oleh: Muhammad Rasyid Ridho *)
Judul buku : Tidur Berbantal Koran: Kisah Inspiratif Seorang Penjual Koran Menjadi Wartawan
Penulis : N. Mursidi
Penerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : Pertama, Februari 2013
Tebal Buku : xvi + 243 halaman
ISBN : 978-602-020-594-6
Harga : Rp 44.800,-
Banyak diantara anak desa pergi ke kota berupaya mengubah hidup, dengan bekerja yang lebih baik, atau yang lebih tinggi dengan melanjutkan tingkat pendidikan ke yang lebih tinggi. Nur Mursidi salah satu diantara mereka. Walau awalnya tidak disetujui oleh bapaknya lantaran ingin anaknya itu meneruskan usahanya, namun masa depan yang baik Mursidi tetap teguh akan melanjutkan studinya di Yogyakarta.
Awal kuliah, Mursidi masih mendapatkan sedikit ‘beasiswa’ dari orang tuanya. Sampai akhirnya, tidak ada lagi kiriman dari orang tuanya dan dia bertaruh untuk membiayai hidup dan kuliahnya dengan menjajakan koran dari bus ke bus yang berhenti di lampu merah lalu lintas. Begitu setiap harinya, hingga dia lebih sering menjadi penjaja koran ketimbang hadir untuk mengikuti kuliah seorang dosen.
Akan tetapi di titik inilah dia menemukan sebuah refleksi yang akan mengubah hidupnya. Suatu ketika ada tukang becak memanggilnya. Dia menganggap hanya candaan saja. Dipanggil beberapa kali dan tukang becak melambaikan tangan, Mursidi tetap acuh tak acuh mengira tukang becak itu bercanda. Sampai Mursidi menyadari bahwa dia yang dipanggil oleh tukang becak tersebut. Tukang becak itu menyindirnya, seperti orang yang tidak membutuhkan uang. Tukang becak juga mengaku meskipun dirinya hanya tukang becak, tetapi tetap mau membaca koran agar tidak ketinggalan berita setiap hari.
“Pengalamanku bertemu dengan tukang becak yang membeli koran daganganku dan menyindirku di pagi itu, ternyata menyadarkan pola pikirku dan mengukir sejarah baru dalam kehidupanku di jalanan. Sebab sejak itu, tukang becak itu menjadi langgananku; hampir tiap hari dia membeli koran dariku. Hasrat tukang becak yang membeli koran dari tanganku dan membacanya di atas becak dengan muka kusut, telah mendorongku terbiasa membaca setumpuk koran yang kujual,” (halaman 7).
Dari renungan tersebut, Mursidi pun memulai membaca koran yang dia jual. Mursidi merasa tertantang, ketika melihat tulisan mahasiswa dimuat di rubrik opini, cerpen atau resensi di koran yang dia baca. Mursidi juga ingin namanya terpampang di halaman koran yang dia jual. Sejak itu, dia mulai belajar menulis secara otodidak.
Dia semakin rajin membaca buku-buku sastra karya Ahmad Tohari, Arswendo, Romo Mangun dan pengarang dunia seperti Anton Chekov. Dia memulai menulis dengan mesin tik milik kawannya, Abdul Manaf yang tidak jadi digadaikan ke pagadaian tetapi dibayar sementara olehnya. Sehabis kerja menjajakan korannya, Mursidi mulai menulis tak berhenti sampai tengah malam. Dia benar-benar bersemangat untuk memperjuangkan mimpinya tersebut.
Namun, bukan namanya perjuangan jika itu mulus tanpa hambatan. Untuk belajar menulis cerpen dia membeli buku Catatan Kecil Menulis Cerpen karya Jacob Sumardjo. Sekalian dia juga membeli buku puisi karya A. Mustafa Bisri dan buku karya Emha Ainun Najid yang rencananya akan dia pakai untuk belajar menulis resensi. Sayang seribu sayang, niat tinggal niat tiga buku tersebut hilang dahulu sebelum dibaca.
Selain itu, karena selama menulis belum ada satu cerpen karyanya yang dimuat di media massa dia berniat berhenti sejenak menulis. Kebetulan ada salah satu kawannya yang ingin menjual kamera SLRnya, Mursidi membeli kamera tersebut dan sejak itu dia banyak menghabiskan waktu untuk belajar memotret demi menghilangkan kejenuhan dalam menulis.
Selalu menenteng kamera ke mana saja untuk memotret apapun ternyata menghasilkan buah yang cukup membuat dia senang. Jepretannya tentang pengendara sepeda motor yang nyaris saja dilindas kereta api, berhasil dimuat pertama kalinya dimuat di koran lokal, Kedaulatan Rakyat. Senang meliputi hatinya.
Setelah dimuatnya foto hasil karyanya, Mursidi memulai lagi perjuangannya untuk menjadi penulis. Ketika bertemu salah satu kawannya Arif Syarwani yang membaca sebuah novel dia pun meminjam dengan tujuannya untuk menulis resensi. Novel yang juga bukan milik Arif Syarwani itu berhasil Mursidi pinjam.
Novel itu dia baca selesai dalam satu malam, dan malam berikutnya selepas kerja dia lanjut menulis resensi novel tersebut. Setelah selesai mengedit dan dia rasa sudah bagus, Mursidi mengirimkan resensi tersebut ke Kedaulatan Rakyat. Tak dinyana ternyata dua minggu setelahnya resensi yang dia kirim dimuat di harian tersebut. Dia senang sekali ternyata karya tulisnya juga bisa tembus media. Dia pun semakin semangat menjual korannya hari itu, dengan harapan semakin banyak orang yang membaca resensinya yang dimuat di Kedaulatan Rakyat.
Singkat kata, sejak itu debut menulisnya di media massa dimulai. Walau beberapa saat sempat tidak dimuat di media manapun, namun dia tidak menyerah dan terus menulis. Akhirnya, sampai saat ini karya tulisnya baik cerpen maupun resensi buku telah menembus banyak media massa baik lokal bahkan nasional di negeri ini.
Buku 246 halaman ini mengajarkan kita akan arti perjuangan yang akan sia-sia tanpa pengorbanan dan usaha yang keras. Mursidi telah membuktikannya, berawal sebagai penjaja koran kemudian menjadi penulis yang karyanya kerap menghiasi halaman cerpen dan resensi di media massa edisi minggu. Sampai saat ini menjadi seorang wartawan di sebuah media di Jakarta. Sebuah kisah inspiratif yang layak kita teladani.
*) Muhammad Rasyid Ridho, Ketua Journalistic Club Ikom UMM dan anggota Forum Lingkar Pena Malang Raya. Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UMM.
1 komentar:
Permisi mampir baca blog saya dong hihihi http://nabilajasmine.blogspot.com/2013/08/tulisan-lama-sekitar-bulan-mei-2012.html
Posting Komentar