Resensi ini dimuat di Koran Jakarta, Senin 31 Mei 2010
Judul: The Last Shogun: Kisah Hidup Tokugawa Yoshinobu
Penulis : Ryotaro Shiba
Penerbit : Penerbit Kantera
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 352 hlm
Harga : Rp 49.900
TOKUGAWA Yoshinobu --gelar yang disematkan kepada Hitotsubashi Keiki yang dicatat sejarah sebagai shogun kelima belas-- mungkin dapat dikata tak beruntung sewaktu diangkat menjadi shogun. Yoshinobu yang memiliki banyak kelebihan dan dianggap sebagai reinkarnasi Ieyasu, sedari awal direncanakan akan menjadi ahli waris Iesada (Shogun ketiga belas). Tetapi, sejarah berkata lain. Iesada meninggal tiba-tiba. Sementara itu, Hitotsubashi Keiki belum diangkat sebagai pewaris tahta. Padahal, Iesada tidak memiliki keturunan. Iemochi, akhirnya yang diangkat menjadi Shogun keempat belas --waktu itu berusia dua belas tahun.
Iemochi berkuasa delapan tahun (1858-1866). Ia lemah, tak memiliki anak dan meninggal di usia muda menjadikan dewan keshogunan mendesak Hitotsubashi menjadi shogun (kelima belas). Tapi, ia diangkat menjadi Shogun pada waktu Jepang dalam keadaan bergolak. Bangsa asing --Amerika, Inggris dan Rusia-- tak henti-henti menuntut Jepang membuka diri dan tak menutup hubungan (perdagangan) dengan luar. Sementara pemerintahan otoriter yang dibangun Ieyasu telah hancur berkeping-keping. Rakyat dicekam suasana politik di tapuk dualisme kepemimpinan yang rapuh. Sedang peminpin klan --terlebih klan Satsumo dan Choshu-- berambisi menghancurkan keshogunan, melebur pemerintahan pada satu tapuk kepemimpinan di tangan kaisar.
Suasana politik yang tidak menguntungkan itu, membuat Yoshinobu dihadapkan dilema. Yoshinobu yang dilahirkan di Edo, tahun 1838, dari keturunan Mito --putra Tokugawa Nariaki- mewarisi darah anti bangsa asing. Padahal, dia sadar zaman sudah memasuki era modernisasi dan Jepang sudah seharusnya membuka diri. Ia tak menolak merestorasi kekaisaran.
Semula, ia berharap bisa meredam pemberontakan dengan cara perang --melawan Choshu. Tetapi, enam bulan kemudian cara kekerasan itu ia hentikan. Tapi pergolakan seperti tidak bisa dihentikan. Hingga akhirnya keadaan yang tak menguntungkan itu memucak, pada 1868, pasukan Satsuma dan Choshu berhasil menguasai kota Kyoto --dengan alasan ingin menyematkan kepemimpinan kaisar. Tidak cuma itu, pasukan Satsuma dan Choshu kemudian bergerak ke Edo menuntut Yoshinobu turun tahta. Pasukan Shogun tidak berkutik. Dalam dua pertempuan, pasukan shogun kalah dan terdesak mundur.
Tidak ada pilihan lain, Yoshinobu meninggalkan Edo dan melarikan diri ke Shizuoka. Pilihan itu diambil Yoshinobu, tak lain adalah untuk menghindari pertumpahan darah. Ia melepaskan jabatan sebagai shogun kelima belas. Sejak itu, dia dicatat sebagai shogun terakhir, karena setelah itu Jepang melakukan restorasi kekaisaran dan tidak lagi ada kepemimpinan di tangan shogun.
Buku karya Ryotaro Shiba, The Last Shogun ini, tidak semata-mata mengisahkan kehidupan Shogun terakhir Yoshinobu dari kehidupan masa kecil hingga jadi shogun yang dipaksa turun pada usia tiga puluh tahun, saat ia berkuasa belum genap dua tahun. Tetapi lebih dari itu, buku ini merupakan penjelajahan historikal Jepang dalam memasuki era modern. Di mata penulis, Yoshinobu tidak semata shogun terakhir, melainkan juga seorang lelaki yang tangguh, pintar, mampu mengambil keputusan dengan cepat walau kerap dalam keadaan tak menguntungkan. Berbeda dengan shogun pendahulunya, ia sadar bahwa Jepang dapat bertahan menjadi bangsa merdeka justru ketika Jepang menerima modernisasi dan perubahan. Kebesaran dan kemegahan Jepang sekarang ini, tak bisa dilepaskan dari pemikiran Yoshinobu -yang rela melepaskan jabatan Shogun dan menerima perubahan.
Memang Yoshinobu bisa dikatakan gagal memenuhi janji membawa tongkat keshogunan Tokugawa. Tetapi, di mata penulis buku ini, dia berhasil melakukan sebuah pekerjaan yang mustahil. Pasalnya, selama dua abad pemerintahan kaku di bawah leluhur Tokugawa membawa Jepang mengalami pasang surut dan berujung lambat (hal. 341). Yoshinobu telah melakukan revolusi kebudayaan modern di Jepang. Pantas kalau Ryotaro Shiba terpikat untuk menulis kisah kehidupan Yoshinobu.
Alhasil, buku karya penulis peraih anugerah Naoki (1959) dan anugerah Order of Culture (1993) ini pun sungguh memikat. Shiba berhasil mengungkap sosok Yoshinobu yang meninggal pada usia 76, pada 21 November 1913 dengan berimbang.
Iemochi berkuasa delapan tahun (1858-1866). Ia lemah, tak memiliki anak dan meninggal di usia muda menjadikan dewan keshogunan mendesak Hitotsubashi menjadi shogun (kelima belas). Tapi, ia diangkat menjadi Shogun pada waktu Jepang dalam keadaan bergolak. Bangsa asing --Amerika, Inggris dan Rusia-- tak henti-henti menuntut Jepang membuka diri dan tak menutup hubungan (perdagangan) dengan luar. Sementara pemerintahan otoriter yang dibangun Ieyasu telah hancur berkeping-keping. Rakyat dicekam suasana politik di tapuk dualisme kepemimpinan yang rapuh. Sedang peminpin klan --terlebih klan Satsumo dan Choshu-- berambisi menghancurkan keshogunan, melebur pemerintahan pada satu tapuk kepemimpinan di tangan kaisar.
Suasana politik yang tidak menguntungkan itu, membuat Yoshinobu dihadapkan dilema. Yoshinobu yang dilahirkan di Edo, tahun 1838, dari keturunan Mito --putra Tokugawa Nariaki- mewarisi darah anti bangsa asing. Padahal, dia sadar zaman sudah memasuki era modernisasi dan Jepang sudah seharusnya membuka diri. Ia tak menolak merestorasi kekaisaran.
Semula, ia berharap bisa meredam pemberontakan dengan cara perang --melawan Choshu. Tetapi, enam bulan kemudian cara kekerasan itu ia hentikan. Tapi pergolakan seperti tidak bisa dihentikan. Hingga akhirnya keadaan yang tak menguntungkan itu memucak, pada 1868, pasukan Satsuma dan Choshu berhasil menguasai kota Kyoto --dengan alasan ingin menyematkan kepemimpinan kaisar. Tidak cuma itu, pasukan Satsuma dan Choshu kemudian bergerak ke Edo menuntut Yoshinobu turun tahta. Pasukan Shogun tidak berkutik. Dalam dua pertempuan, pasukan shogun kalah dan terdesak mundur.
Tidak ada pilihan lain, Yoshinobu meninggalkan Edo dan melarikan diri ke Shizuoka. Pilihan itu diambil Yoshinobu, tak lain adalah untuk menghindari pertumpahan darah. Ia melepaskan jabatan sebagai shogun kelima belas. Sejak itu, dia dicatat sebagai shogun terakhir, karena setelah itu Jepang melakukan restorasi kekaisaran dan tidak lagi ada kepemimpinan di tangan shogun.
Buku karya Ryotaro Shiba, The Last Shogun ini, tidak semata-mata mengisahkan kehidupan Shogun terakhir Yoshinobu dari kehidupan masa kecil hingga jadi shogun yang dipaksa turun pada usia tiga puluh tahun, saat ia berkuasa belum genap dua tahun. Tetapi lebih dari itu, buku ini merupakan penjelajahan historikal Jepang dalam memasuki era modern. Di mata penulis, Yoshinobu tidak semata shogun terakhir, melainkan juga seorang lelaki yang tangguh, pintar, mampu mengambil keputusan dengan cepat walau kerap dalam keadaan tak menguntungkan. Berbeda dengan shogun pendahulunya, ia sadar bahwa Jepang dapat bertahan menjadi bangsa merdeka justru ketika Jepang menerima modernisasi dan perubahan. Kebesaran dan kemegahan Jepang sekarang ini, tak bisa dilepaskan dari pemikiran Yoshinobu -yang rela melepaskan jabatan Shogun dan menerima perubahan.
Memang Yoshinobu bisa dikatakan gagal memenuhi janji membawa tongkat keshogunan Tokugawa. Tetapi, di mata penulis buku ini, dia berhasil melakukan sebuah pekerjaan yang mustahil. Pasalnya, selama dua abad pemerintahan kaku di bawah leluhur Tokugawa membawa Jepang mengalami pasang surut dan berujung lambat (hal. 341). Yoshinobu telah melakukan revolusi kebudayaan modern di Jepang. Pantas kalau Ryotaro Shiba terpikat untuk menulis kisah kehidupan Yoshinobu.
Alhasil, buku karya penulis peraih anugerah Naoki (1959) dan anugerah Order of Culture (1993) ini pun sungguh memikat. Shiba berhasil mengungkap sosok Yoshinobu yang meninggal pada usia 76, pada 21 November 1913 dengan berimbang.
*) N. Mursidi, blogger buku dan pemerhati dunia pustaka, tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar