Oleh: Hibatun Wafiroh *)
Judul buku : Tidur Berbantal Koran: Kisah Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis : N. Mursidi
Penerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : Pertama, Februari 2013
Tebal Buku: xvi + 243 halaman
ISBN : 978-602-020-594-6
Harga : Rp 44.800,-
Bagi penggiat tulis-menulis di media, nama N. Mursidi tidak asing lagi. Tidak kurang 300 tulisannya—cerpen, resensi, esai sastra, esai film, opini dan puisi—tersebar di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Bahkan berkat ketekunannya menulis resensi, dia dinobatkan sebagai juara pertama dalam lomba blog Pesta Buku Jakarta 2008 yang diselenggarakan oleh IKAPI. Dan buku memoar bertajuk Tidur Berbantal Koran ini menyuguhkan lika-liku perjalanan Mursidi hingga menjadi seorang penulis.
Kegagalan seolah berkelindan dengan riwayat pendidikan Mursidi. Dia gagal memasuki SMPN 1, gagal menembus persaingan di SMAN 2, gagal menyabet tiket masuk Perguruan Tinggi Negeri dan gagal menggenggam beasiswa strata satu. Alhasil, setamat SMU dia menganggur dua tahun. Dia tak langsung mengenyam bangku kuliah karena tidak dapat memenuhi satu dari dua perjanjian yang dia sepakati dengan orang tuanya: lulus UMPTN atau mendapatkan beasiswa.
Adapun kuliah di kampus swasta dengan biaya yang mahal, bagi orang tua Mursidi, adalah kesia-siaan. Pasalnya, dia terlanjur disemati gelar tak cerdas dan nakal. Tapi akhirnya dia bertekad meninggalkan kampung dan melesat ke Yogyakarta meski dengan bekal yang minim. Ia berontak, tak mau meneruskan usaha dagang keluarganya. Jika ada seorang anak yang melanjutkan usaha orang tuanya, maka dia termasuk seorang anak yang tidak kreatif (hal. 28).
Di Kota Gudeg Mursidi diterima di Jurusan Ekonomi Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa. Malangnya, belum lama menyemat predikat mahasiswa, sang ayah sakit sehingga dia disarankan berhenti kuliah. Keluarga tak sanggup lagi menanggung biaya kuliahnya. Namun harga diri mencegahnya untuk pulang. Laki-laki kelahiran Lasem, Rembang, itu lalu menjadi loper koran demi menopang hidupnya.
Mursidi berleleran keringat di jalanan. Setumpuk koran dibawanya naik-turun bus. Dia bagikan koran-koran itu kepada para penumpang sembari berorasi tentang headline koran. Jurus orasi ini tak lain untuk menggaet minat calon pembeli. Kala itu para tahun 1995 harga koran Kedaulatan Rakyat Rp. 200,00 dan dia mengantongi keuntungan Rp. 100,00 per eksemplar.
Hidup di jalanan sebagai konsekuensi dari pekerjaan membuat Mursidi tidak bisa menjalani perkuliahan dengan baik. Ironis, dia bekerja demi dapat kuliah, tapi malah pekerjaan menyebabkan kuliahnya terbengkalai. Dia kerap absen tatkala ada jadwal kuliah pagi. Puncaknya, selesai ujian semester dia mendapati nilainya anjlok di bawah rata-rata. Dengan pertimbangan matang, lantas dia keluar dari kampus. Meski tiada lagi kewajiban kuliah, minat baca Mursidi tidak surut. Dia suka mengencani buku-buku yang dipinjamnya dari perpustakaan dan teman.
Setahun kemudian Mursidi kuliah di IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN). Suatu ketika dia menerima kiriman surat dari ayahnya. Surat sederhana yang berisi tentang pesan agar dia tidak lupa menunaikan salat dan mendoakan sang ayah yang masih sakit. Surat itulah yang mendorong Mursidi untuk terjun di bidang literasi. Awalnya sekedar menulis surat balasan. Lama-lama dia tergerak untuk menulis cerpen.
Pria berambut ikal itu sama sekali belum berpengalaman dalam menulis. Tapi dia punya kemauan kuat untuk menulis. Dia ingin karyanya muncul di koran yang dia jual. Dengan modal mesin ketik gadaian temannya, jemarinya terus bergerak menorehkan karya. Cerpen-cerpennya tanpa ragu dia layangkan ke media. Sayang, hampir setahun berjuang menaklukkan media, tidak satu pun cerpennya dimuat.
Gagal membidik koran dengan amunisi tulisan, dia menyiapkan amunisi baru, yaitu foto. Kebetulan ada seorang teman yang menjual kamera SLR padanya. Seketika itu ia gemar menjelajahi kota untuk mencari gambar yang menarik. Sedangkan aktivitas menulis dia tinggalkan sementara waktu.
Tidak dinyana, justru dunia fotografilah yang pertama membawa nama Mursidi ke halaman koran. Fotonya yang berjudul Menerobos Mara Bahaya dimuat di Kedaulatan Rakyat, koran yang sehari-hari dia jajakan. Kegembiraan pasca pemuatan foto itu menyulut semangatnya untuk kembali menulis. Kali ini dia mencoba menulis resensi. Keberuntungan mendekapnya lagi. Resensinya atas novel Sehari di Yogya dimuat di Kedaulatan Rakyat. Dengan demikian, resensi itu adalah tulisan perdananya yang menembus media.
Setelah pemuatan foto dan resensi tersebut, kesulitan kembali dia alami. Berulang kali tulisannya berakhir tragis di kotak sampah redaksi. Mursidi tidak patah arang. Dia menulis dan mengirim ke koran sampai tidak terhitung banyaknya.
Cobaan belum usai. Peraturan pemerintah yang mengharuskan bus-bus hanya melintasi jalur ring road melumpuhkan para loper koran dan pedagang asongan. Hal itu mengilhami Mursidi untuk berpindah kost ke dekat kampus. Dia tinggalkan rutinitas berjualan koran dan fokus pada kuliah serta menulis.
Tinggal di dekat kampus memberikan banyak keuntungan. Mursidi makin disiplin berkuliah. Dia dengan mudah mengetahui informasi terbaru, antara lain beasiswa kerja. Atas dasar keinginan mempunyai komputer, dia meng-apply beasiswa itu dan berhasil. Keberadaan komputer membuatnya kian produktif menulis. Selain keuntungan itu, jaringan Mursidi dengan para penulis menjadi terbangun.
Lama berkecimpung di dunia resensi hingga koran lokal dan nasional sudah memuat banyak resensinya, Mursidi merasa penting memasuki berbagai pintu. Menjadi peresensi berarti masih berada di balik bayang-bayang pemikiran penulis buku (yang diresensi) (hal. 206). Dia pun memutuskan untuk merambah ke genre tulisan fiksi (cerpen) tanpa berhenti menulis resensi.
N. Mursidi melalui buku yang layak dibaca oleh siapa saja—terutama mereka yang memelihara mimpi menjadi penulis—ini seakan berteriak bahwa impian harus diperjuangkan dan tiada perjuangan yang sia-sia. Sesudah bertahun-tahun berjuang menembus media, tanpa diduga, tulisan-tulisannya menjadi sebab dia diterima bekerja sebagai wartawan di sebuah majalah Islam di Jakarta hingga kini.***
*) Hibatun Wafiroh, lahir di Demak pada 27 Mei 1989. Ia pernah aktif di Islamic Journalism Community (IJC) Surabaya. Selain itu, ia juga pernah menjadi narasumber pada beberapa Diklat Penulisan dan Diklat Ilmu Falak. Tulisannya tersebar di berbagai media, antara lain, Bhirawa, Annida Online, Alaik, Mediasi, Ahwaluna, Naturalist, Joe Fiksi, Wawasanews, Radar Seni dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar