Oleh: Andi Sapto Nugroho, wartawan Jurnal Nasional
(dimuat di Jurnal Nasional, Kamis 14 Maret 2013)
NUR MURSIDI (38) suntuk dengan komentar teman-temannya di facebook, malam itu. Banyak yang mengapresiasi buku pertamanya terbit, Tidur Berbantal Koran (2013). Buku itu bukanlah sekedar novel, lebih tepatnya sebuah memoar tentang hidupnya hingga menembus jagad perbukuan.
Mungkin tak banyak yang mengenal sosoknya. Tapi, namanya sudah merajalela di media nasional maupun daerah. Di jagad tulis-menulis, namanya terkenal lewat berbagai resensi buku, esai, puisi, dan cerita pendek.
Tak kaget bila bertandang ke kontrakannya, Jalan Ciliwung No 11 RT5/RW6, Condet, Cililitan Jakarta Timur, buku-buku berjejalan di rak. Ia jarang atau hampir dikatakan tak membeli buku-buku itu. Ia selalu mendapatkan kiriman dari berbagai penerbit atau meminta dikirimi buku untuk kemudian diresensi. Keprigelannya dalam meresensi adalah modal utama Mursidi mendapatkan kepercayaan dari penerbit.
Pada 2003, ia menulis sebanyak 56 artikel dalam berbagai genre yang dimuat dalam majalah atau koran. Itu adalah capaiannya tertinggi sejak mulai menulis pada1998. Sampai kini, “Tak kurang ada 300 tulisanku dimuat di koran lokal dan nasional. Mimpiku untuk bisa menjadi penulis akhirnya terwujud. Bahkan, berkat banyaknya tulisanku yang dimuat di koran, saya kemudian bisa menjadi wartawan,” tulis Mursidi dalam bukunya itu.
Lima tahun kemudian, ia menjadi juara pertama lomba blog buku (http://www.etalasebuku.blogspot.com), yang diadakan oleh IKAPI di Pesta Buku Jakarta 2008. Namanya pun melambung. Ia banyak diundang ke beberapa diskusi buku. Ia juga diundang sebagai narasumber dalam program acara “Apa dan Siapa TVOne” 2011 dalam tajuk “Dari Jalanan untuk Masa Depan“.
Jalan berliku dilalui Mursidi untuk akhirnya bisa menembus media dan menerbitkan buku. Perkenalannya dengan buku, ketika ia kuliah di Yogyakarta pada 1995.
Niat meneruskan kuliah, ia sempat tak diperbolehkan oleh orangtuanya, karena keterbatasan biaya. Orangtuanya hanyalah pedagang pakaian di pasar daerah Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Mursidi adalah anak kedua dari tiga bersaudara, tadinya diminta untuk meneruskan usaha bapaknya. Tapi, ia memberontak.
Pepatah Arab yang diperolehnya ketika mengaji adalah alasan ia ingin pergi dari kampungnya. “Jika ada seorang anak yang melanjutkan usaha orangtuanya, maka dia termasuk seorang anak yang tidak kreatif,” ceritanya dalam memoar itu.
“Saya tidak ingin menjadi anak yang tidak kreatif. Karena itu saya ingin mencari jalan dan pekerjaan lain.”
Tekadnya sudah bulat, orangtuanya pun melepasnya pergi ke Yogyakarta. Ia masuk jurusan ekonomi di Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa, yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Di situ, ia hanya sanggup bertahan satu semester. “Biaya kuliah tidak ada. Orangtua juga sudah jarang mengirim uang,” kata saat ditemui Jurnal Nasional dua pekan lalu.
Dengan kondisi seperti itu, ia terpaksa banting setir. Dunia kampus ia tinggalkan dan bergelut di jalanan. Ia berjualan koran sejak pagi hari. Pada 1995, harga koran masih Rp200 per eksemplar dan ia mendapatkan untung Rp100. Saat itu, ia terpaksa berbohong kepada ibunya. Ia mengaku cuti kuliah, padahal syarat cuti, harus sudah mengikuti kuliah selama dua semester.
Tapi, tahun berikutnya ia memutuskan kuliah kembali di IAIN Yogyakarta. Selama masa “cuti”, ia mengumpulkan uang untuk bertahan hidup di perantauan. Ia sama sekali tak memikirkan kuliah. Ia berkenalan dengan kehidupan Malioboro. Hidupnya nomaden dengan berbekal sepeda onthel milik ayahnya. Ia sering iri ada mahasiswa yang bisa menulis di koran. Makanya, ia bertekad namanya bisa dicetak di kolom artikel.
Ia belajar menulis tiap malam dengan mesin ketik yang dibeli dari temannya seharga Rp35.000. Tulisan pertamanya dimuat di Kedaulatan Rakyat pada 1 November 1998, yaitu resensi berjudul “Potret Yogya Sehari-Semalam“. Sejak itulah, kemudian nama-namanya menghiasi sejumlah koran.
Dalam memoar itu, ia banyak mengisahkan tentang lika-liku, kehidupan jalanan. Bagaimana ia mengenal copet, tukang becak hobi baca koran, preman jalanan, dan lainnya. Juga, beberapa tip menulis di koran.
Mursidi tak menyangka banyak respon positif terhadap buku memoarnya itu. “Dulu, saya merasa pengalaman hidup saya itu tidak berharga dan tidak penting. Biasa!,” katanya.
“Tapi, tidak saya sangka, ternyata ada penerbit yang berminat dan meminta saya untuk menulis pengalaman hidup saya itu,” ia menambahkan.
Ia merampungkan tulisan itu selama sebulan pada 2010. Proses terbitnya pun tak semulus dugaan awal. Ketika diterima di Penerbit Elex Media pada Agustus 2011, naskah tersebut bakal terbit pada 2012. “Saya merasa dapat angin surga…tetapi setelah saya tunggu-tunggu ternyata tidak ada kabar lagi,” katanya.
Ia pun mengirim surat elektronik ke editor yang bersangkutan tapi ia tak mendapatkan balasan. Sampai akhirnya, ia tahu bahwa editor bukunya tersebut sudah meninggal. “Saat itu, saya benar-benar terperanjat kaget, tatkala pada pertengahan bulan Juni 2012, saya membaca status seorang teman di facebook yang menulis berita bela sungkawa,” katanya.
“Dan orang yang ditulis meninggal itu, tidak salah lagi adalah editor, yang saya titipi naskah buku ‘Tidur Berbantal Koran’.”
“Saya benar-benar merasa kehilangan, dan sedih-meski pun saya belum pernah sekali pun bertemu dan berbicara melalui telepon dengan editor tersebut. Saya pun teringat, lalu bagaimana dengan naskah saya?”
Di tengah ketidakjelasan itu, ia berencana menerbitkan buku sendiri dengan dibantu salah seorang teman percetakan. Tapi jani temannya itu tak kunjung datang. “Saya pun pasrah dan berusaha melupakan naskah itu. Saya berusaha melupakan hingga selupa-lupanya,” katanya.
Memang rejeki Tuhan itu selalu datang pada saat tiba-tiba. Ia lalu menerima sebuah surel dari Elex Media bahwa naskahnya sudah diedit dan siap terbit.
Bagaimana perasaannya setelah buku terbit? “Campur aduk. Seperti menunggu kelahiran anak yang lama tidak lahir, dan akhirnya lahir. Setengah terharu dan tidak percaya…,” katanya.
Meski buku tersebut dipersembahkan untuk ibundanya di Lasem — ayahnya sudah meninggal lebih dulu, tetapi sampai saat ini ibunya tidak tahu tentang memoarnya.
“Ibu saya adalah sosok tangguh yang tak perlu membaca buku ini, karena kisah ini adalah setitik dari genangan doa dan jerih payah beliau,” katanya.
Kenapa tidak perlu membaca? “Karena ibu saya sudah lama sakit mata, dan hampir tak bisa membaca. Jadi saya yang seharusnya membacakan buku ini untuk beliau,” katanya.
Ia sempat putus asa, ketika setahun belajar menulis tapi tak ada tulisan yang dimuat. Ia hampir putus asa dan kembali ke Lasem. Saat di rumah, ia seperti dibukakan mata oleh Tuhan untuk melihat perjuangan ibunya. “Pada sepertiga malam, ketika saya tidur dengan nyenyak, tiba-tiba saya mendengar namaku disebut oleh ibu, dan ia meminta Tuhan untuk memberikan jalan lempang bagi masa depanku,” katanya.
“Saat itu, saya menitikkan air mata. Saya yang merasa berjuang mati-matian, ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perjuangan ibu,” ia menambahkan.
Dari situlah, ia kemudian bertekad untuk terus bekerja keras menulis. Baginya, buku tersebut adalah jawaban dari banyak orang yang bertanya kepadanya tentang bagaimana belajar menulis.
“Tugas saya sebagai penulis hanyalah menulis, dan berusaha. Setelah itu, saya serahkan takdir: ke mana jodoh naskah itu akan terbit,” ujar wartawan majalah Hidayah itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar