dimuat di www.tnol.co.id Selasa, 8 Maret 2011
Oleh: Safari Sidakaton
“SETIAP menulis harus dibuka dengan kalimat pembuka yang menarik. Jadi why nya dulu yang ditekankan,” kata Leila S. Chudori, wartawan Tempo dalam diskusi yang digelar Islamic Book Fair 2011 di Istora Senayan Jakarta, Minggu (6/3). Diskusi kali ini mengusung tema bagaimana cara menulis, baik itu cerpen, resensi atau novel yang baik sehingga bisa dimuat di media massa.
Kalimat pembuka yang dimaksud Leila S. Chudori adalah lead yang sangat diperlukan setiap menulis. Mengingat pentingnya lead maka ketika menulis lead harus sesuatu yang menarik perhatian pembaca. Agar lead menarik maka kita bisa mengambil kata-kata dari penggambaran adegan atau pernyataan (statement) yang menarik. Lead yang menarik juga bisa mengungkapkan atau mengambarkan dari tokoh yang ditulis.
Selain Leila S. Chudori, hadir juga sebagai pembicara Nur Mursidi, wartawan Majalah Hidayah yang kerap menulis resensi buku di berbagai media besar di Indonesia. Diskusi yang berlangsung dari pukul 13.00-15.00 WIB di ruang Anggrek Istora Senayan Jakarta tersebut dipandu oleh Muhammad Husnil, Chief Editor PT Serambi Ilmu Semesta.
Leila menuturkan, selain lead, ada juga hal lainnya yang penting saat menulis yaitu sinopsis. Dalam menulis sinopsis harus menggunakan kalimat sependek mungkin. Sinopsis bisa ditulis secara ringkas sehingga bisa ditulis cukup satu alinea saja. Upayakan dalam menulis kalimat sinopsis jangan memberitahu akhir tulisan, terutama jika akhir cerita adalah sebuah kejutan. Hal itu dilakukan karena pembaca Indonesia sangat anti spoiler.
“Sinopsis biasanya penting untuk memberitahu genre buku yang sedang diresensi,” ujar Leila S. Chudori di depan para peserta diskusi yang terdiri dari Komunitas Good Reads Indonesia.
Dalam kesempatan ini Leila juga mengungkapkan, ada beberapa standar baku sehingga setiap tulisan resensi buku atau film bisa naik cetak atau termuat di media massa. Standar yang sudah baku tersebut diantaranya adalah buku atau film yang diresensi tersebut digandrungi banyak orang. Namun bila buku atau film yang tidak layak diresensi namun banyak peminatnya maka media massa akan membuat cover story.
Penulisan cover story seperti yang terjadi dalam film Catatan Si Boy. Film Catatan Si Boy tidak layak diresensi karena kontennya tidak bagus. Namun, karena peminat dari film tersebut sangat banyak dan membuat heboh maka media massa membuat cover story. Saat itu media massa yang menulis cover story adalah Majalah Tempo. Selain film Catatan Si Boy ada juga buku karya Salman Rushdie yang dibuat cover story karena mengundang kontroversi sehingga terjadi perdebatan.
“Standar yang dimiliki media massa adalah yang menarik. Selain merensesi, kita juga mengkritik sehingga buku tersebut minimal mendekati sempurna,” jelasnya.
Resensi yang dilakukan media massa, sambung Leila tidak bertujuan mengarahkan atau menyarankan orang atau pembaca untuk membeli buku atau malah sebaliknya agar pembaca tidak membeli buku tersebut. Karena yang dilakukan media massa ketika meresensi buku atau film lebih ke isi atau kontennya. Oleh karena itu, ketika ada penulis baru namun kontennya bagus maka akan diterima dibandingkan dengan penulis lama yang kontennya tidak menarik. ” Kami tidak pernah menganjurkan atau memberi saran untuk membeli buku atau tidak,” tegasnya lagi.
Sementara itu terkait dengan pertanyaan adanya tulisan-tulisan para blogger yang tidak termuat media massa, menurut Leila, karena kebanyakan tulisan yang buat blogger lebih banyak menggunakan emosi pribadi seperti kata aku atau saya ketimbang isi buku. “Yang disampaikan lebih ke emosi pribadinya sementara media besar lebih tertarik dengan bukunya bukan pribadinya,” jelasnya.
Sementara itu menurut Nur Mursidi, jika ingin mengetahui tulisannya naik atau tidak di media massa maka harus berani menelpon redaktur media massa yang bersangkutan. Dalam menulis tidak ada persyaratan khusus apakah suatu tulisan bisa naik atau tidak di media massa oleh karena itu baiknya tanyakan langsung kepada redaktur yang bersangkutan.
“Menulis itu adalah suatu kenikmatan baik hati maupun pikiran. Soal muat atau tidak itu soal waktu,” kata Mursidi mengutip kata-kata dari redaktur yang tidak memuat tulisannya. Namun kata-kata itulah yang menjadi mantera sehingga Mursidi bisa menulis resensi sehingga bisa dimuat di berbagai media massa nasional.
Kalimat pembuka yang dimaksud Leila S. Chudori adalah lead yang sangat diperlukan setiap menulis. Mengingat pentingnya lead maka ketika menulis lead harus sesuatu yang menarik perhatian pembaca. Agar lead menarik maka kita bisa mengambil kata-kata dari penggambaran adegan atau pernyataan (statement) yang menarik. Lead yang menarik juga bisa mengungkapkan atau mengambarkan dari tokoh yang ditulis.
Selain Leila S. Chudori, hadir juga sebagai pembicara Nur Mursidi, wartawan Majalah Hidayah yang kerap menulis resensi buku di berbagai media besar di Indonesia. Diskusi yang berlangsung dari pukul 13.00-15.00 WIB di ruang Anggrek Istora Senayan Jakarta tersebut dipandu oleh Muhammad Husnil, Chief Editor PT Serambi Ilmu Semesta.
Leila menuturkan, selain lead, ada juga hal lainnya yang penting saat menulis yaitu sinopsis. Dalam menulis sinopsis harus menggunakan kalimat sependek mungkin. Sinopsis bisa ditulis secara ringkas sehingga bisa ditulis cukup satu alinea saja. Upayakan dalam menulis kalimat sinopsis jangan memberitahu akhir tulisan, terutama jika akhir cerita adalah sebuah kejutan. Hal itu dilakukan karena pembaca Indonesia sangat anti spoiler.
“Sinopsis biasanya penting untuk memberitahu genre buku yang sedang diresensi,” ujar Leila S. Chudori di depan para peserta diskusi yang terdiri dari Komunitas Good Reads Indonesia.
Dalam kesempatan ini Leila juga mengungkapkan, ada beberapa standar baku sehingga setiap tulisan resensi buku atau film bisa naik cetak atau termuat di media massa. Standar yang sudah baku tersebut diantaranya adalah buku atau film yang diresensi tersebut digandrungi banyak orang. Namun bila buku atau film yang tidak layak diresensi namun banyak peminatnya maka media massa akan membuat cover story.
Penulisan cover story seperti yang terjadi dalam film Catatan Si Boy. Film Catatan Si Boy tidak layak diresensi karena kontennya tidak bagus. Namun, karena peminat dari film tersebut sangat banyak dan membuat heboh maka media massa membuat cover story. Saat itu media massa yang menulis cover story adalah Majalah Tempo. Selain film Catatan Si Boy ada juga buku karya Salman Rushdie yang dibuat cover story karena mengundang kontroversi sehingga terjadi perdebatan.
“Standar yang dimiliki media massa adalah yang menarik. Selain merensesi, kita juga mengkritik sehingga buku tersebut minimal mendekati sempurna,” jelasnya.
Resensi yang dilakukan media massa, sambung Leila tidak bertujuan mengarahkan atau menyarankan orang atau pembaca untuk membeli buku atau malah sebaliknya agar pembaca tidak membeli buku tersebut. Karena yang dilakukan media massa ketika meresensi buku atau film lebih ke isi atau kontennya. Oleh karena itu, ketika ada penulis baru namun kontennya bagus maka akan diterima dibandingkan dengan penulis lama yang kontennya tidak menarik. ” Kami tidak pernah menganjurkan atau memberi saran untuk membeli buku atau tidak,” tegasnya lagi.
Sementara itu terkait dengan pertanyaan adanya tulisan-tulisan para blogger yang tidak termuat media massa, menurut Leila, karena kebanyakan tulisan yang buat blogger lebih banyak menggunakan emosi pribadi seperti kata aku atau saya ketimbang isi buku. “Yang disampaikan lebih ke emosi pribadinya sementara media besar lebih tertarik dengan bukunya bukan pribadinya,” jelasnya.
Sementara itu menurut Nur Mursidi, jika ingin mengetahui tulisannya naik atau tidak di media massa maka harus berani menelpon redaktur media massa yang bersangkutan. Dalam menulis tidak ada persyaratan khusus apakah suatu tulisan bisa naik atau tidak di media massa oleh karena itu baiknya tanyakan langsung kepada redaktur yang bersangkutan.
“Menulis itu adalah suatu kenikmatan baik hati maupun pikiran. Soal muat atau tidak itu soal waktu,” kata Mursidi mengutip kata-kata dari redaktur yang tidak memuat tulisannya. Namun kata-kata itulah yang menjadi mantera sehingga Mursidi bisa menulis resensi sehingga bisa dimuat di berbagai media massa nasional.
2 komentar:
lho, pak mursidi ngomongnya kok sedikit banget, "telpon"....
telpon????
Posting Komentar