resensi ini dimuat di duta masyarakat, Kamis 13/08/2009
Judul buku : Negara Pancasila; Jalan Kemaslahatan Berbangsa
Penulis : As`ad Said Ali
Penerbit : Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2009
Tebal buku : xxxii + 340 halaman
Sudah enam puluh empat tahun Indonesia merdeka. Tapi, negeri yang dibangun di atas pijakan jiwa, ruh dan keluhuran budi kebhinnekaan nusantara oleh para pendiri bangsa ini, seperti “kehilangan pegangan”. Memang, Indonesia sudah berkali-kali ganti rezim. Sayang, setiap rezim yang berkuasa seperti terjerumus dalam kubangan lumpur tafsir sepihak ketika menafsirkan Pancasila.
Kelahiran era reformasi yang diharapkan oleh banyak pihak bisa mengembalikan kemudi perjalanan sejarah bangsa Indonesia, ternyata tak seperti yang diharapkan. Elit politik kerap mengambil jalan pintas yang pragmatis dan Pancasila yang sudah dijadikan sebagai dasar negara pun kembali digugat. Di sisi lain, pertarungan ideologi dunia hadir “mengepung” tanggul Pancasila yang sudah enam puluh empat tahun dijadikan sebagai ideologi. Padahal, Pancasila menyimpan energi dan kekuatan besar untuk mengantarkan bangsa Indonesia sebagai negara besar.
Di tengah kebimbangan bangsa Indonesia dalam memegang teguh dasar negara itu, As`ad Said Ali –lewat buku ini—ingin meneguhkan kembali akan kemudi perjalanan bangsa Indonesia untuk memeluk era-erat Pancasila sebagai kompas atau rambu-rambu dalam menyelenggarkan negara agar tidak melenceng dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah dijadikan sebagai kontrak sosial bersama sejak Indonesia merdeka.
Sebab di mata penulis buku ini, Pancasila merupakan “pilihan ideologi” yang pas buat Indonesia. Pancasila digagas para pendiri bangsa dengan semangat yang cemerlang karena hasil kesepakatan dari beberapa pilihan yang pas sebagai dasar negara. Pilihan itu pun bisa dikatakan tidak serampangan karena didasarkan karakter bangsa untuk jadi sebuah negara modern yang tidak sekuler dan juga tidak sebagai negara agama.
Tapi ruang terbuka untuk menafsirkan Pancasila itu seperti tak bisa menjejakkan kaki yang kuat dalam membawa “kemudi” bangsa Indonesia. Tarsir yang dilakukan oleh rezim berkuasa kerap terseret pada sebuah kepentingan. Pada paruh kedua tahun 1950-an misalnya, Pancasila menjadi simbol kelompok nasionalis. Kelompok Islam, sekali pun turut berperan merumuskan Pancasila, seakan tak berhak memilikinya. Bahkan sempat ada perselisihan gagasan dalam Konstituante. Kemudian Pancasila diambil alih negara. Pada era Demokrasi Terpimpin, Soekarno memonopoli tafsir dan meletakkan Pancasila sebagai “benda keramat”, di mana “Pancasila adalah “Azimat”.
Tidak beda jauh di era Soekarno, di masa Soeharto Pancasila kembali dijadikan sebagai “azimat” yang tak bisa diganggu gugat. Soeharto tidak memberi ruang tafsir lain di luar versi negara. Untuk mendukung ambisi tersebut, Soeharto kemudian menjadikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai satu-satunya tafsir resmi negara. Pancasila dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan Soeharto. Tak disangkal, jika ada yang menafsirkan Pancasila secara berbeda, pastilah dituding anti-Pancasila. Setelah Soeharto jatuh, Pancasila ironisnya dijadikan sebagai kambing hitam. Pancasila seakan identik dengan Orba.
Pancasila sudah semestinya dijadikan sebagai kompas, rambu-rambu atau filter budaya terhadap pengaruh dari luar. Tetapi, Pancasila yang cukup longgar memberikan ruang tafsir, ternyata ditafsirkan secara sepihak berdasarkan kepentingan politik jangka pendek oleh golongan tertentu. Tak pelak, saat Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai payung untuk bertindak represif, hal itupun kemudian berakibat fatal. Tatkala Orde baru tumbang, Pancasila yang menjadi kristalisasi dari setiap tindakan represif itu dianggap tumbang dan runtuh. Alhasil, rakyat seperti kehilangan pegangan.
Kondisi di atas, kian meneguhkan rakyat untuk “melupakan” Pancasila. Padahal, tindakan melupakan Pancasila akan membuat bangsa Indonesia kembali pada titik nol. Karena itu, melalui buku ini As`ad (yang menjadi Wakil Kepala BIN sejak tahun 2001) mengajak pembaca menyegarkan kembali pemahaman dan reposisi terhadap Pancasila. Bagi penulis, setidaknya ada beberapa hal penting yang bisa digarisbawahi dalam rangka menyegarkan kembali pemahaman dan reposisi terhadap Pancasila.
Pertama, Pancasila tak semestinya diperlakukan sebagai ideologi komprehensif seperti ideologi-ideologi besar dunia yang dapat mengatur semua hal, melainkan sebuah ideologi yang “belum jadi”. Tak salah, jika kemudian terbuka ruang tafsir dan karena itu Pancasila sebagai “ideologi terbuka”. Kedua, karena sebagai “ideologi terbuka” maka tak ada satu pun yang boleh melakukan hegemoni atau monopoli tafsir. Tidak ada pilihan lain, kecuali Pancasila harus dikembalikan pada posisi semula sebagai konsensus dasar atau kontrak sosial dari seluruh elemen masyarakat. Ketiga, Pancasila harus diletakkan sebagai ideologi dan dasar negara. Pancasila haruslah diletakkan dalam ruang publik, di mana setiap kelompok masyarakat dapat saling mengisi ataupun berinteraksi memenuhi kebutuhan kolektif berlandas kebangsaan kenegaraan. (hal. 311-312)
Dengan menyegarkan kembali pemahaman dan reposisi Pancasila sebagaimana digagas oleh para pendiri bangsa zaman kemerdekaan dulu, tidak ada harapan lain bagi penulis buku ini kecuali ingin menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang sesuai dengan karakter kebhinnekaan yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Apalagi, Pancasila lahir dari jiwa dan ruh kebangsaan. Tidak mustahil, ketika energi Pancasila itu dikelola dengan benar, tak pelak lagi; bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dan disegani.
Jika elite politik kita sadar dan kemudian mau memahami kembali pemahaman Pancasila sebagai ideologi dan dasar negera, kekuatan yang dikandung dalam butir-butir Pancasila itu tidak disangkal lagi merupakan sebuah energi besar yang bisa mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia. Karena pancaran dari Pancasila itu bisa menjadi semacam cita-cita bersama berbangsa dan bernegara yang siap menjadi penerang bagi seluruh rakyat Indonesia.
Buku setebal 340 halaman ini, selain menjelentrehkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, juga membahas dengan detail kaitan antara Pancasila dengan agama. Juga, menjelaskan sila-sila dari Pancasila, bahkan mendedahkan ancaman dari ideologi-ideologi lain yang lagi “mengepung” benteng Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia.
Benang merah yang bisa dipetik dari ulasan buku ini tak lain bahwa penulis ingin mengembalikan kemudi perjalanan bangsa Indonesia ke rel yang sejak awal digagas oleh para pendiri bangsa. Sebab itu, penulis mencoba menyegarkan kembali pemahaman dan reposisi Pancasila. Penulis berharap Pancasila kembali dijadikan kompas/rambu-rambu dalam menyelanggerakan negara, sehingga perjalanan bangsa “mengarungi” masa depan nanti tidak lagi kehilangan kendali.
*) Nur Mursidi, alumnus Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Kelahiran era reformasi yang diharapkan oleh banyak pihak bisa mengembalikan kemudi perjalanan sejarah bangsa Indonesia, ternyata tak seperti yang diharapkan. Elit politik kerap mengambil jalan pintas yang pragmatis dan Pancasila yang sudah dijadikan sebagai dasar negara pun kembali digugat. Di sisi lain, pertarungan ideologi dunia hadir “mengepung” tanggul Pancasila yang sudah enam puluh empat tahun dijadikan sebagai ideologi. Padahal, Pancasila menyimpan energi dan kekuatan besar untuk mengantarkan bangsa Indonesia sebagai negara besar.
Di tengah kebimbangan bangsa Indonesia dalam memegang teguh dasar negara itu, As`ad Said Ali –lewat buku ini—ingin meneguhkan kembali akan kemudi perjalanan bangsa Indonesia untuk memeluk era-erat Pancasila sebagai kompas atau rambu-rambu dalam menyelenggarkan negara agar tidak melenceng dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah dijadikan sebagai kontrak sosial bersama sejak Indonesia merdeka.
Sebab di mata penulis buku ini, Pancasila merupakan “pilihan ideologi” yang pas buat Indonesia. Pancasila digagas para pendiri bangsa dengan semangat yang cemerlang karena hasil kesepakatan dari beberapa pilihan yang pas sebagai dasar negara. Pilihan itu pun bisa dikatakan tidak serampangan karena didasarkan karakter bangsa untuk jadi sebuah negara modern yang tidak sekuler dan juga tidak sebagai negara agama.
Tapi ruang terbuka untuk menafsirkan Pancasila itu seperti tak bisa menjejakkan kaki yang kuat dalam membawa “kemudi” bangsa Indonesia. Tarsir yang dilakukan oleh rezim berkuasa kerap terseret pada sebuah kepentingan. Pada paruh kedua tahun 1950-an misalnya, Pancasila menjadi simbol kelompok nasionalis. Kelompok Islam, sekali pun turut berperan merumuskan Pancasila, seakan tak berhak memilikinya. Bahkan sempat ada perselisihan gagasan dalam Konstituante. Kemudian Pancasila diambil alih negara. Pada era Demokrasi Terpimpin, Soekarno memonopoli tafsir dan meletakkan Pancasila sebagai “benda keramat”, di mana “Pancasila adalah “Azimat”.
Tidak beda jauh di era Soekarno, di masa Soeharto Pancasila kembali dijadikan sebagai “azimat” yang tak bisa diganggu gugat. Soeharto tidak memberi ruang tafsir lain di luar versi negara. Untuk mendukung ambisi tersebut, Soeharto kemudian menjadikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai satu-satunya tafsir resmi negara. Pancasila dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan Soeharto. Tak disangkal, jika ada yang menafsirkan Pancasila secara berbeda, pastilah dituding anti-Pancasila. Setelah Soeharto jatuh, Pancasila ironisnya dijadikan sebagai kambing hitam. Pancasila seakan identik dengan Orba.
Pancasila sudah semestinya dijadikan sebagai kompas, rambu-rambu atau filter budaya terhadap pengaruh dari luar. Tetapi, Pancasila yang cukup longgar memberikan ruang tafsir, ternyata ditafsirkan secara sepihak berdasarkan kepentingan politik jangka pendek oleh golongan tertentu. Tak pelak, saat Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai payung untuk bertindak represif, hal itupun kemudian berakibat fatal. Tatkala Orde baru tumbang, Pancasila yang menjadi kristalisasi dari setiap tindakan represif itu dianggap tumbang dan runtuh. Alhasil, rakyat seperti kehilangan pegangan.
Kondisi di atas, kian meneguhkan rakyat untuk “melupakan” Pancasila. Padahal, tindakan melupakan Pancasila akan membuat bangsa Indonesia kembali pada titik nol. Karena itu, melalui buku ini As`ad (yang menjadi Wakil Kepala BIN sejak tahun 2001) mengajak pembaca menyegarkan kembali pemahaman dan reposisi terhadap Pancasila. Bagi penulis, setidaknya ada beberapa hal penting yang bisa digarisbawahi dalam rangka menyegarkan kembali pemahaman dan reposisi terhadap Pancasila.
Pertama, Pancasila tak semestinya diperlakukan sebagai ideologi komprehensif seperti ideologi-ideologi besar dunia yang dapat mengatur semua hal, melainkan sebuah ideologi yang “belum jadi”. Tak salah, jika kemudian terbuka ruang tafsir dan karena itu Pancasila sebagai “ideologi terbuka”. Kedua, karena sebagai “ideologi terbuka” maka tak ada satu pun yang boleh melakukan hegemoni atau monopoli tafsir. Tidak ada pilihan lain, kecuali Pancasila harus dikembalikan pada posisi semula sebagai konsensus dasar atau kontrak sosial dari seluruh elemen masyarakat. Ketiga, Pancasila harus diletakkan sebagai ideologi dan dasar negara. Pancasila haruslah diletakkan dalam ruang publik, di mana setiap kelompok masyarakat dapat saling mengisi ataupun berinteraksi memenuhi kebutuhan kolektif berlandas kebangsaan kenegaraan. (hal. 311-312)
Dengan menyegarkan kembali pemahaman dan reposisi Pancasila sebagaimana digagas oleh para pendiri bangsa zaman kemerdekaan dulu, tidak ada harapan lain bagi penulis buku ini kecuali ingin menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang sesuai dengan karakter kebhinnekaan yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Apalagi, Pancasila lahir dari jiwa dan ruh kebangsaan. Tidak mustahil, ketika energi Pancasila itu dikelola dengan benar, tak pelak lagi; bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar dan disegani.
Jika elite politik kita sadar dan kemudian mau memahami kembali pemahaman Pancasila sebagai ideologi dan dasar negera, kekuatan yang dikandung dalam butir-butir Pancasila itu tidak disangkal lagi merupakan sebuah energi besar yang bisa mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia. Karena pancaran dari Pancasila itu bisa menjadi semacam cita-cita bersama berbangsa dan bernegara yang siap menjadi penerang bagi seluruh rakyat Indonesia.
Buku setebal 340 halaman ini, selain menjelentrehkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, juga membahas dengan detail kaitan antara Pancasila dengan agama. Juga, menjelaskan sila-sila dari Pancasila, bahkan mendedahkan ancaman dari ideologi-ideologi lain yang lagi “mengepung” benteng Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia.
Benang merah yang bisa dipetik dari ulasan buku ini tak lain bahwa penulis ingin mengembalikan kemudi perjalanan bangsa Indonesia ke rel yang sejak awal digagas oleh para pendiri bangsa. Sebab itu, penulis mencoba menyegarkan kembali pemahaman dan reposisi Pancasila. Penulis berharap Pancasila kembali dijadikan kompas/rambu-rambu dalam menyelanggerakan negara, sehingga perjalanan bangsa “mengarungi” masa depan nanti tidak lagi kehilangan kendali.
*) Nur Mursidi, alumnus Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar