Tak peduli berapa banyak buku yang Anda baca dan diresensi? Tokoh kita ini pasti melakukannya lebih banyak lagi. Kira-kira begitulah kiprah Nur Mursidi, blogger buku, penulis cerpen, peresensi kawakan sekaligus penulis opini di berbagai media massa
Lelaki kelahiran Lasem, Rembang ini adalah alumnus jurusan Akidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Sekarang, masih bekerja sebagai penulis dan berkiprah pada sebuah media yang terbit di Jakarta. Sudah sedikit bertaubat dari Facebook, tapi masih bisa ditemui di Twiternya @n_mursidi atau di blognya Etalase Buku.
Untuk menambah khazah tentang perbukuan, yang kita tahu lewat buku yang kita baca itulah kita bisa mendapat pencerahan untuk kehidupan yang lebih baik lagi setelahnya, maka bincang-bincang dengan tokoh ini dirasa perlu. Berikut bincang ringannya dengan salah satu tim Wasathon.com:
Buku apa yang menurut Anda layak dibaca Presiden SBY, alasannya?
Sebenarnya banyak sekali buku yang layak dibaca SBY, terutama buku-buku tentang kisah para pemimpin yang hebat. Tetapi jika saya diminta pendapat, ada satu buku yang sangat cocok untuk dijadikan bacaan buat SBY, yakni buku The Swordless Samurai (Zahir Books, 2011).
Kenapa? Buku ini mengisahkan tentang kisah hidup Hideyoshi yang merintis karier dari bawah; anak petani miskin bahkan pernah jadi gelandangan, tidak pandai bermain pedang, tetapi bisa tampil dan menang; menjadi pemimpin Jepang (Wakil Kaisar). Tapi dari perjalanan hidupnya yang sengsara itu, ia tidak butuh pencitraan karena baginya pemimpin itu harus melayani – ini pas dengan rekam jejak SBY yang juga dari kalangan bawah.
Selain itu, Hideyoshi hidup pada zaman Jepang sedang kacau; Jepang sedang ditikam perang antar-klan. Tetapi, Hideyoshi bisa menyatukan Jepang. Rasanya, SBY harus banyak belajar dari Hideyoshi yang cerdas dapat menyatukan Jepang. Dengan kata lain, SBY setidaknya harus belajar dari Hideyoshi bagaimana merangkul partai-partai, bukan dijadikan sebagai koalisi yang diperuntukkan untuk membebek tetapi dijadikan sebagai mitra.
Bagaimana cara terbaik mencintai buku?
Cara terbaik mencintai buku, bagi saya adalah menjadikan buku itu tak ubah seperti kekasih. Jika orang yang sedang kasmaran ke mana-mana membawa atau mengajak kekasihnya, maka orang yang mencintai buku itu ke mana-mana selalu membawa buku.
Sebagai peresensi buku yang sering diterbitkan di media cetak, bisa berbagi bagaimana caranya agar peresensi pemula juga bisa melakukan hal yang sama?
Gampang, asal ada kemauan dan mau belajar –tapi semua itu harus langsung dipraktekkan; diawali dengan menulis, dan mengirim ke koran. Jika ditolak, menulis dan menulis lagi, pasti lama-lama akan dimuat.
Menurut Anda, bagaimana kondisi industri perbukuan tahun 2012 ini?
Tahun 2012 ini, bagi saya, adalah rentang waktu dari rentetan seleksi sejarah di dunia penerbitan. Artinya, tahun 2012 ini, banyak penerbit akan diuji sejauh mana kualitas dari buku-buku yang diterbitkan itu akan diterima pasar. Bagi penerbit yang tidak “jeli” dalam memilih buku yang akan diterbitkan, maka bisa gulung tikar. Tapi bagi penerbit yang jeli akan lolos ujian sejarah dan bisa menjadi tonggak masa depan bagi penerbitan di Indonesia.
Apa saran Anda bagi pecinta, pembaca sekaligus peresensi buku di tanah air?
Tak lekang untuk terus membaca. Karena dari buku, setiap orang bisa belajar banyak –bahkan saya mengibaratkan “buku itu ibarat mata yang bisa menuntun kita melihat dunia”.
Terakhir, sampai kapan Anda akan terus mencintai buku?
Sampai tutup usia. Tetapi, sebelum tutup usia, saya ingin meninggalkan buku -menulis sebuah buku sebagai warisan saya buat anak cucu yang kelak akan dikenang lebih dari sekadar uang atau harta benda macam apa pun. (Yons Achmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar