resensi buku ini dimuat di Koran Jakarta, Selasa 31 Mei 2011
Judul buku : 1453: Detik-Detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim
Penulis : Roger Crowley
Penerbit : Alvabet, Jakarta
Cetakan : Pertama, April 2011
Tebal buku : 408 halaman
Harga buku : Rp. 75.000,-
SEJAK dibangun pada tahun 330 M, kota Konstantinopel --yang didirikan oleh Kaisar Romawi Timur (Byzantium), Constantine I-- telah menjadi lambang kemegahan, pusat kebudayaan dan kedigdayaan Romawi. Apalagi, kota itu memang "dirancang" untuk dijadikan sebagai benteng dengan pola pertahanan yang kokoh dan rumit; dilapisi tembok tebal berlapis tiga dan dikelilingi dengan parit. Tak mustahil, jika kota megah itu pun dikenal sebagai pusat peradaban dan menjadi "kota mengagumkan" tidak saja dilihat dari letaknya yang stategis (antara batas Eropa dan Asia) tetapi juga menjadi benteng pertahanan bagi bangsa Kristen (dari serangan Islam). Hal itu tidak lain, lantaran Byzantium dikenal sebagai pewaris terakhir kekaisaran Romawi kuno sekaligus menjadi bangsa Kristen pertama.
Kisah seputar "kejayaan kota Konstantinopel dan kemegahan ibu kota kekaisaran kuno Byzantium sebagai benteng pertahanan" itu justru mengundang impian bangsa-bangsa lain digelayuti ambisi untuk menaklukkan atau merebut kota tersebut. Tetapi lebih seribu tahun, Konstantinopel seperti kota legenda yang dikenal tangguh dan sulit untuk ditaklukkan. Padahal, selama itu, Konstantinopel dililit "berbagai ancaman dari serangan"; menjadi kota yang menggiurkan untuk ditaklukkan dan dikepung. Tetapi, kota itu selalu dapat selamat berkat ketangguhan benteng yang dirancang dengan kokoh.
Ancaman itu ternyata tidak saja datang dari bangsa Barat. Bahkan, sebagaimana dikisahkan Roger Crowley dalam buku 1453: Detik-detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim ini, dikisahkan dengan detail bahwa dalam rentang waktu 800 tahun, kekhalifahan muslim pun sudah mengincar Konstantinopel. Maklum, "impian" umat Islam untuk menaklukkan Byzantium sudah dimulai sejak 664 M. Tetapi, sultan bangsa-bangsa muslim dari dulu tak berhasil meruntuhkan dan merebut Konstantinopel.
Hingga akhirnya, sang penakluk Konstantinopel itu datang. Ia tak lain adalah sultan Mehmet II. Dengan ambisi yang membara, pemuda berusia 21 tahun itu berhasil merebut Byzantium dengan gemilang, merebut kota Konstantinopel dengan mengerahkan bala tentara yang jauh lebih besar dan juga persenjataan yang jauh lebih canggih dibandingkan pasukan Kristen di bawah kepemimpinan Konstantin XI, kaisar Byzantium ke-57. Tepat pada hari Jumat, 6 April 1453 M, Sultan Mehmet II memaklumatkan serangan untuk menaklukkan kota Konstantinopel. Meski lebih canggih persenjataan dan jumlah pasukan, awalnya pasukan muslim kesulitan menembus tembok. Bahkan sultan Mehmet II nyaris frustasi melihat banyak pasukannya berjatuhan.
Tapi ide cemerlang itu akhirnya ditemukan dan keberhasilan dapat diraih. Akhirnya, 29 Mei 1453 M, kemenangan itu tiba; pasukan sultan memasuki kota dan bendera kerajaan Islam Usmani (di bawah Mehmet II) dikibarkan. Konstantinopel pun jatuh; menandai berakhirnya kekuasaan Byzantium. Mehmet II terpikat "merebut" Konstantinopel terinspirasi aroma kekaisaran: terinspirasi Alexander Agung dan Julius Caesar. Ia merasa mengemban dua identitas: sebagai Alexander muslim yang menaklukkan dunia hingga yang paling tepi, dan sebagai kesatria gazi yang mengemban jihad melawan orang kafir. Dengan penaklukan itu, ia ingin membalik arus sejarah dunia. Jika Alexander telah menyapu timur, sekarang giliran dia membawa kemenangan bagi Timur dan Islam dengan menaklukkan Barat (hal. 51)
Tidak dapat disangkal, buku ini ditulis dengan riset yang serius. Di antara serpihan literatur tentang kejatuhan Konstantinopel --baik yang ditulis oleh orang Barat maupun mulism-- Roger Crowley tidak saja memilih cerita yang masuk akal, tetapi juga disertai dengan analisis yang tajam. Ia tak gegabah dalam memilah setumpuk dokumen. Tak berlebihan, jika buku ini mampu mengisahkan peristiwa besar dalam sejarah tentang kota Kristen yang jatuh ke tangan bangsa muslim. Kelebihan lain, penulis buku ini menuturkan kisah tersebut dengan gaya penceritaan novel. Tak pelak, jika buku ini bisa tampil dengan memikat.
Pada sisi lain, buku ini menguak kenapa Konstantinopel bisa menjadi kota muslim. Dengan data yang akurat, penulis yang mantan warga Istanbul ini pun berhasil menampilkan dua karakter Sultan Mehmet II dan Kaisar Konstantin XI, dua tokoh besar yang saling bersitegang tidak saja demi memeluk erat keyakinan agama, tapi juga kursi kekuasaan. Dan perseteruan dalam dua hal itu, akhirnya mengantarkan Mehmet II membalik arus sejarah dunia. [ ]
*) N. Mursidi, alumnus Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Kisah seputar "kejayaan kota Konstantinopel dan kemegahan ibu kota kekaisaran kuno Byzantium sebagai benteng pertahanan" itu justru mengundang impian bangsa-bangsa lain digelayuti ambisi untuk menaklukkan atau merebut kota tersebut. Tetapi lebih seribu tahun, Konstantinopel seperti kota legenda yang dikenal tangguh dan sulit untuk ditaklukkan. Padahal, selama itu, Konstantinopel dililit "berbagai ancaman dari serangan"; menjadi kota yang menggiurkan untuk ditaklukkan dan dikepung. Tetapi, kota itu selalu dapat selamat berkat ketangguhan benteng yang dirancang dengan kokoh.
Ancaman itu ternyata tidak saja datang dari bangsa Barat. Bahkan, sebagaimana dikisahkan Roger Crowley dalam buku 1453: Detik-detik Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Muslim ini, dikisahkan dengan detail bahwa dalam rentang waktu 800 tahun, kekhalifahan muslim pun sudah mengincar Konstantinopel. Maklum, "impian" umat Islam untuk menaklukkan Byzantium sudah dimulai sejak 664 M. Tetapi, sultan bangsa-bangsa muslim dari dulu tak berhasil meruntuhkan dan merebut Konstantinopel.
Hingga akhirnya, sang penakluk Konstantinopel itu datang. Ia tak lain adalah sultan Mehmet II. Dengan ambisi yang membara, pemuda berusia 21 tahun itu berhasil merebut Byzantium dengan gemilang, merebut kota Konstantinopel dengan mengerahkan bala tentara yang jauh lebih besar dan juga persenjataan yang jauh lebih canggih dibandingkan pasukan Kristen di bawah kepemimpinan Konstantin XI, kaisar Byzantium ke-57. Tepat pada hari Jumat, 6 April 1453 M, Sultan Mehmet II memaklumatkan serangan untuk menaklukkan kota Konstantinopel. Meski lebih canggih persenjataan dan jumlah pasukan, awalnya pasukan muslim kesulitan menembus tembok. Bahkan sultan Mehmet II nyaris frustasi melihat banyak pasukannya berjatuhan.
Tapi ide cemerlang itu akhirnya ditemukan dan keberhasilan dapat diraih. Akhirnya, 29 Mei 1453 M, kemenangan itu tiba; pasukan sultan memasuki kota dan bendera kerajaan Islam Usmani (di bawah Mehmet II) dikibarkan. Konstantinopel pun jatuh; menandai berakhirnya kekuasaan Byzantium. Mehmet II terpikat "merebut" Konstantinopel terinspirasi aroma kekaisaran: terinspirasi Alexander Agung dan Julius Caesar. Ia merasa mengemban dua identitas: sebagai Alexander muslim yang menaklukkan dunia hingga yang paling tepi, dan sebagai kesatria gazi yang mengemban jihad melawan orang kafir. Dengan penaklukan itu, ia ingin membalik arus sejarah dunia. Jika Alexander telah menyapu timur, sekarang giliran dia membawa kemenangan bagi Timur dan Islam dengan menaklukkan Barat (hal. 51)
Tidak dapat disangkal, buku ini ditulis dengan riset yang serius. Di antara serpihan literatur tentang kejatuhan Konstantinopel --baik yang ditulis oleh orang Barat maupun mulism-- Roger Crowley tidak saja memilih cerita yang masuk akal, tetapi juga disertai dengan analisis yang tajam. Ia tak gegabah dalam memilah setumpuk dokumen. Tak berlebihan, jika buku ini mampu mengisahkan peristiwa besar dalam sejarah tentang kota Kristen yang jatuh ke tangan bangsa muslim. Kelebihan lain, penulis buku ini menuturkan kisah tersebut dengan gaya penceritaan novel. Tak pelak, jika buku ini bisa tampil dengan memikat.
Pada sisi lain, buku ini menguak kenapa Konstantinopel bisa menjadi kota muslim. Dengan data yang akurat, penulis yang mantan warga Istanbul ini pun berhasil menampilkan dua karakter Sultan Mehmet II dan Kaisar Konstantin XI, dua tokoh besar yang saling bersitegang tidak saja demi memeluk erat keyakinan agama, tapi juga kursi kekuasaan. Dan perseteruan dalam dua hal itu, akhirnya mengantarkan Mehmet II membalik arus sejarah dunia. [ ]
*) N. Mursidi, alumnus Filsafat UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar