resensi ini dimuat di Sinar Harapan, ed Sabtu-Minggu, 29-30 Oktober 11
Judul : Orang Jawa Jadi Teroris
Penulis: M. Bambang Pranowo
Penerbit: Pustaka Alvabet dan LaKIP
Cetakan : Pertama, 2011
Tebal : xliii + 300 halaman
Harga : Rp. 49.000,-
SETELAH tragedi bom Bali I dan II, kemudian disusul bom Kuningan, bom Marriott dan peledakan "bom bunuh diri" di beberapa tempat --seperti di masjid Polresta Cirebon hingga bom bunuh diri yang terjadi baru-baru ini di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Kepunton, Solo, Jawa Tengah-- tuduhan miring tentang Islam dan terorisme tak saja sulit dipisahkan, melainkan justru muncul pertanyaan nyinyir yang tak terbantahkan lagi bahwa dari sekian banyak pelaku bom bunuh diri itu setelah ditelisik ternyata diketahui sebagian besar adalah orang Jawa.
Kemudian yang jadi pertanyaan krusial --sebagaimana diungkapkan oleh Dr Azumardi Azra-- adalah: kenapa bisa sebagian besar teroris itu berasal dari Jawa? Kenapa karakter teroris itu tak tumbuh dalam jiwa orang Sumatra atau Sulawesi yang justru berwatak keras? Setangkup rasa heran yang telah memunculkan pertanyaan itu jika dilihat dari fakta yang ada memang tak salah. Karena dari fakta yang ada, sebagian besar pelaku teroris di Bali, Jakarta, Cirebon dan Solo ternyata berasal dari Jawa. Jika ada teroris yang berasal dari daerah lain, porsinya dapat dikata kecil. Fakta itu sungguh mengherankan sebab stereotip orang Jawa kerap kali diidentikkan berperilaku suka "mengalah", berperangai halus, unggah ungguh dan penuh tepo sliro. Maka, cukup mengherankan jika orang Jawa kemudian bisa jadi teroris. Pasalnya, teroris itu identik dengan kekerasan dan bertolak belakang dengan karakter orang Jawa.
Berpijak dari situlah, M Bambang Pranowo -lewat buku ini- digelayuti perasaan ingin tahu dan hendak menjawab pertanyaan itu dengan menengok lebih jauh karakter orang Jawa. Ada apa dengan orang Jawa sehingga karakter orang Jawa yang selama ini diidentikkan berperangai dan berkarakter lembut dan sopan tiba-tiba menjadi brutal bahkan tega membunuh orang lain yang tidak berdosa dengan bom. Ada guratan apa di balik karakter orang Jawa yang jadi teroris itu?
Rasa ingin tahu itu pun kemudian menjerumuskan penulis mengkaji fenomena tersebut dengan memahami "karakter orang Jawa" lewat simbol karakter wayang Pandawa Lima. Setelah mengenal lebih jauh dengan karakter wayang Pandawa Lima, penulis pun menemukan pemikiran bahwa karakter orang Jawa itu sebenarnya tidaklah seragam. Hal itu bisa dilihat dengan jelas pada karakter Puntodewo, Nakula dan Sadewa. Ketiga tokoh pewayangan ini dikenal sebagai tokoh yang lemah lembut dan selalu mengalah. Sementara itu, Arjuna sebagai tokoh yang pandai, baik dalam diplomasi atau perang. Adapun Werkudoro diidentikkan sebagai tokoh yang lurus, pemberani, bahkan pantang menyerah.
Dengan menelisik karakter dari tokoh wayang tersebut, Bambang pun kemudian menemukan kesimpulan bahwa karakter orang Jawa itu sebenarnya sangat beragam alias tidak seragam --dengan kata lain, karakter orang Jawa itu tergantung dari "bawaan" simbol pewayangannya. Dari simbol karakter wayang Pendawa Lima itu, maka jelas tergambar bahwa karakter orang Jawa itu akan mengalah untuk tujuan jangka panjang, tapi jika lawan yang dihadapi masih keras, maka orang Jawa akan ngalih ("meminggirkan") untuk mencari strategi lain demi meraih kemenangan. Tapi jika sudah merasa diinjak-injak atau ditindas maka orang Jawa akan mengamuk. Hal itu karena memang orang Jawa menganut prinsip hidup tiga "nga": ngalah, ngalih dan ngamuk.
Dari prinsip itulah, maka ketika orang Jawa menjadi teroris ia sebenarnya sedang ngamuk (marah). Dalam konteks ini, maka ketika para teroris meledakkan bom di Bali dan Jakarta, mereka dalam kungkungan amarah: ngamuk. Mereka mengamuk terhadap ketidakadilan Amerika dan sebagai orang Jawa, mereka sudah tak punya pilihan "ngalah" atau "ngalih" terhadap Amerika.
Tapi menurut penulis buku ini, sikap ngamuk para teroris --yang notabene orang Jawa-- itu bersifat sempit dan radikal. Sebab Indonesia bukan tempat pertempuran melawan AS. Di sisi lain, Indonesia juga bukan masuk daarul harb yang bisa menjadikan orang Jawa dengan seenaknya barkata halal untuk dan merasa sah meledakkan bom atau membunuh orang lain. Apalagi, tidak sedikit orang lain yang terbunuh itu ada yang juga orang Islam.
Secara umum. buku ini coba menjawab persoalan terorisme dalam Islam dan mengapa terorisme tumbuh dan berkembang di Indonesia, bahkan di Jawa. Padahal, orang Jawa dan Indonesia itu dikenal ramah, penuh toleransi, dan berbudaya adi luhung. Uniknya, fenomena itu dikupas penulis dengan sudut pandang sosial dan budaya (Jawa). Inilah yang menarik dari buku ini. Tapi, karena buku ini adalah buku bunga rampai (dari artikel penulis yang tersebar di berbagai media masaa sejak tahun 1990an sampai sekarang) tak salah jika buku ini memiliki tema luas meliputi tema terorisme, masalah agama, spiritual, problem sosial dan budaya bahkan ada beberapa tulisan dalam buku ini kadang tak saling terkait. Itu lantaran sebagian tulisan dalam bunga rampai ini ditulis dalam konteks waktu tertentu dan juga dalam kasus yang kebetulan mencuat saat tulisan itu ditulis.
Kendati demikian, buku ini tidak serta merta tercerabut dari akar kontekstual era sekarang ini -di mana Indonesia masih menjadi sasaran ancaman terorisme. Meski penulis mengangkat tema yang beragam dan tidak utuh dalam menganalis suatu persoalan, buku ini masih dapat dibaca sebagai sebuah kaledioskop. Tak salah jika buku ini mengajak pembawa berwisata ke masa lalu untuk melihat kembali dengan pikiran jernih tentang terorisme dan Islam dari sudut pandang sosial-budaya. ***
*) N. Mursidi, peminat masalah sosial budaya, tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar