Teknologi internet diciptakan oleh manusia dengan satu tujuan; agar aktivitas hidup bisa dijalani dengan mudah. Tidak terkecuali dengan keberadaan email (singkatan dari elektronik mail). Sebelum adanya email, seseorang berkorespondensi memakan waktu cukup lama bahkan bisa berminggu-minggu, apalagi jika perangko yang dijadikan ongkos kirim itu tidak menggunakan jasa pengiriman prangko khusus. Tak mustahil, jika hal itu membutuhkan kesabaran.
Tetapi, e-mail hadir untuk memangkas waktu lama yang dibutuhkan dalam pengiriman jasa pos hanya dalam hitungan detik. Dengan email, orang bisa mengirim surat --bisa berupa tulisan atau teks yang disertai gambar-- dalam waktu cepat bahkan tidak membutuhkan kertas dan perangko, melainkan cukup mengetik melalui keyboad dan setelah dikirim, dalam hitungan detik sampai ke tempat tujuan meski jarak yang dikirimi email itu cukup jauh bahkan beda negara. Email pun kemudian menjadi sarana pengiriman surat yang paling murah dan tercepat di dunia.
Tapi bagi pengguna internet pemula dalam memanfaatkan jasa email, tak jarang menyisakan kenangan dan pengalaman pahit --yang mungkin tak akan terlupakan sampai kapan pun. Itulah pengalaman dan kenangan pertama yang aku alami ketika menggunakan email dalam pengiriman tulisan ke sejumlah media massa. Awal mula jadi penulis lepas di sejumlah media (pada tahun 1996), aku menggunakan jasa pengiriman lewat pos. Tetapi menginjak tahun 2000, hampir sebagian besar media massa tidak mau lagi menerima tulisan yang dikirim penulis dari luar menggunakan jasa pos mengingat pihak media nantinya mengetik ulang. Pendek kata, media (baca: sekretaris redaksi) menghendaki penulis lepas mengirim tulisan lewat email. Selain agar bisa cepat diterima juga pihak redaksi tidak perlu kerja dua kali untuk mengetik ulang.
Tiga Bulan Gigit Jari
Permintaan untuk mengirim tulisan lewat email itu, mau tak mau harus aku ikuti. Apalagi dari segi finasial aku merasa diuntungkan. Ada dua keuntungan yang aku dapatkan dengan pengiriman tulisan lewat e-mail itu. Pertama, tulisan yang aku kirim bisa cepat sampai hanya dalam waktu hitungan detik. Karena cepat sampai ke redaksi, tak mustahil kalau tulisanku dapat dimuat lebih cepat --jika dibandingkan dengan dikirim lewat pos. Kedua, lebih hemat biaya karena aku tak perlu membeli perangko, dan kertas. Maka, dengan bantuan seorang teman aku pun membuat email --karena waktu itu aku masih gagap teknologi.
Sayang, bayangan manis untuk dapat merengkuh keuntungan dengan fasilitas mengirim tulisan lewat email itu tak seperti yang aku harapkan. Tiga bulan pertama waktu aku mengirim tulisan lewat email itu, ternyata membuatku harus menelan pil pahit. Entah nyasar ke mana email yang aku kirim, yang jelas dalam rentang waktu tiga bulan pertama mengirim tulisan lewat email itu tidak membuahkan hasil. Aku hanya bisa gigit jari. Tidak satu pun tulisanku yang dimuat. Aku digelayuti bingung, hatiku resah dan jiwaku dicekam amarah.
Bagaimana bisa tulisanku tidak ada yang dimuat dalam rentang waktu tiga bulan? Padahal, di bulan-bulan sebelumnya aku selalu menjumpai tulisanku dimuat di media sekitar dua sampai empat tulisan. Lantas, nyasar ke mana tulisan yang aku kirim ke email redaksi itu? Apa pihak redaksi atau redaktur memang tidak menerima tulisan yang aku kirim lewat email itu?
Di tengah suasana kebingungan itu, akhirnya aku melakukan penelusuran. Usut punya usut, tulisan yang aku kirim lewat email, ternyata sebagian besar tak sampai ke meja redaksi. Hal itu aku ketahui setelah aku tanyakan ke redaktur bersangkutan. Hampir sebagian besar dari mereka mengatakan tak menerima tulisan yang aku kirim lewat email.
Ada dua hal yang membuat tulisanku tidak sampai ke meja redaktur. Pertama, di pihak redaksi juga belum ada koordinasi yang solid antara redaktur dengan sekretaris redaksi. Tak salah, tulisanku tak sampai ke meja redaksi. Hal itu bisa dimaklumi karena pengiriman lewat e-mail semacam itu masih "tergolong" baru dan butuh kerja sama antar-pihak, terutama pihak sekretaris redaksi dan redaktur. Bisa jadi, tulisanku terselip di antara tumpukan email yang masuk ke redaksi dan tidak sempat terbaca.
Kedua, tidak sedikit tulisan yang aku kirim ke email redaksi itu ternyata tidak terkirim, karena kesalahan kecil yang aku lakukan --aku salah menulis alamat email. Jadinya, tulisan yang aku kirim itu tidak sampai ke redaksi karena memang tidak terkirim semata-mata karena kesalahan atau kegagapanku dalam memanfaatkan teknologi internet.
Kesalahan Menuai Pengetahuan
Dua peristiwa itu, memang sempat membuatku "disergap" kecewa, marah dan hampir patah arang. Maklum, selama tiga bulan itu aku dirundung duka, tak dapat penghasilan dari menulis. Tak ada honor yang masuk ke rekeningku. Tapi, penjelasan redaktur pada satu pihak dan kesalahan yang telah kuperbuat itu, membuatku sadar bahwa kesalahan ternyata bisa menjadi pengalaman atau guru yang bisa berguna di kemudian hari. Apalagi, dengan kesalahan itu tidak sedikit redaktur media massa kemudian menyarakan kepadaku untuk mengirim tulisan langsung ke email mereka dan tidak perlu melewati pintu email redaksi.
Buah manis dari sebuah kesalahan akibat kejadian pahit itu sekarang bisa aku petik dengan gemilang. Sekarang, aku tak lagi dibuat pusing dan pening tujuh keliling, karena fasilitas email telah memberikan kemudahan dalam pengiriman tulisan. Aku tidak perlu lagi ngeprint tulisan, pergi ke kantor pos beli perangko untuk jasa pengiriman tulisan bahkan menunggu lama untuk memastikan apakah tulisanku itu sudah sampai ke meja redaksi atau belum? Karena fasilitas email telah memangkas rute berbelit itu dengan cepat dan mudah. Hal itu berbeda dengan masa-masa pengiriman tulisan lewat pos lantaran tak ada uang untuk membeli perangko, dulu tidak jarang tulisanku harus mengendap di komputer atau di meja kerjaku.
Kini pengalaman dan kenangan pahit sewaktu mengirim tulisan lewat email itu sudah berlalu. Sekarang, tulisanku dengan cepat bisa sampai ke tempat tujuan bahkan bisa cepat dimuat. Pernah, hanya dalam waktu dua hari tulisanku sudah dimuat.
Sebagaimana diungkapkan oleh Collin Powell, "Tak ada rahasia untuk menggapai sukses. Sukses itu dapat terjadi karena persiapan, kerja keras dan mau belajar dari kegagalan (bahkan kesalahan)." Dari pengalaman (pahit) pertama mengirim tulisan lewat email itu, aku sadar; bahwa sebuah kesalahan bukanlah satu hal yang tak bisa dipetik sebagai pelajaran cukup berharga, melainkan dari kesalahan itu kita bisa belajar untuk membenahi diri dan kemudian bisa menggenggam wawasan dan pengetahun. ***
cerita untuk Fitri
Ciputat, 25 Juli 2009
Tetapi, e-mail hadir untuk memangkas waktu lama yang dibutuhkan dalam pengiriman jasa pos hanya dalam hitungan detik. Dengan email, orang bisa mengirim surat --bisa berupa tulisan atau teks yang disertai gambar-- dalam waktu cepat bahkan tidak membutuhkan kertas dan perangko, melainkan cukup mengetik melalui keyboad dan setelah dikirim, dalam hitungan detik sampai ke tempat tujuan meski jarak yang dikirimi email itu cukup jauh bahkan beda negara. Email pun kemudian menjadi sarana pengiriman surat yang paling murah dan tercepat di dunia.
Tapi bagi pengguna internet pemula dalam memanfaatkan jasa email, tak jarang menyisakan kenangan dan pengalaman pahit --yang mungkin tak akan terlupakan sampai kapan pun. Itulah pengalaman dan kenangan pertama yang aku alami ketika menggunakan email dalam pengiriman tulisan ke sejumlah media massa. Awal mula jadi penulis lepas di sejumlah media (pada tahun 1996), aku menggunakan jasa pengiriman lewat pos. Tetapi menginjak tahun 2000, hampir sebagian besar media massa tidak mau lagi menerima tulisan yang dikirim penulis dari luar menggunakan jasa pos mengingat pihak media nantinya mengetik ulang. Pendek kata, media (baca: sekretaris redaksi) menghendaki penulis lepas mengirim tulisan lewat email. Selain agar bisa cepat diterima juga pihak redaksi tidak perlu kerja dua kali untuk mengetik ulang.
Tiga Bulan Gigit Jari
Permintaan untuk mengirim tulisan lewat email itu, mau tak mau harus aku ikuti. Apalagi dari segi finasial aku merasa diuntungkan. Ada dua keuntungan yang aku dapatkan dengan pengiriman tulisan lewat e-mail itu. Pertama, tulisan yang aku kirim bisa cepat sampai hanya dalam waktu hitungan detik. Karena cepat sampai ke redaksi, tak mustahil kalau tulisanku dapat dimuat lebih cepat --jika dibandingkan dengan dikirim lewat pos. Kedua, lebih hemat biaya karena aku tak perlu membeli perangko, dan kertas. Maka, dengan bantuan seorang teman aku pun membuat email --karena waktu itu aku masih gagap teknologi.
Sayang, bayangan manis untuk dapat merengkuh keuntungan dengan fasilitas mengirim tulisan lewat email itu tak seperti yang aku harapkan. Tiga bulan pertama waktu aku mengirim tulisan lewat email itu, ternyata membuatku harus menelan pil pahit. Entah nyasar ke mana email yang aku kirim, yang jelas dalam rentang waktu tiga bulan pertama mengirim tulisan lewat email itu tidak membuahkan hasil. Aku hanya bisa gigit jari. Tidak satu pun tulisanku yang dimuat. Aku digelayuti bingung, hatiku resah dan jiwaku dicekam amarah.
Bagaimana bisa tulisanku tidak ada yang dimuat dalam rentang waktu tiga bulan? Padahal, di bulan-bulan sebelumnya aku selalu menjumpai tulisanku dimuat di media sekitar dua sampai empat tulisan. Lantas, nyasar ke mana tulisan yang aku kirim ke email redaksi itu? Apa pihak redaksi atau redaktur memang tidak menerima tulisan yang aku kirim lewat email itu?
Di tengah suasana kebingungan itu, akhirnya aku melakukan penelusuran. Usut punya usut, tulisan yang aku kirim lewat email, ternyata sebagian besar tak sampai ke meja redaksi. Hal itu aku ketahui setelah aku tanyakan ke redaktur bersangkutan. Hampir sebagian besar dari mereka mengatakan tak menerima tulisan yang aku kirim lewat email.
Ada dua hal yang membuat tulisanku tidak sampai ke meja redaktur. Pertama, di pihak redaksi juga belum ada koordinasi yang solid antara redaktur dengan sekretaris redaksi. Tak salah, tulisanku tak sampai ke meja redaksi. Hal itu bisa dimaklumi karena pengiriman lewat e-mail semacam itu masih "tergolong" baru dan butuh kerja sama antar-pihak, terutama pihak sekretaris redaksi dan redaktur. Bisa jadi, tulisanku terselip di antara tumpukan email yang masuk ke redaksi dan tidak sempat terbaca.
Kedua, tidak sedikit tulisan yang aku kirim ke email redaksi itu ternyata tidak terkirim, karena kesalahan kecil yang aku lakukan --aku salah menulis alamat email. Jadinya, tulisan yang aku kirim itu tidak sampai ke redaksi karena memang tidak terkirim semata-mata karena kesalahan atau kegagapanku dalam memanfaatkan teknologi internet.
Kesalahan Menuai Pengetahuan
Dua peristiwa itu, memang sempat membuatku "disergap" kecewa, marah dan hampir patah arang. Maklum, selama tiga bulan itu aku dirundung duka, tak dapat penghasilan dari menulis. Tak ada honor yang masuk ke rekeningku. Tapi, penjelasan redaktur pada satu pihak dan kesalahan yang telah kuperbuat itu, membuatku sadar bahwa kesalahan ternyata bisa menjadi pengalaman atau guru yang bisa berguna di kemudian hari. Apalagi, dengan kesalahan itu tidak sedikit redaktur media massa kemudian menyarakan kepadaku untuk mengirim tulisan langsung ke email mereka dan tidak perlu melewati pintu email redaksi.
Buah manis dari sebuah kesalahan akibat kejadian pahit itu sekarang bisa aku petik dengan gemilang. Sekarang, aku tak lagi dibuat pusing dan pening tujuh keliling, karena fasilitas email telah memberikan kemudahan dalam pengiriman tulisan. Aku tidak perlu lagi ngeprint tulisan, pergi ke kantor pos beli perangko untuk jasa pengiriman tulisan bahkan menunggu lama untuk memastikan apakah tulisanku itu sudah sampai ke meja redaksi atau belum? Karena fasilitas email telah memangkas rute berbelit itu dengan cepat dan mudah. Hal itu berbeda dengan masa-masa pengiriman tulisan lewat pos lantaran tak ada uang untuk membeli perangko, dulu tidak jarang tulisanku harus mengendap di komputer atau di meja kerjaku.
Kini pengalaman dan kenangan pahit sewaktu mengirim tulisan lewat email itu sudah berlalu. Sekarang, tulisanku dengan cepat bisa sampai ke tempat tujuan bahkan bisa cepat dimuat. Pernah, hanya dalam waktu dua hari tulisanku sudah dimuat.
Sebagaimana diungkapkan oleh Collin Powell, "Tak ada rahasia untuk menggapai sukses. Sukses itu dapat terjadi karena persiapan, kerja keras dan mau belajar dari kegagalan (bahkan kesalahan)." Dari pengalaman (pahit) pertama mengirim tulisan lewat email itu, aku sadar; bahwa sebuah kesalahan bukanlah satu hal yang tak bisa dipetik sebagai pelajaran cukup berharga, melainkan dari kesalahan itu kita bisa belajar untuk membenahi diri dan kemudian bisa menggenggam wawasan dan pengetahun. ***
cerita untuk Fitri
Ciputat, 25 Juli 2009
9 komentar:
Salam kenal..., dari http://warungkopiplus.blogspot.com/
...
Eh mau nanya dikit nih, mas tau alamat website yang biasa ngirimi buku2 gratis???, aku dulu sering juga dikirimi sama LSM/NGO's Luar, bidang2 sosial, cuman aku lupa alamatnya.
Makasih...
salam kenal balik, mas. untuk website yg biasa kirim buku gratis aku kurang tau, mas. maklum, aku biasa dapt buku2 gratis dg cara kerjasama dengan penerbit setelah meresensi buku.
Semua yg ahli berawal dari ketidaktahuan, dan dari ketidaktahuan itu lahirlah segepok pelajaran dan pengetahuan. sekarang dh ga salah alamat lg kan Mas?hehe..
sekarang, gak lagi salah nulis alamat wie.... sdh hapal di luar kepala, hihihihihi
Salam kenal,
Saya mau tanya, naskah dikirim via email dalam bentuk apa ya ?
Open document text atau ada yang lain ?
kirim dlm bentuk apa pun bisa --yang penting bs terbaca, tdk kena virus dan sampai ke redaksi... makasih
Pengalamanmu sangat berguna bagi pemula internet seperti saya ini sobat, thanks karena sudah mau berbagi informasi tentang pengalaman pahit
trm kasih tlh berkunjung dan membaca blog sy ini --dan sy berharap blog ini bermanfaat bagi byk orang.... selamat berkarya
Alhamdulillah...blog yang inspiratif!Terus berkarya mas...
Posting Komentar