resensi buku ini dimuat di Bisnis Indonesia, Minggu 26 Juni 2011
Judul buku : Manajemen Pikiran dan Perasaan
Penulis : Ikhwan Sopa
Penerbit : Zaman, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2011
Tebal buku : 392 halaman
Harga : 65.000,00
TAK ada satu orang pun di dunia ini yang tak ingin hidupnya sukses. Dengan kata lain, ia bermimpi kelak ia dapat mewujudkan apa yang telah dicita-citakan. Tetapi, fakta berbicara lain: tak banyak orang yang bisa mewujudkannya. Konon, hanya dua persen orang yang bisa meraih apa yang ia impikan. Selebihnya: terpuruk dalam "kegagalan". Anehnya, dalam keterpurukan itu ia bukan bangkit, malah tak jarang terjerembab dalam relung atau lumpur pikiran negatif (pola pikir yang tidak kreatif) dan melukai diri sendiri. Akhirnya, dia pun tidak beranjak dari tempat keterpurukan itu, tetap menjalani hidup yang monoton dan berujung kisah (hanya) menjadi orang biasa.
Ia ingin meraih sukses, tapi ironisnya tidak melakukan perubahan (sikap, kebiasaan dan perilaku) ke arah kesuksesan. Padahal, siapa pun tahu bahwa untuk meraih "kesuksesan dan keberhasilan hidup" itu dibutuhkan seperangkat penataan sikap, keputusan dan tindakan. Tapi ironisnya, tangga itu kerap diabaikan. Cita-cita yang ingin diraih pun, tak pelak, kemudian hanya menjadi impian. Hal itu tidak lain, karena abai "menata" pola pikir dan pola rasa untuk bisa meneguhkan rangkaian perjalanan ke arah kesuksesan itu.
Padahal, sebagaimana ditegaskan Ikhwan Sopa dalam buku Manajemen Pikiran dan Perasaan, dua elemen itu --pola pikir dan pola rasa-- adalah dasar dari jalinan sikap, keputusan, dan tindakan yang justru dapat mendekatkan orang bisa meraih cita-cita dan apa yang ingin diwujudkan. Pola pikir dan pola rasa itu tidak saja memang saling berkelit kelindan, melainkan juga akan saling menguatkan demi meraih sebuah cita-cita. Sebab itu, penataan pola pikir dan pola rasa tak saja menjadi bagian penting melainkan jadi "resep jitu" dalam meraih keberhasilan. Penataan pola pikir dan pola rasa itu akan menjadi jalan setapak yang bisa dijadikan peta dalam menentukan sikap, keputusan dan tindakan ke arah kesuksesan.
Manusia adalah makhluk mulia (dibandingkan dengan makhluk yang lain), lantaran ia dianugerahi "akal" oleh Tuhan sebagai kekuatan. Maka, sangat disayangkan jika kekuatan anugerah itu tidak dimanfaatkan dengan baik dan tepat. Dengan akal, manusia bisa memilah dan memilih (menentukan mana yang benar dan tidak benar). Tapi, dengan mengandalkan kekuatan akal (yang ketika bertransformasi menjadi pikiran) semata, manusia bisa menjadi kaku, rigid dan kurang berperasaan. Karena itulah, kekuatan akal itu harus pula diimbangi --disinergikan-- dengan "kekuatan perasaan".
Sebaliknya, ketika kekuatan perasaan itu cukup dominan atau mengusai, seseorang akan dihimpit pada sikap impulsif, kompulsif, obsesif, bahkan kerap tak logis. Tak jarang, ketika seseorang sedang dilanda masalah cinta yang berujung menjadi patah hati, dia pun kerap diliputi perasaan sedih, dendam dan bahkan merasa rendah diri. Memang wajar manusia bisa dilanda sedih, tetapi jika perasaan itu mendominasi pikiran, maka tidak mustahil akan berujung pada sikap dan tindakan yang tak membangun melainkan kerap merusak diri sendiri. Padahal, dibutuhkan porsi yang wajar dan selayaknya.
Jadi, kuncinya adalah bisa menyeimbangkan antara pikiran dan perasaan dalam memilih. Karena jika pikiran dan perasaan mendominasi pilihan (melebihi dari porsinya) maka dalam menentukan pilihan, orang itu akan menjadi sosok yang bersikap patetik (merusak). Sementara itu, jika pilihan yang mendominasi kedua elemen itu sampai melebihi porsinya, bisa disimpulkan orang itu akan menjadi sosok yang dalam memilih bersikap apatis dan lemah. Tapi, jika ada keseimbangan dan mengambil jalan tengah, maka pikiran tergolong sehat sehingga kemudian mengacu kebenaran. Perasaan pun lebih cenderung ke arah kebaikan. Itulah porsi yang ideal bagi pikiran dan perasaan.
Dengan menyelaraskan atau menyeimbangkan pikiran dan perasaan, maka pikiran dan perasaan itu akan menjadi alat kehidupan dalam menguatkan pilihan. Dengan kemampuan membangun pola pikir dan pola rasa seperti itu, manusia akan menjadi pribadi yang tidak "dikuasi" oleh pilihan-pilihan dalam kehidupan ini melainkan juga akan mengantarkan manusia itu menjadi sosok merdeka. Pada akhirnya, dengan kemampuan menyeimbangkan pikiran dan perasaan itu, seseorang tidak saja akan bisa meraih keberhasilan, dan kesuksan bahkan bisa meraih kebahagiaan.
Secara sederhana, memang "konsepsi" manajemen pikiran dan perasaan yang diajukan oleh Ikhwan Sopa --yang dikenal sebagai praktisi manajemen pikiran dan perasaan di QA Communicatiun, motivator dan trainer ini-- mudah dipahami. Tetapi untuk bisa membangun kekuatan pola pikir dan pola rasa yang seimbang itu, jelas dibutuhkan latihan dan bahkan keseriusan. Apalagi, bagi pembaca yang selama bertahun-tahun dicekam dominiasi pikiran atau dominasi perasaan dalam menentukan pilihan. Tak pelak, jika buku akan menjadi semacam peta mujarab yang akan mampu mengantarkan pada sebuah perubahan. Sebab dengan kemampuan bisa mengorganisasikan pola pikir dan pola rasa, cita-cita pun bisa "lebih mudah diraih".
Lebih dari itu, buku ini menyuguhkan "segudang ramuan" dan resep rahasia kehidupan yang akan mengantarkan pembaca tidak saja bisa mengelola pikiran dan perasaan melainkan akan mampu menciptakan kesuksesan, keberhasilan dan kebahagian. Sebab dalam buku ini, ada 35 resep yang digali dari setumpuk rahasia kehidupan yang bisa menghalau pembaca terhindar dari tekanan, stres bahkan depresi. Dengan "mempraktekkan" apa yang disuntikkan penulis dalam buku ini, pembaca akan merasakan sebuah perubahan hidup; hidup yang tidak dikendalikan pola pikir dan pola rasa yang merusak, melainkan justru membangun. [ ]
*) N. Mursidi, cerpenis dan blogger buku, tinggal di Jakarta
Ia ingin meraih sukses, tapi ironisnya tidak melakukan perubahan (sikap, kebiasaan dan perilaku) ke arah kesuksesan. Padahal, siapa pun tahu bahwa untuk meraih "kesuksesan dan keberhasilan hidup" itu dibutuhkan seperangkat penataan sikap, keputusan dan tindakan. Tapi ironisnya, tangga itu kerap diabaikan. Cita-cita yang ingin diraih pun, tak pelak, kemudian hanya menjadi impian. Hal itu tidak lain, karena abai "menata" pola pikir dan pola rasa untuk bisa meneguhkan rangkaian perjalanan ke arah kesuksesan itu.
Padahal, sebagaimana ditegaskan Ikhwan Sopa dalam buku Manajemen Pikiran dan Perasaan, dua elemen itu --pola pikir dan pola rasa-- adalah dasar dari jalinan sikap, keputusan, dan tindakan yang justru dapat mendekatkan orang bisa meraih cita-cita dan apa yang ingin diwujudkan. Pola pikir dan pola rasa itu tidak saja memang saling berkelit kelindan, melainkan juga akan saling menguatkan demi meraih sebuah cita-cita. Sebab itu, penataan pola pikir dan pola rasa tak saja menjadi bagian penting melainkan jadi "resep jitu" dalam meraih keberhasilan. Penataan pola pikir dan pola rasa itu akan menjadi jalan setapak yang bisa dijadikan peta dalam menentukan sikap, keputusan dan tindakan ke arah kesuksesan.
Manusia adalah makhluk mulia (dibandingkan dengan makhluk yang lain), lantaran ia dianugerahi "akal" oleh Tuhan sebagai kekuatan. Maka, sangat disayangkan jika kekuatan anugerah itu tidak dimanfaatkan dengan baik dan tepat. Dengan akal, manusia bisa memilah dan memilih (menentukan mana yang benar dan tidak benar). Tapi, dengan mengandalkan kekuatan akal (yang ketika bertransformasi menjadi pikiran) semata, manusia bisa menjadi kaku, rigid dan kurang berperasaan. Karena itulah, kekuatan akal itu harus pula diimbangi --disinergikan-- dengan "kekuatan perasaan".
Sebaliknya, ketika kekuatan perasaan itu cukup dominan atau mengusai, seseorang akan dihimpit pada sikap impulsif, kompulsif, obsesif, bahkan kerap tak logis. Tak jarang, ketika seseorang sedang dilanda masalah cinta yang berujung menjadi patah hati, dia pun kerap diliputi perasaan sedih, dendam dan bahkan merasa rendah diri. Memang wajar manusia bisa dilanda sedih, tetapi jika perasaan itu mendominasi pikiran, maka tidak mustahil akan berujung pada sikap dan tindakan yang tak membangun melainkan kerap merusak diri sendiri. Padahal, dibutuhkan porsi yang wajar dan selayaknya.
Jadi, kuncinya adalah bisa menyeimbangkan antara pikiran dan perasaan dalam memilih. Karena jika pikiran dan perasaan mendominasi pilihan (melebihi dari porsinya) maka dalam menentukan pilihan, orang itu akan menjadi sosok yang bersikap patetik (merusak). Sementara itu, jika pilihan yang mendominasi kedua elemen itu sampai melebihi porsinya, bisa disimpulkan orang itu akan menjadi sosok yang dalam memilih bersikap apatis dan lemah. Tapi, jika ada keseimbangan dan mengambil jalan tengah, maka pikiran tergolong sehat sehingga kemudian mengacu kebenaran. Perasaan pun lebih cenderung ke arah kebaikan. Itulah porsi yang ideal bagi pikiran dan perasaan.
Dengan menyelaraskan atau menyeimbangkan pikiran dan perasaan, maka pikiran dan perasaan itu akan menjadi alat kehidupan dalam menguatkan pilihan. Dengan kemampuan membangun pola pikir dan pola rasa seperti itu, manusia akan menjadi pribadi yang tidak "dikuasi" oleh pilihan-pilihan dalam kehidupan ini melainkan juga akan mengantarkan manusia itu menjadi sosok merdeka. Pada akhirnya, dengan kemampuan menyeimbangkan pikiran dan perasaan itu, seseorang tidak saja akan bisa meraih keberhasilan, dan kesuksan bahkan bisa meraih kebahagiaan.
Secara sederhana, memang "konsepsi" manajemen pikiran dan perasaan yang diajukan oleh Ikhwan Sopa --yang dikenal sebagai praktisi manajemen pikiran dan perasaan di QA Communicatiun, motivator dan trainer ini-- mudah dipahami. Tetapi untuk bisa membangun kekuatan pola pikir dan pola rasa yang seimbang itu, jelas dibutuhkan latihan dan bahkan keseriusan. Apalagi, bagi pembaca yang selama bertahun-tahun dicekam dominiasi pikiran atau dominasi perasaan dalam menentukan pilihan. Tak pelak, jika buku akan menjadi semacam peta mujarab yang akan mampu mengantarkan pada sebuah perubahan. Sebab dengan kemampuan bisa mengorganisasikan pola pikir dan pola rasa, cita-cita pun bisa "lebih mudah diraih".
Lebih dari itu, buku ini menyuguhkan "segudang ramuan" dan resep rahasia kehidupan yang akan mengantarkan pembaca tidak saja bisa mengelola pikiran dan perasaan melainkan akan mampu menciptakan kesuksesan, keberhasilan dan kebahagian. Sebab dalam buku ini, ada 35 resep yang digali dari setumpuk rahasia kehidupan yang bisa menghalau pembaca terhindar dari tekanan, stres bahkan depresi. Dengan "mempraktekkan" apa yang disuntikkan penulis dalam buku ini, pembaca akan merasakan sebuah perubahan hidup; hidup yang tidak dikendalikan pola pikir dan pola rasa yang merusak, melainkan justru membangun. [ ]
*) N. Mursidi, cerpenis dan blogger buku, tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar