....

Selasa, 16 September 2014

Jatuh Bangun Belajar Menjadi Seorang Penulis

Koran Jakarta, Selasa, 16 September 2014    

Judul   : Tidur Berbantal Koran
Penulis : N Mursidi
Penerbit: Elex Media
Tebal   : 243 halaman
Terbit    : 2014
ISBN       : 978-602-020-594-6

“Menulislah, apa pun, jangan pernah takut tulisanmu tidak dibica orang, yang penting tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna” (hal 229). Kutipan tersebut merupakan petikan tulisan seorang pujangga besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang mampu menyulutkan semangat penulis, N Mursidi. Dalam buku ini, dia menceritakan memoar pribadinya yang bertekad kuat menjadi seorang penulis.


Dia jeli menangkap setiap kesempatan yang mengubah jalan hidup. Selepas SMA, dia diminta ayahnya menggantikan berjualan kain di pasar tradisional di kota kecil Lasem, Jawa Tengah. Tetapi dia menolak karena ingin kuliah di Yogyakarta agar kelak bisa memperoleh pekerjaan layak. Keinginannya tersebut sempat diragukan orang tuanya mengingat sewaktu sekolah dia bukanlah termasuk siswa pandai. Setelah berusaha meyakinkan dan mendapat restu orang tuanya, berangkatlah dia ke Yogyakarta.

Kegagalan demi kegagalan sering kali menghampiri. Contoh dia gagal menembus perguruan tinggi negeri, akhirnya kuliah di swasta yang biayanya mahal. Belum genap sebulan sebagai mahasiswa, ayahnya sakit keras sehingga tidak dapat mengirim uang saku. Dia berusaha mencari pekerjaan untuk dapat bertahan hidup.

Tawaran sebagai penjual koran dia terima. Pagi-pagi dia bersepeda menuju agen untuk mengambil koran. Dia naik-turun bus, menjajakan koran agar cepat laku, sehingga masih memiliki cukup uang untuk ke kampus.

Semua orang layak menjadi guru dan tidak mengenal tempat. Ketika seorang tukang becak rela mengeluarkan uangnya untuk membeli koran, seolah mengajarinya untuk mau membaca setiap lembar koran. Loper jangan hanya menjual. Dia membaca berbagai rubrik di koran yang kerap diisi penulis lepas berstatus mahasiswa seperti dirinya.

“Setiap selesai membaca tulisan-tulisan mahasiswa itu, otakku serasa mendidih bagai air yang dijerang di atas tungku,” katanya (hal 8). Sejak itu, dia bercita-cita menjadi penulis.

Setiap malam, ditemani mesin ketik tua, dia membuat cerpen. Tetapi lebih dari setahun, tulisannya tak ada yang dimuat. Karena belum memiliki penghasilan tambahan, dia pun sering dilanda kesulitan keuangan. Pahit-getirnya hidup kerap dia temui. Dia pernah harus merasakan hidup nomaden dengan sepeda onthelnya karena tidak mampu membayar sewa kos.

Di tengah kegalauannya, berbekal kamera bekas yang dibeli dari temannya, pria periang ini menjajal hobi barunya, fotografi. Sepekan kemudian, hasil jepretannya dimuat di koran lokal. Dari situ kepercayaan diri menulis cerpen kembali tumbuh. Tapi, lagi-lagi, karyanya belum ada yang menarik hati redaktur untuk dimuat.

Ketika temannya datang membawa sebuah novel untuk diresensi, penggemar fotografi tersebut mencobanya. Resensinya dimuat di koran lokal. Hingga kini sudah ratusan tulisan termuat di berbagai koran lokal maupun nasional sampai sebuah koran menjuluki “raja resensi”.

Ada juga tips agar sebuah karya dimuat di media cetak. Buku ini cocok sebagai tempat belajar para pembaca yang bercita-cita sebagai penulis.       Berkat kepiawaiannya menulis dalam berbagai genre, akhirnya sekarang penggemar resensi itu menjadi wartawan sebuah majalah. Kegigihan dan semangatnya untuk terus belajar menginspirasi bahwa setiap orang dapat meraih cita-cita jika gigih berjuang dan tidak pernah berputus asa.         

Diresensi Mia Cisadani, alumni Ekonomi Manajemen Universitas Diponegoro, Semarang

Tidak ada komentar: