Suatu lama, aku tidak naik bus kota. Tidak seperti 2-4 tahun yang lalu, tatkala aku menjalani masa-masa awal di kota Jakarta. Hampir setiap kali aku pergi ke suatu tempat, aku selalu naik bus kota --bermain ke rumah teman, liputan, melanglang buana yang tanpa tujuan atau sekedar iseng-iseng keluar dari kamar lalu pergi ke suatu tempat yang bisa membuatku tentram dan senang. Kepergian yang aku jalani di masa-masa itu, memang meninggalkan kenangan yang masih membekas cukup dalam.
Kini, setelah satu tahun berlalu dan aku sudah memiliki sepeda motor, kenangan menyesakkan ketika tidak dapat tempat duduk dan kenangan cukup menyenangkan ketika bus sepi sebab aku duduk di pojok jok; tidak lagi peduli dengan kemacetan karena aku sudah asik bergumul dengan buku yang aku baca. Kenangan yang terakhir itu, rupanya sudah tergumpal menjadi "kenangan dan pengalaman" yang nyaris susah aku temukan lagi --lantaran aku kerap dikejar waktu dan keinginan untuk "naik bus kota" nyaris tidak bisa aku jalani lagi. Itu tidak lain, aku kerap kali "butuh waktu cepat" untuk sampai ke tempat tujuan dan naik sepeda motor adalah jalan pintas yang harus aku tempuh.
Tetapi, belakangan ini aku benar-benar merindukan suasana seperti itu; aku bisa santai menjalani hidup, memanggul tas dengan beberapa buku yang aku bawa lalu naik bus kota ke kantor dan sewaktu pulang dari kantor aku naik bus kota lagi, mampir ke rumah teman sebelum kemudian tatkala malam aku pulang naik bus kota lagi. Dalam perjalanan naik bus kota menuju ke kantor, lalu naik bus kota lagi main ke rumah teman dan yang terakhir pulang lagi naik bus kota ke kontrakan itu, aku memiliki waktu untuk membaca buku di atas bus kota --meski waktu tersebut cukup pendek, dan dihinggapi suasana tak tenang. Setidaknya, dalam perjalanan pulang-pergi itu, aku bisa menghabiskan kira-kira setengah atau sepertiga dari buku yang aku baca dalam sepanjang perjalanan.
Sungguh, aku merindukan suasana seperti itu lagi. Apalagi, belakangan ini sudah tidak lagi punya banyak waktu untuk membaca buku. Nah jika kerinduanku pada suasana di masa lalu, ketika aku punya banyak waktu membaca di atas bus kota itu kini sudah raib, aku seperti dirundung duka. Tak mustahil, aku belakangan ini tidak lagi memiliki kerinduan untuk menulis resensi lagi. Padahal, kiriman buku dari penerbit dan teman-teman masih datang berhamburan. Sebagaimana di bulan-bulan yang lalu, di bulan Juni ini pun aku masih mendapatkan kiriman buku gratis yang cukup lumayan.
01. Buku Pintar: Merawat Kecantikan di Rumah, Windya Novita (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta)
02. A Cold Dark Place, Gregg Olsen (Dastan Books, Jakarta)
03. Footnotes: Hidup Tanpa Batas, Lena Maria (Dastan Books, Jakarta)
04. A is For Alibi, Jejak Kasus Sang Pengacara, Sue Grafton (Dastan Books, Jakarta)
05. The Blind Owl: Dunia Retak Sang Pecinta, Sadeeq Hedayat (Dastan Books, Jakarta)
06. The Gargoyle, Andrew Davidson (Kantera, Jakarta)
07. 99 Web Penghasil Duit di Internet, Rizky Hardiana (Daras Books, Jakarta)
08. Kiamat Ekonomi Global!, David M. Smick (Daras Books, Jakarta)
09. Buffet: The making of an American Capitalist, Roger Lowenstein (Redline Publishing, Jakarta)
10. Jealousy Junkie, Carrie Bright (Mahdabook, Jakarta)
11. Isildir, Brian K Crawford (Edelwiss, Jakarta)
Memang, aku akan tiba pada suatu masa di mana aku akan kehilangan sebuah kenangan. Dan sekarang ini, aku benar-benar kehilangan suasana naik bus kota seraya membaca buku. Suasana itu memang tidak cukup menyenangkan, tetapi bagiku, masa-masa itu bisa menjadi momentum keseriusan di tengah keramaian jalanan dan bus kota, karena di tengah keramaian itu aku masih bisa membaca buku. Sayang, semua itu kini tinggal kenangan. Ketika kenangan itu muncul dan menggedor-gedor memoriku, aku tiba-tiba rindu bus kota. Di atas bus itu, aku ingin duduk di bangku pojok paling belakang lalu membaca sebuah buku. Betapa asiknya dan menyenangkan!
Itulah kenangan membaca buku yang saat ini aku rindukan!
Ciputat, 30 Juni 2009
2 komentar:
..lha mendingan beli bus sendiri??
jk sdh py duit, nanti beli bus sendiri. hihihihi
Posting Komentar