resensi buku ini dimuat di Sinar Harapan, edisi Sabtu-Minggu 11-12 Juni 2011
Judul buku : On The Origin of Species Karya Charles Darwin: Asal Usul Spesies
Teks & Ilustrasi : Michael Keller & Nicolle Rager Fuller
Penerbit : Gramedia, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 192 halaman
Harga : Rp 65.000
NAMA Charles Darwin (1809-1882) dicatat sejarah dengan tinta emas, tapi sekaligus meninggalkan goresan berwarna kelabu. Bagaimana tidak? Teori yang dia torehkan dalam sebuah buku berjudul On the Origin of Species by Means of Natural Selection, or The Preservation of Favoured Races in the Strugle for Life tak saja telah meneguhkan dirinya sebagai biolog kenamaan melainkan pula mengundang kontroversi hingga sekarang. Sejak buku itu beredar di pasaran --pada 24 November 1859--, sebongkah teori yang ia cetuskan (buah dari pengamatan selama berlayar lima tahun dengan kapal Beagel, kemudian diperkuat dengan riset memadai dan bukti beberapa tahun kemudian) telah dipuji-puji banyak kalangan, akademisi dan ilmuwan sebagai sebuah teori yang telah mengubah arah sains.
Tetapi, pada sisi lain, teori Darwin itu menyisakan goresan kelabu lantaran dianggap "menabuh genderang": menantang sekaligus berniat meruntuhkan fondasi agama. Pasalnya, dalam teori yang digemakan itu Darwin meneguhkan semua makhluk hidup berasal dari satu atau beberapa leluhur bersama pada masa lalu. Selagi waktu berlalu, seleksi alam "melestarikan" variasi paling menguntungkan dalam satu species setiap generasi. Pengumpulan ciri unggul menghasilkan species baru (hal 176). Tak pelak lagi, jika teori evolusi yang dicetuskan Darwin itu seperti menampar kaum agamawan dan kemudian melahirkan kontradiksi dengan mitos penciptaan yang ditemukan pada ajaran agama.
Sebenarnya, Darwin bukan tidak tahu. Muatan kontroversi dari teori Darwin itu, sebenarnya sudah diprediksi jauh oleh Darwin. Implikasi yang paling kontroversial adalah asal usul manusia. Hal itu yang menjadikan Darwin tidak segera menerbitkan buku tersebut, meski cikal bakal atau gumpalan gagasan itu sudah muncul di sudut otaknya sepulang dari berlayar pada tahun 1836. Tapi dari pengamatan dan penelitian selama 5 tahun berlayar dengan kapal Beagle mengarungi dunia: menyelusuri pantai Amerika Selatan, kepulauan Galapagos, pulau-pulau di Pacifik, juga Samudera Indonesia dan di selatan Samudera Atlantik- ia menyaksikan setumpuk keajaiban alam. Riset itu rupanya telah membuka mata Darwin lebar-lebar, bahwa binatang dan tumbuhan tidak bersifat tetap, melainkan mengalami perubahan dalam perjalanan sejarah (geologi). Maski saat itu, dia belum sepenuhnya sadar apa yang menjadi sebab-musabab terjadinya evolusi itu.
Dua puluh tahun lebih, setelah ia melengkapi riset dan bukti-bukti, ia baru berani menerbitkan buku tersebut. Sebuah buku yang langsung mengundang perseteruan antara sains dan agama. Perseteruan itu pun --tak dapat dimungkiri-- masih meninggalkan gaung yang masih menggema hingga sekarang ini. Ibarat sebuah genta yang ditabuh dengan keras, teori Darwin itu pun masih menggema kencang. Ironisnya, Darwin pun selalu "diidentikkan" dengan pencetus teori evolusi.
Padahal, kalau mau jujur, sebenarnya Darwin bukan penemu pertama teori evolusi. Sebab, biologi evolusioner telah berakar sejak zaman Aristoteles. Bahkan sebelum Darwin, sudah ada Jean Lamarek dan kakek Darwin, Erasmus Darwin. Satu zaman dengan Darwin, ada Alfred Russel Wallace -yang konon sempat menulis surat kepada Darwin. Bahkan ada sebuah pendapat yang mengatakan, Darwin mencuri gagasan Alfred Russel Wallace.
Terlepas dari semua itu, nama Darwin "menjulang tinggi" melampaui mereka setelah Darwin menerbitkan buku On the Origin of Species. Pasalnya, hipotesa mereka tak pernah diterima oleh dunia ilmu pengetahuan karena tidak mampu memberi keyakinan bagaimana dan dengan cara apa evolusi terjadi. Sementara Darwin, sanggup menyuguhkan mekanisme dari seleksi alamiah yang mengakibatkan terjadinya evolusi alamiah dan ditunjang dengan bukti-bukti ilmiah untuk mendukung akan hipotesa tersebut. Wajar, jika buku Darwin menjadi bahan perbincangan begitu sengit. Bahkan hingga kini, buku ini pun dianggap sebagai mahakarya Darwin yang memukau, kontroversial dan karya penting sepanjang zaman.
Meski "gagasan" yang dicetuskan Darwin ini ditunjang dengan bukti, ia tetaplah sebuah teori. Sebuah teori membuka peluang untuk diuji, diperdebatkan bahkan dibuktikan. Maka, tidak sedikit buku yang kemudian terbit untuk menggugat teori Darwin ini. Wajar jika buku Darwin ini pun masih meninggalkan kontorversi sepanjang zaman. Dipuji pada satu sisi, tetapi dicaci maki pada sisi yang lain.
Kini, di tangan Michael Keller (seorang wartawan --yang meraih gelar sarjana sains di bidang ekologi bebas dari University of Florida dan master bidang jurnalisme dari Clombia University) teks buku Darwin itu disajikan dalam bentuk lain, yakni adaptasi grafis. Dia dibantu oleh Nocolle Rager Fuller --yang dikenal sebagai ilustrator profesional-- menyajikan riset awal Darwin yang dilengkapi surat-surat dengan sejumlah cendikiawan terkemuka pada zaman itu. Juga reaksi publik ketika buku Darwin itu terbit, sampai terobosan-terobosan terbaru masa sekarang ini mengenai teori evolusi.
Tidak salah, jika buku ini memberi sajian lain dengan cara yang tidak saja mudah dipahami, melainkan juga memikat. Pasalnya, Michael Keller dan Nocolle Rager Fuller berkolaborasi untuk mengilustrasikan pemikiran Darwin yang "tertuang" dalam buku yang mengundang kontroversi tersebut.
*) N. Mursidi, alumnus Filsafat UIN Yogyakarta.
Tetapi, pada sisi lain, teori Darwin itu menyisakan goresan kelabu lantaran dianggap "menabuh genderang": menantang sekaligus berniat meruntuhkan fondasi agama. Pasalnya, dalam teori yang digemakan itu Darwin meneguhkan semua makhluk hidup berasal dari satu atau beberapa leluhur bersama pada masa lalu. Selagi waktu berlalu, seleksi alam "melestarikan" variasi paling menguntungkan dalam satu species setiap generasi. Pengumpulan ciri unggul menghasilkan species baru (hal 176). Tak pelak lagi, jika teori evolusi yang dicetuskan Darwin itu seperti menampar kaum agamawan dan kemudian melahirkan kontradiksi dengan mitos penciptaan yang ditemukan pada ajaran agama.
Sebenarnya, Darwin bukan tidak tahu. Muatan kontroversi dari teori Darwin itu, sebenarnya sudah diprediksi jauh oleh Darwin. Implikasi yang paling kontroversial adalah asal usul manusia. Hal itu yang menjadikan Darwin tidak segera menerbitkan buku tersebut, meski cikal bakal atau gumpalan gagasan itu sudah muncul di sudut otaknya sepulang dari berlayar pada tahun 1836. Tapi dari pengamatan dan penelitian selama 5 tahun berlayar dengan kapal Beagle mengarungi dunia: menyelusuri pantai Amerika Selatan, kepulauan Galapagos, pulau-pulau di Pacifik, juga Samudera Indonesia dan di selatan Samudera Atlantik- ia menyaksikan setumpuk keajaiban alam. Riset itu rupanya telah membuka mata Darwin lebar-lebar, bahwa binatang dan tumbuhan tidak bersifat tetap, melainkan mengalami perubahan dalam perjalanan sejarah (geologi). Maski saat itu, dia belum sepenuhnya sadar apa yang menjadi sebab-musabab terjadinya evolusi itu.
Dua puluh tahun lebih, setelah ia melengkapi riset dan bukti-bukti, ia baru berani menerbitkan buku tersebut. Sebuah buku yang langsung mengundang perseteruan antara sains dan agama. Perseteruan itu pun --tak dapat dimungkiri-- masih meninggalkan gaung yang masih menggema hingga sekarang ini. Ibarat sebuah genta yang ditabuh dengan keras, teori Darwin itu pun masih menggema kencang. Ironisnya, Darwin pun selalu "diidentikkan" dengan pencetus teori evolusi.
Padahal, kalau mau jujur, sebenarnya Darwin bukan penemu pertama teori evolusi. Sebab, biologi evolusioner telah berakar sejak zaman Aristoteles. Bahkan sebelum Darwin, sudah ada Jean Lamarek dan kakek Darwin, Erasmus Darwin. Satu zaman dengan Darwin, ada Alfred Russel Wallace -yang konon sempat menulis surat kepada Darwin. Bahkan ada sebuah pendapat yang mengatakan, Darwin mencuri gagasan Alfred Russel Wallace.
Terlepas dari semua itu, nama Darwin "menjulang tinggi" melampaui mereka setelah Darwin menerbitkan buku On the Origin of Species. Pasalnya, hipotesa mereka tak pernah diterima oleh dunia ilmu pengetahuan karena tidak mampu memberi keyakinan bagaimana dan dengan cara apa evolusi terjadi. Sementara Darwin, sanggup menyuguhkan mekanisme dari seleksi alamiah yang mengakibatkan terjadinya evolusi alamiah dan ditunjang dengan bukti-bukti ilmiah untuk mendukung akan hipotesa tersebut. Wajar, jika buku Darwin menjadi bahan perbincangan begitu sengit. Bahkan hingga kini, buku ini pun dianggap sebagai mahakarya Darwin yang memukau, kontroversial dan karya penting sepanjang zaman.
Meski "gagasan" yang dicetuskan Darwin ini ditunjang dengan bukti, ia tetaplah sebuah teori. Sebuah teori membuka peluang untuk diuji, diperdebatkan bahkan dibuktikan. Maka, tidak sedikit buku yang kemudian terbit untuk menggugat teori Darwin ini. Wajar jika buku Darwin ini pun masih meninggalkan kontorversi sepanjang zaman. Dipuji pada satu sisi, tetapi dicaci maki pada sisi yang lain.
Kini, di tangan Michael Keller (seorang wartawan --yang meraih gelar sarjana sains di bidang ekologi bebas dari University of Florida dan master bidang jurnalisme dari Clombia University) teks buku Darwin itu disajikan dalam bentuk lain, yakni adaptasi grafis. Dia dibantu oleh Nocolle Rager Fuller --yang dikenal sebagai ilustrator profesional-- menyajikan riset awal Darwin yang dilengkapi surat-surat dengan sejumlah cendikiawan terkemuka pada zaman itu. Juga reaksi publik ketika buku Darwin itu terbit, sampai terobosan-terobosan terbaru masa sekarang ini mengenai teori evolusi.
Tidak salah, jika buku ini memberi sajian lain dengan cara yang tidak saja mudah dipahami, melainkan juga memikat. Pasalnya, Michael Keller dan Nocolle Rager Fuller berkolaborasi untuk mengilustrasikan pemikiran Darwin yang "tertuang" dalam buku yang mengundang kontroversi tersebut.
*) N. Mursidi, alumnus Filsafat UIN Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar