Resensi ini dimuat di Koran Jakarta, Selasa 24 Agustus 2010
Judul buku : From Beirut to Jerusalem: Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan di Kamp Pengungsian Palestina
Penulis : dr. Ang Swee Chai
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Agustus, 2010
Tebal buku : 444 halaman
Harga : 59.000,- (diskon 15%) = 50.150,-
PALESTINA tak henti-henti dirundung duka. Serangkaian pembantaian yang dilakukan tentara Israel terhadap warga Palestina tak cuma meninggalkan duka lara, melainkan juga mengundang keprihatinan. Karena tak sedikit wanita dan anak-anak menjadi korban --meninggal, terluka, dan mengalami trauma berkepanjangan. Kepedihan rakyat Palestina itulah, yang "mengundang" orang-orang yang memiliki empati dan hati nurani kemudian tergerak hati datang ke Palestina untuk menjadi relawan dan dr. Ang Swee Chai adalah salah satunya.
Tetapi, dr Ang Swee Chai tidak hanya datang sebagai seorang dokter yang memberikan sumbangsih pengabdian (merawat dan berkorban dengan segala cara), melainkan juga berani memberikan kesaksian tentang apa yang dia lihat atas kebengisan Israel. Padahal, latar belakang religius Ang sebenarnya memihak Israel tapi tuntutan profesi dokter bedah membuatnya tak bisa berpaling. Awalnya, ketika datang permintaan pengiriman dokter bedah ke Beirut, ia segera memutuskan berangkat. Ia keluar dari RS London, meninggalkan suami (Francis), lalu memutuskan mengabdikan hidup di kamp pengungsian Palestina. Anehnya, setelah di kamp itu ia justru sadar. Ia balik memihak Palestina dan kemudian memberi kesaksian.
Buku ini adalah kesaksian dr. Ang, dokter perempuan yang telah merawat para korban perang dan melihat dari dekat kekejaman Israel di negeri Lebanon. Bulan Agustus 1982 dr. Ang meninggalkan London berangkat bersama 100 tenaga medis dari berbagai negara yang disponsori PRCS (Palestina Red Crescent Society). Setiba di Beirut, ia "tersentak" menjumpai kehancuran: 20.000 keluarga kehilangan rumah, rumah sakit rusak dan ia terpaksa merawat korban di rumah sakit darurat (Lahut). Hari pertama tugas, dr. Ang harus merawat 50 pasien bahkan menjalani operasi tanpa penerangan.
Beberapa hari kemudian, ia bertugas di rumah sakit Gaza. Anehnya, justru di kamp pengungsian Palestina (di Sabra dan Sathila) itu, dr. Ang disadarkan dengan keadaan yang bertolak belakang dengan apa yang ia peroleh dari media Barat tentang orang Pelestina. Sebelum berangkat ke Beirut ia memihak Israel. Tapi keadaan yang ditemui di kamp pengungsian membuatnya harus memihak keadilan. "Melihat orang yang terluka di Lebanon membuatku pedih. Pertama, karena mereka telah disakiti Israel. Kedua, aku orang Kristen dan ketiga, karena aku seorang dokter" (hal. 35).
Dari situ, ia memutuskan memihak Palestina. Ia berjuang demi rakyat Palestina yang terbuang (dari tanah air mereka) sejak tahun 1948. Karena itu, nurani dr Ang tak ingin pembantaian itu berlanjut. Dengan lantang ia (Paul Morris dan Ellen) lalu memberi "kesaksian" untuk membela Palestina di Komisi Kahen, di Tel Aviv sebelum dia pulang ke London November 1982.
Meski kesaksian itu tak membuat Palestina terbebas dari kekejaman, tapi jiwanya untuk memihak Palestina tidak surut. Setelah pulang ke London (1984), ia mendirikan organisasi amal medis MAP -Medical Aid for Palestina/bantuan Medis untuk Rakyat Palestina. Di bawah panji MAP, dr. Ang menyumbang obat-obatan. Pada 1985 kamp pengungsi Palestina (Bourj el-Brajneh) diserang dan dikepung (orang-orang Amal, kelompok Muslim Lebanon), ia berangkat ke Lebanon. Kepergian kali ini tak hanya bertugas sebagai dokter, tapi juga negosiator dan sopir yang mengangkut bantuan obat untuk rakyat Palestina.
Enam kali dr Ang ke Lebanon saat perang berkecamuk, berjuang untuk Palestina. Ia mendapat penghargaan Star of Palestina (1987) dari Yasser Arafat. The Gardian Inggris menjuluki Malaikat dengan Sayap Terbelenggu atas usaha pembebasan Pelestina itu. Sebagai pengungsi --yang lahir di Penang Malaysia- yang kini tinggal di Inggris, Ang merasakan nasib orang Palestina yang tidak punya negara. Karena itu upaya pembebasan dan kesaksian yang diberikan itu tak sekadar dukungan, juga harapan. Dari situ, dr. Ang memberi "titel" buku ini; From Beirut to Jerusalem.
Buku ini -seperti ditulis The Guardian- adalah kesaksian tentang pembantaian yang menukik. ***
*) N. Mursidi, blogger buku dan owner toko buku online etalasebuku.com
Tetapi, dr Ang Swee Chai tidak hanya datang sebagai seorang dokter yang memberikan sumbangsih pengabdian (merawat dan berkorban dengan segala cara), melainkan juga berani memberikan kesaksian tentang apa yang dia lihat atas kebengisan Israel. Padahal, latar belakang religius Ang sebenarnya memihak Israel tapi tuntutan profesi dokter bedah membuatnya tak bisa berpaling. Awalnya, ketika datang permintaan pengiriman dokter bedah ke Beirut, ia segera memutuskan berangkat. Ia keluar dari RS London, meninggalkan suami (Francis), lalu memutuskan mengabdikan hidup di kamp pengungsian Palestina. Anehnya, setelah di kamp itu ia justru sadar. Ia balik memihak Palestina dan kemudian memberi kesaksian.
Buku ini adalah kesaksian dr. Ang, dokter perempuan yang telah merawat para korban perang dan melihat dari dekat kekejaman Israel di negeri Lebanon. Bulan Agustus 1982 dr. Ang meninggalkan London berangkat bersama 100 tenaga medis dari berbagai negara yang disponsori PRCS (Palestina Red Crescent Society). Setiba di Beirut, ia "tersentak" menjumpai kehancuran: 20.000 keluarga kehilangan rumah, rumah sakit rusak dan ia terpaksa merawat korban di rumah sakit darurat (Lahut). Hari pertama tugas, dr. Ang harus merawat 50 pasien bahkan menjalani operasi tanpa penerangan.
Beberapa hari kemudian, ia bertugas di rumah sakit Gaza. Anehnya, justru di kamp pengungsian Palestina (di Sabra dan Sathila) itu, dr. Ang disadarkan dengan keadaan yang bertolak belakang dengan apa yang ia peroleh dari media Barat tentang orang Pelestina. Sebelum berangkat ke Beirut ia memihak Israel. Tapi keadaan yang ditemui di kamp pengungsian membuatnya harus memihak keadilan. "Melihat orang yang terluka di Lebanon membuatku pedih. Pertama, karena mereka telah disakiti Israel. Kedua, aku orang Kristen dan ketiga, karena aku seorang dokter" (hal. 35).
Dari situ, ia memutuskan memihak Palestina. Ia berjuang demi rakyat Palestina yang terbuang (dari tanah air mereka) sejak tahun 1948. Karena itu, nurani dr Ang tak ingin pembantaian itu berlanjut. Dengan lantang ia (Paul Morris dan Ellen) lalu memberi "kesaksian" untuk membela Palestina di Komisi Kahen, di Tel Aviv sebelum dia pulang ke London November 1982.
Meski kesaksian itu tak membuat Palestina terbebas dari kekejaman, tapi jiwanya untuk memihak Palestina tidak surut. Setelah pulang ke London (1984), ia mendirikan organisasi amal medis MAP -Medical Aid for Palestina/bantuan Medis untuk Rakyat Palestina. Di bawah panji MAP, dr. Ang menyumbang obat-obatan. Pada 1985 kamp pengungsi Palestina (Bourj el-Brajneh) diserang dan dikepung (orang-orang Amal, kelompok Muslim Lebanon), ia berangkat ke Lebanon. Kepergian kali ini tak hanya bertugas sebagai dokter, tapi juga negosiator dan sopir yang mengangkut bantuan obat untuk rakyat Palestina.
Enam kali dr Ang ke Lebanon saat perang berkecamuk, berjuang untuk Palestina. Ia mendapat penghargaan Star of Palestina (1987) dari Yasser Arafat. The Gardian Inggris menjuluki Malaikat dengan Sayap Terbelenggu atas usaha pembebasan Pelestina itu. Sebagai pengungsi --yang lahir di Penang Malaysia- yang kini tinggal di Inggris, Ang merasakan nasib orang Palestina yang tidak punya negara. Karena itu upaya pembebasan dan kesaksian yang diberikan itu tak sekadar dukungan, juga harapan. Dari situ, dr. Ang memberi "titel" buku ini; From Beirut to Jerusalem.
Buku ini -seperti ditulis The Guardian- adalah kesaksian tentang pembantaian yang menukik. ***
*) N. Mursidi, blogger buku dan owner toko buku online etalasebuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar