Aku --sebenarnya-- bukan siapa-siapa. Tidak ada yang istimewa. Tak ada yang patut dibanggakan. Dari SD sampai kuliah nyaris selalu digulung setumpuk kegagalan. Setelah lulus SD, tak bisa meraih impian bisa masuk sekolah SMP favorit. Ketika lulus SMP, kembali tak lagi bisa merengkuh mimpi bisa masuk SMA unggulan. Bahkan ketika lulus SMA, dua kali gagal masuk Perguruan Tinggi Negeri dan terpaksa harus menganggur selama dua tahun.
Rentetan kegagalan itu kerap membuatku serasa tersingkir di luar arena. Tidak jadi apa-apa. Tidak bisa mewujudkan apa yang selama ini menjadi harapan orangtua. Akhirnya, setelah nganggur dua tahun, aku pun diimpit sesak pikiran. Hidup di sebuah kampung kecil (di daerah Lasem, Rembang Jateng) membuatku dihantam badai kegelisahan. Apalagi, setelah tiga temanku sudah menentukan pilihan. Aku tersentak dan berpikir: kalau aku tinggal di kampung selamanya, pasti aku tak akan pernah bisa mengubah nasib. Aku kemudian memutuskan ke Yogyakarta. Di kota itulah, aku kuliah di Universitas swasta (Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa).
Tapi, harapan indah itu berubah jadi kenestapaan. Tepat sebulan di Yogya, tiba-tiba ayahku jatuh sakit dan kondisi itu memengaruhi keuangan keluargaku. Ada dua (2) pilihan yang saat itu harus aku ambil: aku tetap kuliah dengan modal nekat atau pulang kampung. Aku memilih tetap kuliah meski dengan terlunta-lunta. Jualan koran di jalanan, sempat tidak memiliki kost (terpaksa harus numpang kontrakan teman secara bergantian dan bergiliran), sempat tidur di jalanan (sering tidur di Malioboro dan alun-alun wetan), hidup "nomaden" dengan mengandalkan sepeda onthel.
Tetapi kehidupan di jalanan itu justru membuatku merasa benar menjalani kuliah yang sebenarnya. Apalagi, ketika aku tidak lagi mampu membayar biaya kuliah dan kemudian keluar. Dari sanalah, aku tersadar dan kemudian belajar menulis; "menulis dari jalanan". Sehabis jual koran, aku pergi ke perpustakaan Daerah (di Malioboro dan Jalan Tentara Rakyat Mataram) Yogyakarta dan malam hari belajar menulis. Di saat teman-temanku pergi kuliah, aku "kuliah di jalan". Rupanya, semua itu menjadi modal bagiku untuk bangkit dan bertekat mengubah nasib.
Hingga akhirnya, aku memutuskan mencari kampus yang murah. Tujuanku waktu itu, agar aku tidak disuruh pulang oleh ibuku. Maka, aku pun mendaftar kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebab, jika aku di Yogyakarta hanya jualan koran, pasti ibuku akan meminta untuk pulang. "Ngapain jauh-jauh ke Yogyakarta jika hanya jualan koran?" Itulah alasanku memilih kuliah lagi. Tapi, intinya, di jalanan itulah aku justru mendapatkan pelajaran dan mata kuliah kehidupan yang sejati. Aku berkumpul dengan pegadang asongan, anak jalanan, pengamen, pencopet, dan preman.
Kehidupan jalanan yang keras dan bahkan kejam itu justru meneguhkanku untuk kuat dan tidak ditikam putus asa ketika tulisanku tidak dimuat di koran. Aku yang semula menulis cerpen, belajar fotografi (untuk aku kirim ke koran) kemudian beralih menulis resensi. Rupanya, "jalan" lempang dari menulis resensi itu mengawali karierku di dunia menulis --meski untuk pertama kali karyaku yang dimuat sebenarnya adalah bidang fotografi.
Nyaris tak ada yang tahu kehidupanku di jalanan, kecuali hanya teman-teman dekatku. Wajar ketika beberapa tahun kemudian tulisanku sudah mulai sering dimuat, tidak ada penulis lain yang tahu jika aku memulai karier menulis dari jalanan. tak mustahil, ketika aku sudah pindah ke Jakarta dan kemudian Endah Sulwesi (yang ketika itu masih bekerja sebagai markom penerbit Serambi) mengundangku untuk bicara tentang dunia tulis menulis -bersama Ibu Leila S. Chudori dari Tempo- nyaris semua peserta terbelak kaget. Bahkan, Endah sendiri tak menyangka jika aku memulai karier menulis dari jalanan.
Sekitar tiga hari kemudian, ketika aku bertemu dengan Endah Sulwesi di stand Serambi (di acara Islamic Books Fair 2011), Endah berseloroh, "Tidak kusangka jika kisah hidupmu dalam dunia tulis menulis begitu menginspirasi."
Aku hanya menimpali dengan seulas senyum.
Ia kembali menjanjikan, "Teman-teman dari Goodreads Indonesia juga ingin mengundangmu. Semoga kau tidak keberatan jika suatu hari nanti diundang."
"Boleh. Tapi, sejujurnya aku tidak pernah berbicara di depan umum. Dan kemarin itu adalah pengalamanku pertama berbicara di depan umum."
Endah terkejut dengan pengakuanku itu. Hening menguar. Tetapi, tak kusangka, tiba-tiba Endah memecah keheningan. "Rasanya, sebentar lagi kamu akan diundang salah satu stasiun televisi. Kau akan masuk TV."
"Jika aku bisa masuk TV itu berarti semua ini bermula dari kebaikan Endah yang telah mengundangku jadi pembicara. Jadi kaulah orang yang berjasa. Karena kamu yang pertama mengawali untuk mengundangku."
Saat itu, aku menjawab dengan tanpa pretensi. Tetapi prediksi Endah ternyata menjadi kenyataan. Sekitar lima bulan kemudian, tiba-tiba Mas Dedi Prasetia menulis email kepadaku dan memintaku jadi narasumber di acara APA dan SIAPA di TVOne. Semula, aku merasa undangan itu hanyalah gurauan. Mana mungkin aku yang bukan siapa-siapa ini diundang untuk tampil di TVOne. Kendati demikian, dalam menjawab email itu aku memberikan nomor handphone-ku. Ketika itu, istriku sudah memasuki hari kelahiran. Maka, aku pun memesan tiket pulang (tanggal 18 Agustus 2011) ke kampung untuk menemani kelahiran istriku. Siang hari sebelum aku pulang, Mas Dedi Prasetia menghubungiku. Dia memintaku hadir di studio TVOne hari Senin, tanggal 22 Agustus 2011.
Tanpa berani menjanjikan, aku pun setengah hati menyanggupi --dengan catatan jika anakku belum lahir. Sampai hari Minggu, ternyata anakku belum lahir. Maka, esok harinya, tanggal 22 Agustus 2011 aku yang saat itu sudah berada di Demak diterbangkan oleh Mas Dedi Prasetai ke Jakarta. Malam itu, aku menjalani syuting --taping-- untuk acara Apa dan Siapa di studio TVOne. Syuting berjalan lancar, dan esoknya aku kembali diterbangkan ke Semarang. Rupanya, setibaku di Demak istriku masih belum melahirkan Padahal, perkiraan dokter anakku lahir tanggal 15 Agustus 2011. Akhirnya, tepat tanggal 27 Agustus 2011, anakku baru lahir. Jadi, syuting di acara Apa dan Siapa di TVOne itu sebenarnya berkah dari Tuhan untuk menyambut kelahiran anakku.
Kurang lebih tiga bulan kemudian, taping acara Apa dan Siapa itu ditayangkan, tepat pada hari Jum`at 18 November 2011 pukul 13.30-14.30 WIB. Dalam acara itu, aku diundang untuk dimintai bercerita tentang kehidupanku dulu sewaktu jadi anak jalanan dan proses perjuangan panjangku menjadi penulis. Maka titel untuk acara Apa dan Siapa itu diberi judul "Dari Jalanan Untuk Masa Depan". Semoga tayangan itu memberi asupan energi dan "inspirasi" bagi pemirsa untuk tetap optimis dengan apa pun keadaan yang dialami. Sebab Tuhan selalu mengulurkan tangan bagi hamba-Nya yang mau mengubah nasib.
Tayangan itu kupersembahkan kepada anakku; sebagai bekal menatap masa depan. Dan aku? Sampai kapan pun tetap bukan siapa-siapa. Aku hanya orang biasa.
Jakarta, 19 November 2011
10 komentar:
from zero to hero...*siipp mass..aq suka tulisan2 mas...salam kenal, n izin memblog roll
salam kenal kembali, silakan di-blog roll. salam kreatif dan sukses untuk anda
ruar biasa! tuhan memberkatimu. Inspiratif hehhehe...pengen ndelo tayangan ulange ki mas nur..nengendi toh mas?
tayang ulangnya kayaknya sdh lewat mas aris... hehehe, terima kasih sdh meninggalkan komentar di tulisan yg iseng2 ini
weh.... akunya kok ketinggalan ya, bos...
ada videonya g?
krn kang sungatno lg masa bertapa. hehehe, rekaman blm dpt dr TVone kang
Aku nonton acara itu mas. lgs aq cari Fbnya, n liat blognya Mas Nur. semangat Mas, betul2 menginspirasi saya untuk menulis lagi. Dulu waktu SMP n SMA suka sekali menulis, beberapa kali dimuat di media massa. Sayang potensi itu sekarang tergantikan oleh profesiku "Menjadi Penulis RESEP"
wassalam
fajarqimi.com
konsultasikesehatan.net
saya senang sekali jk wkt itu nonton dan bahkan meninggalkan komentar di blog ini, terima kasih ya. btw, sy hrs byk belajar nih, sbb saat SMP dan SMA anda sdh sering dimuat di media. salam sukses
from nothing jadi something maz mursidi..salam kenal ya..
salam kenal kembali
Posting Komentar