dengan jari, selebritis di negeri ini yang memiliki keahlian dalam menulis cerita. Jika ada, salah satu dari selebritis itu adalah Dee -nama pena dari Dewi Lestari. Bahkan dalam dunia kepenulisan, nama Dee tak dapat dipandang sebelah mata. Maklum, sedari awal menelurkan karya Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh kemudian disusul Supernova: Akar, Supernova: Petir, Filosofi Kopi, dan Rectoverso, kepiawaian Dee di jagat sastra tidak diragukan lagi. Karya-karya yang lahir dari ide dan imajinasi Dee dapat menjelma serupa magnet yang cukup ampuh menghipnotis perhatian pembaca.
Tak mustahil, kalau kekuatan magnet karya-karya Dee itu mampu mengantarkan Dee meraih prestasi dan penghargaan yang kian menjulangkan namanya. Dalam polling nasional "Penulis Perempuan Paling Dikenal Indonesia" tahun 2009 ini, Dee menduduki peringkat pertama. Selain itu, Dee pun dinobatkan sebagai Top 88 Most Influential Women in Indonesia (Globe Asia) dan juga meraih The Most Outstanding Woman 2009 (Kementerian Pembedayaan Perempuan & Kantor Berita Antara).
Memang, hampir semua karya yang dihasilkan pengarang kelahiran Bandung 20 Januari 1976 ini dapat dikata cukup serius. Dari awal berkiprah di jagat sastra, Dee menjejalkan ramuan pengetahuan sains, dan percikan filsafat dalam hampir semua kisah yang ia rangkai. Tapi seperti ingin melakukan terobosan baru, gaya khas Dee itu tak tertancap kuat dalam karya terbaru Dee yang berjudul Perahu Kertas ini. Dalam karya ini, Dee menulis dengan gaya pop --mengangkat tema cinta, dunia perkuliahan, anak-anak kampus dengan gaya bertutur anak muda yang konyol dan kocak tapi tetap membawa pembaca berpikir dan merenung.
Dee tetaplah Dee. Meski Dee menulis dengan gaya pop, tetap saja novel ini melindan dengan kisah yang unik. Sebuah kisah cinta yang tak biasa antara Kugy dan Keenan. Kugy yang mungil, tidak modis, berantakan dan dikenal sebagai pengkhayal -karena terobsesi ingin menjadi penulis dongeng- bertemu dengan Keenan yang cerdas, artistik dan memiliki jiwa seni --melukis. Keduanya bagai bumi dan langit.
Tapi di dasar lubuk hati, keduanya yang kebetulan kuliah sekampus itu seperti tak bisa berpaling. Saling mencinta. Keduanya pun bisa mengisi sudut ide untuk berkarya. Kugy bisa menulis dongeng sepenuh curahan jiwa dengan spirit cinta pada Keenan. Sebaliknya, Keenan bisa melukis sepenuh jiwa berkat kisah-kisah Kugy. Keduanya berjuang keras untuk merengkuh impian masing-masing. Tetapi, jalan terjal menghalangi mereka mengejar mimpi itu. Setelah lulus kuliah, Kugy menjalani hidup dengan pilihan praktis --jadi copy writer. Keenan yang tidak sempat lulus sebab memilih melukis ke Bali setelah ia bertengkar dengan sang ayah, akhirnya kembali mengikuti harapan sang ayah: mengurusi perusahaan trading milik ayahnya di saat sang ayah jatuh sakit.
Keduanya berpisah cukup lama. Kugy menjalin asmara dengan Remi, yang tak lain bos-nya di kantor. Keenan pun telah menambatkan hatinya pada gadis Bali, Luhde. Tetapi, bisikan cinta tak mampu dikekang dalam sebongkah hati. Bisikan cinta di hati Kugy dan Keenan pun tak bisa disembunyikan. Kugy tak perlu menulis keluh kesah dan perasaan cintanya kepada Neptunus di selembar kertas untuk kemudian dibentuk menjadi perahu kertas yang dihayutkan ke laut, selokan atau sungai.
Kisah cinta Kugy dan Keenan yang rumit itu dikisahkan Dee dengan berkelok dan cukup melankolis. Ada banyak kejutan, jejak penasaran, kekonyolan, kekecewaan bahkan rasa senang dalam hubungan kisah antar-tokoh dalam novel ini. Gabungan dari semua itu, disajikan Dee dengan kepiawaian yang gemilang dan dapat mengaduk emosi pembaca.
Di sisi lain, Dee seakan ingin meneguhkan pembaca untuk teguh menjadi diri sendiri sebagaimana yang diperankan Kugy dan Keenan -yang pada akhirnya jujur untuk membuka hati dan mengatakan cinta di lubuk hati masing-masing. Tidak salah, jika hembusan pesan yang disampaikan Dee tentang arti kejujuran, berani mengambil sikap dalam menjalani hidup dan jadi diri sendiri merupakan kekuatan yang menghipnotis para pembaca.
Naskah ini dulu pernah ditulis Dee pada tahun 1996 tapi teronggok jadi cerita yang tidak dipublikasikan. Setelah mati suri selama 11 tahun ini, Dee kemudian menulis ulang dalam waktu 55 hari. Dalam menulis kisah ini, tidak disangkal, Dee menggabungkan format cerbung dan komik drama serial. Kisah Perahu Kertas ini pun tampil dengan gaya Dee yang populer tapi tetap menghayutkan serupa perahu kertas yang hanyut dibawa arus air. Sebab kisah ini mampu menghanyutkan emosi pembaca. ***
*) N. Mursidi, cerpenis dan blogger buku, tinggal di Tangerang
Tak mustahil, kalau kekuatan magnet karya-karya Dee itu mampu mengantarkan Dee meraih prestasi dan penghargaan yang kian menjulangkan namanya. Dalam polling nasional "Penulis Perempuan Paling Dikenal Indonesia" tahun 2009 ini, Dee menduduki peringkat pertama. Selain itu, Dee pun dinobatkan sebagai Top 88 Most Influential Women in Indonesia (Globe Asia) dan juga meraih The Most Outstanding Woman 2009 (Kementerian Pembedayaan Perempuan & Kantor Berita Antara).
Memang, hampir semua karya yang dihasilkan pengarang kelahiran Bandung 20 Januari 1976 ini dapat dikata cukup serius. Dari awal berkiprah di jagat sastra, Dee menjejalkan ramuan pengetahuan sains, dan percikan filsafat dalam hampir semua kisah yang ia rangkai. Tapi seperti ingin melakukan terobosan baru, gaya khas Dee itu tak tertancap kuat dalam karya terbaru Dee yang berjudul Perahu Kertas ini. Dalam karya ini, Dee menulis dengan gaya pop --mengangkat tema cinta, dunia perkuliahan, anak-anak kampus dengan gaya bertutur anak muda yang konyol dan kocak tapi tetap membawa pembaca berpikir dan merenung.
Dee tetaplah Dee. Meski Dee menulis dengan gaya pop, tetap saja novel ini melindan dengan kisah yang unik. Sebuah kisah cinta yang tak biasa antara Kugy dan Keenan. Kugy yang mungil, tidak modis, berantakan dan dikenal sebagai pengkhayal -karena terobsesi ingin menjadi penulis dongeng- bertemu dengan Keenan yang cerdas, artistik dan memiliki jiwa seni --melukis. Keduanya bagai bumi dan langit.
Tapi di dasar lubuk hati, keduanya yang kebetulan kuliah sekampus itu seperti tak bisa berpaling. Saling mencinta. Keduanya pun bisa mengisi sudut ide untuk berkarya. Kugy bisa menulis dongeng sepenuh curahan jiwa dengan spirit cinta pada Keenan. Sebaliknya, Keenan bisa melukis sepenuh jiwa berkat kisah-kisah Kugy. Keduanya berjuang keras untuk merengkuh impian masing-masing. Tetapi, jalan terjal menghalangi mereka mengejar mimpi itu. Setelah lulus kuliah, Kugy menjalani hidup dengan pilihan praktis --jadi copy writer. Keenan yang tidak sempat lulus sebab memilih melukis ke Bali setelah ia bertengkar dengan sang ayah, akhirnya kembali mengikuti harapan sang ayah: mengurusi perusahaan trading milik ayahnya di saat sang ayah jatuh sakit.
Keduanya berpisah cukup lama. Kugy menjalin asmara dengan Remi, yang tak lain bos-nya di kantor. Keenan pun telah menambatkan hatinya pada gadis Bali, Luhde. Tetapi, bisikan cinta tak mampu dikekang dalam sebongkah hati. Bisikan cinta di hati Kugy dan Keenan pun tak bisa disembunyikan. Kugy tak perlu menulis keluh kesah dan perasaan cintanya kepada Neptunus di selembar kertas untuk kemudian dibentuk menjadi perahu kertas yang dihayutkan ke laut, selokan atau sungai.
Kisah cinta Kugy dan Keenan yang rumit itu dikisahkan Dee dengan berkelok dan cukup melankolis. Ada banyak kejutan, jejak penasaran, kekonyolan, kekecewaan bahkan rasa senang dalam hubungan kisah antar-tokoh dalam novel ini. Gabungan dari semua itu, disajikan Dee dengan kepiawaian yang gemilang dan dapat mengaduk emosi pembaca.
Di sisi lain, Dee seakan ingin meneguhkan pembaca untuk teguh menjadi diri sendiri sebagaimana yang diperankan Kugy dan Keenan -yang pada akhirnya jujur untuk membuka hati dan mengatakan cinta di lubuk hati masing-masing. Tidak salah, jika hembusan pesan yang disampaikan Dee tentang arti kejujuran, berani mengambil sikap dalam menjalani hidup dan jadi diri sendiri merupakan kekuatan yang menghipnotis para pembaca.
Naskah ini dulu pernah ditulis Dee pada tahun 1996 tapi teronggok jadi cerita yang tidak dipublikasikan. Setelah mati suri selama 11 tahun ini, Dee kemudian menulis ulang dalam waktu 55 hari. Dalam menulis kisah ini, tidak disangkal, Dee menggabungkan format cerbung dan komik drama serial. Kisah Perahu Kertas ini pun tampil dengan gaya Dee yang populer tapi tetap menghayutkan serupa perahu kertas yang hanyut dibawa arus air. Sebab kisah ini mampu menghanyutkan emosi pembaca. ***
*) N. Mursidi, cerpenis dan blogger buku, tinggal di Tangerang
7 komentar:
banyak yang bilang kecewa dengan karya Dee yang satu ini, tapi saya sendiri belum baca buku yang satu ini...reviewnya memberi cukup memberi gambaran isi buku
Resensi mantap. Keren.
coba di beli dulu kali yaa..
# penikmat: memang karya satu ini beda dengan karya2 dee sebelumnya, tetapi pasti py pangsa pasar dan konsumen sendiri --sebaiknya, anda membaca dl siapa tahu, prespektif anda stlh baca akan lain. selamat membaca
# ivan: thanks, sdh mampir baca
# jk tdk beli, minimal baca (pinjam dari perpus atau teman dekat, pinjam saya juga boleh). hahaha
aq dah baca ni buku...keren...ringan tp tetap bermakna...kykx bakal keren klo di buat film....
aku pengen baca...
tapi nabung dulu ah biar punya. hehe
maklum pelajar.
wah, sip jk pengen baca, ditunggu tabungannya ckp dulu. slmt menabung dan salam buku...
Posting Komentar