Judul buku : Extremely Loud & Incredibly Close (Benar-Benar Nyaring dan Sungguh-Sungguh Dekat)
Penulis : Jonathan Safran Foer
Penerbit : Mahda Books, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 430 hlm
Harga : 68.680,00
SEBAGIAN besar cerita --dalam cerpen maupun novel-- sebenarnya sederhana. Tapi, tugas pengarang tidak sederhana. Ia harus mampu meracik dan meramu setangkup kisah yang sederhana itu menjadi luar biasa. Pengarang dituntut untuk dapat memainkan tongkat sihir supaya bisa menghidupkan serentetan peristiwa serta menciptakan tokoh yang (kelak) akan terus dikenang. Juga, pengarang harus lihai memahat latar, adegan, dan gelombang cerita di atas lembaran halaman agar pembaca merasakan seperti terseret sebuah arus dan merasakan kedahagaan.
Pengarang yang brilian akan selalu mencoba melompat tembok realita kemudian mengolah kisah dengan capaian estetik yang memukau dan mendedahkan sebuah terobosan yang digali dari kejelian (kepiawaian) memoles bahasa serta merajut teknik penceritaan. Itulah yang dilakukan Jonathan Safran Foer dalam novel Extremely Loud & Incredibly Close ini. Sebuah novel yang dapat dikata 'mendobrak pagar' dan coba membangun kembali pagar yang telah runtuh.
Safran Foer menggabungkan hampir semua teknik cerita, memperlakukan novel serupa buku gambar dengan memasukkan unsur grafis, bahkan tak konsisten memakai font (karena ada font yang mengecil), sampai penggunaan judul bab yang kadang dicoret seakan tidak terpakai. Tak itu saja, pengarang satu ini memakai foto, halaman yang dihitamkan, deretan angka serupa "kode misterius" bahkan ada kata/kalimat yang sengaja dilingkari dengan tinta merah. Gebrakan Safran Foer dalam karya ini pun mengundang kontroversi. Tetapi, novel ini mendapat pujian dari sejumlah media terkenal di AS, seperti Observer, Daily Telegraph dan The Times Literary Supplement.
Safran Foer membangun ironisme sebuah cerita, menyeret pembaca pada ruang rumpil nan asing, mendebarkan, penuh teka-teki. Tetapi ia mampu menjebak dengan lubang misteri. Segala sesuatu ingin dikaitkan, bahkan untuk segala perihal yang tidak urgent sekali pun. Seperti tulisan Oscar, anak berumur 9 tahun yang jadi tokoh utama novel ini. Tulisan Oscar kadang lucu, melankolis, tak penting tetapi kadang mengundang tawa.
Penuh Misteri
Cerita novel ini bergulir unik, dan penuh misteri. Pada mulanya, Oscar Schell, anak berumur 9 tahun (yang jadi tokoh utama dalam novel ini) tanpa sengaja menemukan kunci dalam sebuah vas ketika vas tersebut pecah. Dari situlah kisah petualangan Oscar -anak yang unik, cerdas dan penuh gagasan dimulai. Ia awalnya ingin menyingkap misteri kunci itu untuk membuktikan: apa kunci itu peninggalan ayahnya. Maklum, ayahnya meninggal dalam peristiwa mengenaskan 9 Septermber, saat gedung WTC hancur dan ayah Oscar menjadi salah satu korban dalam tragedi tersebut.
Tentu tak mudah menemukan lubang yang pas untuk kunci tersebut. Oscar hampir dibuat linglung. Tapi, Oscar tak mudah menyerah. Ia melakukan riset, mendatangi tukang kunci karena ingin membuktikan siapa tahu ayahnya meninggalkan kunci untuk membuka brankas. Padahal, jumlah lubang kunci tak sedikit. Ia tidak patah arang, terus mencari lubang kunci tersebut dengan harapan bisa menemukan sebuah jawaban.
Tapi belum sempat kunci misterius itu terjawab, ia menemukan sepucuk surat. Di belakang surat itu ia menemukan tulisan Black dengan tinta warna merah (huruf B ditulis dengan huruf kapital). Oscar pening. Misteri satu belum terjawab, muncul teka-teki yang lebih membingungkan. Tapi, semua itu kian merujuk pada satu hal. Oscar kemudian mencari orang bernama Black. Padahal, nama Black tidak sedikit. Dari situlah, Oscar kembali berpetualang untuk mencari nama Black, dari Black satu ke Black yang lain yang meninggalkan misteri.
Tapi, semua misteri yang disuguhkan Safran Foer itu masih belum seberapa. Safran Foer memercikkan misteri lagi, semisal misteri sektor keenam di kota New York, setelah Manhattan, Brooklyn, Queens, Staten Island dan Bronx. Bahkan soal kematian ayah Oscar, soal pemikiran Oscar yang ganjil. Setumpuk misteri dan teka-teki itu ditebarkan Safran Foer untuk membuat penasaran. Tetapi, ujung pencarian atau petualangan Oscar tidak sia-sia. Ia pun akhirnya menemukan seseorang bernama Black dan menemukan jawaban: kunci itu sebenarnya milik Black yang diwariskan oleh ayahnya bersama dengan barang-barang berharga yang lain. Tapi Black tidak tahu. Ironisnya, Black tahu setelah membaca sebuah surat tapi semua barang berharga, termasuk vas itu, sudah ia jual. Seperti pengakuan Black, "Aku membaca surat itu setelah aku menjual semua barangnya-- aku sudah menjual vas itu. Aku menjual kepada ayahmu." (hal. 321)
Thomas, ayah Oscar tak sengaja membeli vas itu -ketika dalam perjalanan pulang melihat tanda obral. Ayah Oscar membeli vas itu untuk dijadikan hadiah buat istrinya: di hari ulang tahun pernikahannya yang jatuh tanggal 14 September. Semua terjawab gamblang. Oscar menemukan lubang kunci tersebut -setelah mendapat keterangan dari Black dan ternyata tak berhubungan dengan ayahnya.
Diracik Tidak Sederhana
Tak jarang sebuah pencarian memang tidak untuk menemukan jawaban yang melegakan, melainkan untuk menuruti keingintahuan dan hasrat memenuhi rasa penasaran. Dan itu yang dilakukan oleh Oscar. Ada sebuah pesan pendek dari novel ini yang bernuansa filosofis, karena hidup itu adalah satu fase pencarian akan keingintahuan dan pencarian akan kebenaran. Dengan segudang misteri, teka-teki dan cara Safran Foer menulis, novel ini bisa disebut bukan sebuah karya sastra biasa.
Pengarang menulis tidak dengan "cara biasa". Cerita yang sederhana mampu diracik dengan tidak sederhana. Ada setumpuk teknik yang sengaja diuji-cobakan untuk diterapkan. Ada setumpuk teka-teki yang disodorkan. Ada sejumlah misteri yang ingin dipecahkan. Juga, ada setumpuk mitos yang ingin diruntuhkan. Safran Foer serasa mencampurkan semua hal itu dalam novel ini. Tak mustahil jika novel ini pun terasa berliku, alur yang digelindingkan berjalan melingkar karena alur cerita dikemas dengan "berkelok-kelok" dan bahkan mirip sebuah spiral. Cerita pun melompat-lompat.
Lebih dari itu, meski setumpuk hal remeh temeh dan bahkan tidak penting sekali pun dibahas dalam novel ini dan digelindingkan dengan acak, tetapi Safran Foer mampu bercerita dengan detail. Bahkan dilengkapi dengan surat-surat. Tetapi, semua itu "diramu" dengan susunan bahasa yang memukau. Jadinya, novel ini pun patut disebut sebuah novel yang memukau. Berkat kepiawaian itu, setelah penulisan novel ini, Safran Foer menjadi profesor dalam penulisan kreatif novel.
*) N. Mursidi, cerpenis dan pendiri rumah baca "Anak Layang-Layang"
Pengarang yang brilian akan selalu mencoba melompat tembok realita kemudian mengolah kisah dengan capaian estetik yang memukau dan mendedahkan sebuah terobosan yang digali dari kejelian (kepiawaian) memoles bahasa serta merajut teknik penceritaan. Itulah yang dilakukan Jonathan Safran Foer dalam novel Extremely Loud & Incredibly Close ini. Sebuah novel yang dapat dikata 'mendobrak pagar' dan coba membangun kembali pagar yang telah runtuh.
Safran Foer menggabungkan hampir semua teknik cerita, memperlakukan novel serupa buku gambar dengan memasukkan unsur grafis, bahkan tak konsisten memakai font (karena ada font yang mengecil), sampai penggunaan judul bab yang kadang dicoret seakan tidak terpakai. Tak itu saja, pengarang satu ini memakai foto, halaman yang dihitamkan, deretan angka serupa "kode misterius" bahkan ada kata/kalimat yang sengaja dilingkari dengan tinta merah. Gebrakan Safran Foer dalam karya ini pun mengundang kontroversi. Tetapi, novel ini mendapat pujian dari sejumlah media terkenal di AS, seperti Observer, Daily Telegraph dan The Times Literary Supplement.
Safran Foer membangun ironisme sebuah cerita, menyeret pembaca pada ruang rumpil nan asing, mendebarkan, penuh teka-teki. Tetapi ia mampu menjebak dengan lubang misteri. Segala sesuatu ingin dikaitkan, bahkan untuk segala perihal yang tidak urgent sekali pun. Seperti tulisan Oscar, anak berumur 9 tahun yang jadi tokoh utama novel ini. Tulisan Oscar kadang lucu, melankolis, tak penting tetapi kadang mengundang tawa.
Penuh Misteri
Cerita novel ini bergulir unik, dan penuh misteri. Pada mulanya, Oscar Schell, anak berumur 9 tahun (yang jadi tokoh utama dalam novel ini) tanpa sengaja menemukan kunci dalam sebuah vas ketika vas tersebut pecah. Dari situlah kisah petualangan Oscar -anak yang unik, cerdas dan penuh gagasan dimulai. Ia awalnya ingin menyingkap misteri kunci itu untuk membuktikan: apa kunci itu peninggalan ayahnya. Maklum, ayahnya meninggal dalam peristiwa mengenaskan 9 Septermber, saat gedung WTC hancur dan ayah Oscar menjadi salah satu korban dalam tragedi tersebut.
Tentu tak mudah menemukan lubang yang pas untuk kunci tersebut. Oscar hampir dibuat linglung. Tapi, Oscar tak mudah menyerah. Ia melakukan riset, mendatangi tukang kunci karena ingin membuktikan siapa tahu ayahnya meninggalkan kunci untuk membuka brankas. Padahal, jumlah lubang kunci tak sedikit. Ia tidak patah arang, terus mencari lubang kunci tersebut dengan harapan bisa menemukan sebuah jawaban.
Tapi belum sempat kunci misterius itu terjawab, ia menemukan sepucuk surat. Di belakang surat itu ia menemukan tulisan Black dengan tinta warna merah (huruf B ditulis dengan huruf kapital). Oscar pening. Misteri satu belum terjawab, muncul teka-teki yang lebih membingungkan. Tapi, semua itu kian merujuk pada satu hal. Oscar kemudian mencari orang bernama Black. Padahal, nama Black tidak sedikit. Dari situlah, Oscar kembali berpetualang untuk mencari nama Black, dari Black satu ke Black yang lain yang meninggalkan misteri.
Tapi, semua misteri yang disuguhkan Safran Foer itu masih belum seberapa. Safran Foer memercikkan misteri lagi, semisal misteri sektor keenam di kota New York, setelah Manhattan, Brooklyn, Queens, Staten Island dan Bronx. Bahkan soal kematian ayah Oscar, soal pemikiran Oscar yang ganjil. Setumpuk misteri dan teka-teki itu ditebarkan Safran Foer untuk membuat penasaran. Tetapi, ujung pencarian atau petualangan Oscar tidak sia-sia. Ia pun akhirnya menemukan seseorang bernama Black dan menemukan jawaban: kunci itu sebenarnya milik Black yang diwariskan oleh ayahnya bersama dengan barang-barang berharga yang lain. Tapi Black tidak tahu. Ironisnya, Black tahu setelah membaca sebuah surat tapi semua barang berharga, termasuk vas itu, sudah ia jual. Seperti pengakuan Black, "Aku membaca surat itu setelah aku menjual semua barangnya-- aku sudah menjual vas itu. Aku menjual kepada ayahmu." (hal. 321)
Thomas, ayah Oscar tak sengaja membeli vas itu -ketika dalam perjalanan pulang melihat tanda obral. Ayah Oscar membeli vas itu untuk dijadikan hadiah buat istrinya: di hari ulang tahun pernikahannya yang jatuh tanggal 14 September. Semua terjawab gamblang. Oscar menemukan lubang kunci tersebut -setelah mendapat keterangan dari Black dan ternyata tak berhubungan dengan ayahnya.
Diracik Tidak Sederhana
Tak jarang sebuah pencarian memang tidak untuk menemukan jawaban yang melegakan, melainkan untuk menuruti keingintahuan dan hasrat memenuhi rasa penasaran. Dan itu yang dilakukan oleh Oscar. Ada sebuah pesan pendek dari novel ini yang bernuansa filosofis, karena hidup itu adalah satu fase pencarian akan keingintahuan dan pencarian akan kebenaran. Dengan segudang misteri, teka-teki dan cara Safran Foer menulis, novel ini bisa disebut bukan sebuah karya sastra biasa.
Pengarang menulis tidak dengan "cara biasa". Cerita yang sederhana mampu diracik dengan tidak sederhana. Ada setumpuk teknik yang sengaja diuji-cobakan untuk diterapkan. Ada setumpuk teka-teki yang disodorkan. Ada sejumlah misteri yang ingin dipecahkan. Juga, ada setumpuk mitos yang ingin diruntuhkan. Safran Foer serasa mencampurkan semua hal itu dalam novel ini. Tak mustahil jika novel ini pun terasa berliku, alur yang digelindingkan berjalan melingkar karena alur cerita dikemas dengan "berkelok-kelok" dan bahkan mirip sebuah spiral. Cerita pun melompat-lompat.
Lebih dari itu, meski setumpuk hal remeh temeh dan bahkan tidak penting sekali pun dibahas dalam novel ini dan digelindingkan dengan acak, tetapi Safran Foer mampu bercerita dengan detail. Bahkan dilengkapi dengan surat-surat. Tetapi, semua itu "diramu" dengan susunan bahasa yang memukau. Jadinya, novel ini pun patut disebut sebuah novel yang memukau. Berkat kepiawaian itu, setelah penulisan novel ini, Safran Foer menjadi profesor dalam penulisan kreatif novel.
*) N. Mursidi, cerpenis dan pendiri rumah baca "Anak Layang-Layang"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar