resensi buku ini dimuat di Koran Jakarta, Selasa 28 Juni 2011
Judul buku : Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX
Penulis : Mohamad Roem dkk
Penerbit : Gramedia, Jakarta
Cetakan : 2011
Tebal buku: 504 halaman
Harga : Rp. 95.000,-
NYARIS tak ada raja yang punya tempat istimewa di hati rakyat sekaligus mampu melampaui wilayah kekuasaan di mana dia berkuasa. Jika ada, mungkin Sultan Hamengku Buwono IX bisa disebut perkecualian. Dia dikenal sebagai raja ("pewaris takhta"), dan pemegang gelar dalam deretan silsilah gemilang raja-raja Mataran. Tapi predikat itu masih belum cukup menggambarkan sosoknya. Karena pada sisi lain, dia dikenal pula sebagai pemimpin politik nasional yang pernah menduduki sederet jabatan menterang --di antara pernah jadi Menteri Negara, Menteri Pertahanan, Wakil Perdana Menteri, Menteri Koordinator Pembangunan, dan terakhir sebagai Wakil Presiden.
Meski dikenal sebagai raja, Sultan ternyata bukan sosok raja feodal. Justru di mata kolega dan orang-orang yang pernah dekat dengannya --sebagaimana diungkapkan kontributor dalam buku Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX ini-- mengenang (raja yang waktu kecil bernama Dorodjatun itu) sebagai pemimpin demokratis, patriot sejati, pribadi yang tegas, berani bahkan bertanggung jawab. Tak pelak, jika sederet jabatan tinggi dalam peta politik Indonesia pun pernah disandang, semata-mata lantaran diminta dan dia menjalankan "tugas dan kewajiban" itu demi panggilan jiwa untuk berbakti pada bangsa dan melayani rakyat.
Jiwa patriotisme Sultan memang tak diragukan. Saat pendudukan Jepang, dengan tegas Sultan berani menolak perintah. Hal itu berlaku juga sewaktu Belanda kembali menduduki Indonesia (agresi II), dengan lapang dada Sultan menyediakan kota Yogyakarta sebagai ibu kota. Bahkan pengaruh Sultan yang kuat di hati rakyat membuat Belanda tak mudah menduduki kembali Indonesia. Belanda pun menawari janji kekuasaan lebih luas --meliputi keluasan wilayah Jawa hingga Madura-- asal mau kooperatif. Tapi, Sultan dengan tegas menolak. Lebih dari itu, ketika rakyat dijepit kondisi pahit (saat agresi II), Sultan menguras dana pribadi untuk membayar gaji pegawai republik. Serangan Umum 1 Maret 1949 pun, ditengarai datang dari Sultan. Tak salah, kalau ada yang menyebut Sultan sebagai soko pendirian Republik Indonesia.
Selain itu, dia dikenal sebagai pemimpin yang suka menolong rakyat. Pernah, suatu hari Sultan mengendari jib dari Sleman dan di tengah jalan ada seorang wanita menghentikan mobilnya --berniat menumpang ke pasar Kranggan. Sultan berhenti, menaikkan dagangan milik wanita itu ke mobil dan mengantarkan. Sesampai di pasar Kranggan, Sultan menurunkan dagangan dan wanita itu pun berniat memberi ongkos. Tetapi Sultan menolak. Konon, setelah Sultan pergi dan wanita itu tahu bahwa orang yang membantunya itu tidak lain adalah Sultan, dia pun pingsan.
Sejuta "kesan dan kenangan" tentang sosok Sultan dan bahkan sepenggal kisah yang pernah dialami oleh orang-orang dekat Sultan --para kontributor dalam buku ini seperti Mohammad Roem, TB Simatupang, TK Critchley, A.H Nasution, Mohammad Natsir dan masih banyak lagi itulah yang dirangkum dalam buku ini. Tak berlebihan jika sosok Sultan seperti kenangan yang teringat dalam ingatan. Itu tak lain karena Sultan memang dikenal sebagai "Seorang Patriot yang Unik" (oleh T.K. Critchley), "Negarawan Berwibawa Tanpa Pamrih" (Fran Seda), "Seorang Nasionalis Sejati" (J.H. Ritman), dan "Seorang Patriot Teladan" (Sjafruddin Prawiranegara).
Meski buku ini adalah buku biografi atau semi-biografi, tetapi tak bisa dimungkiri bahwa buku ini merupakan catatan sejarah penting dari perjalanan hidup Sultan Hamengku Buwono IX sekaligus sepenggal sejarah tentang Indonesia. Karena dari rentetan kisah hidup Sultan, "bermukim" secuil urat sejarah Indonesia.
*) N. Mursidi, alumnus Filsafat UIN, Yogyakarta
Meski dikenal sebagai raja, Sultan ternyata bukan sosok raja feodal. Justru di mata kolega dan orang-orang yang pernah dekat dengannya --sebagaimana diungkapkan kontributor dalam buku Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX ini-- mengenang (raja yang waktu kecil bernama Dorodjatun itu) sebagai pemimpin demokratis, patriot sejati, pribadi yang tegas, berani bahkan bertanggung jawab. Tak pelak, jika sederet jabatan tinggi dalam peta politik Indonesia pun pernah disandang, semata-mata lantaran diminta dan dia menjalankan "tugas dan kewajiban" itu demi panggilan jiwa untuk berbakti pada bangsa dan melayani rakyat.
Jiwa patriotisme Sultan memang tak diragukan. Saat pendudukan Jepang, dengan tegas Sultan berani menolak perintah. Hal itu berlaku juga sewaktu Belanda kembali menduduki Indonesia (agresi II), dengan lapang dada Sultan menyediakan kota Yogyakarta sebagai ibu kota. Bahkan pengaruh Sultan yang kuat di hati rakyat membuat Belanda tak mudah menduduki kembali Indonesia. Belanda pun menawari janji kekuasaan lebih luas --meliputi keluasan wilayah Jawa hingga Madura-- asal mau kooperatif. Tapi, Sultan dengan tegas menolak. Lebih dari itu, ketika rakyat dijepit kondisi pahit (saat agresi II), Sultan menguras dana pribadi untuk membayar gaji pegawai republik. Serangan Umum 1 Maret 1949 pun, ditengarai datang dari Sultan. Tak salah, kalau ada yang menyebut Sultan sebagai soko pendirian Republik Indonesia.
Selain itu, dia dikenal sebagai pemimpin yang suka menolong rakyat. Pernah, suatu hari Sultan mengendari jib dari Sleman dan di tengah jalan ada seorang wanita menghentikan mobilnya --berniat menumpang ke pasar Kranggan. Sultan berhenti, menaikkan dagangan milik wanita itu ke mobil dan mengantarkan. Sesampai di pasar Kranggan, Sultan menurunkan dagangan dan wanita itu pun berniat memberi ongkos. Tetapi Sultan menolak. Konon, setelah Sultan pergi dan wanita itu tahu bahwa orang yang membantunya itu tidak lain adalah Sultan, dia pun pingsan.
Sejuta "kesan dan kenangan" tentang sosok Sultan dan bahkan sepenggal kisah yang pernah dialami oleh orang-orang dekat Sultan --para kontributor dalam buku ini seperti Mohammad Roem, TB Simatupang, TK Critchley, A.H Nasution, Mohammad Natsir dan masih banyak lagi itulah yang dirangkum dalam buku ini. Tak berlebihan jika sosok Sultan seperti kenangan yang teringat dalam ingatan. Itu tak lain karena Sultan memang dikenal sebagai "Seorang Patriot yang Unik" (oleh T.K. Critchley), "Negarawan Berwibawa Tanpa Pamrih" (Fran Seda), "Seorang Nasionalis Sejati" (J.H. Ritman), dan "Seorang Patriot Teladan" (Sjafruddin Prawiranegara).
Meski buku ini adalah buku biografi atau semi-biografi, tetapi tak bisa dimungkiri bahwa buku ini merupakan catatan sejarah penting dari perjalanan hidup Sultan Hamengku Buwono IX sekaligus sepenggal sejarah tentang Indonesia. Karena dari rentetan kisah hidup Sultan, "bermukim" secuil urat sejarah Indonesia.
*) N. Mursidi, alumnus Filsafat UIN, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar